Tak Perlu Mengerti

3.6K 328 9
                                    



“Tante lagi di Bandung?” tanyaku pada wanita di seberang sana.

“Iya, Nduk. Sejak kapan panggil Mama jadi Tante?” katanya. Aku menggaruk tengkukku.

Sebenarnya lidahku sedikit kelu mengganti sebutan Mama menjadi Tante. Dari kecil aku memanggilnya dengan sebutan ‘Mama Rayyan’. Mau tau kenapa aku mengganti panggilan itu detik ini? Ya karena aku nggak mau semakin larut dalam ke-gagal move on-anku ini.

“Hehehe, Cuma nggak enak aja mau manggil Mama lagi.” Jawabku asal.

“Mama yang ngerasa aneh kalau Risel manggilnya Tante. Yah, meskipun kita udah terpisah tiga belas tahun ya hehehe. Eh, Nduk. Mama lagi di Bandung, bolehlah ya kamu temenin Mama. Kirim alamat kostmu ya!”

“Eh, temenin kemana Tante?”

“Kalau jadi, Mama mau ke butiknya temen. Besok pulang ke  Magelang, sekalian pengen ketemu kamu. Selama ini Cuma lewat video call aja.”

Aku meng-iya-kan anakan Mama Rayyan. Yah, tentu saja setelah kupastokan bahwa Rayyan tak ikut Mamanya di Bandung.

Bagaimana ya, rasanya bertemu dengan Mama Rayyan setelah tiga belas tahun terpisah. Beliau begitu ramah, kelewat ramah malah. Sewaktu masih di Lampung, beliau terkenal suka membantu orang. Siapapun yang pernah singgah ke rumah beliau, pasti pulang membawa kesan baik bahkan sangat baik. Waktu kecil aku sering ditinggal Ibu ke pasar, alih-alih dibawa, aku malah dititikan di Mama Rayyan. Jam makan siang, aku disuapi sama beliau. Katanya, aku ini dianggap anak perempuannya. Sayang, ya tak lolos seleksi menjadi anak mantu. Eh? Apa-apaan aku ini.

Tanpa berlama-lama, Mama Rayyan sudah menjemputku. Beliau datang dengan adiknya, pamannya Mas Rayyan. Aku langsung diajak jalan menuju butik milik temannya.

Di perjalanan, Mama Rayyan selalu saja bilang kalau aku saangat berubah dari kecil dulu. Katanya sekarang sudah sangat dewasa. Ya masa mau kecil aja kan?

“Risel masih kuliah?” tanya Om Edwan, Paman Mas Rayyan.

“Udah lulus, Om. Sempet kerja ngajar honor, Cuma ngundurin diri karena ke Papua. Sebenernya cuti, setahun gitu. Cuma ada insiden, jadi lepas deh. Rencananya mau daftar CPNS, sambil cari honor juga si.”

“Lah, biaya hidup?” tanyanya.

Aku sedikit nyengir, “Ini baru dua hari di Bandung, Om. Pakai uang honor tahun kemaren hehehe. Doain ya, Om cepet dapat kerja.”

“Aamiin. Ada nih, kerjaan cocok untuk cewek seperti kamu,” kata Om Edwan sambil cengar-cengir.

“Apa, Om?”

“Jadi ibu rumah tangga. Ngurus rumah, biaya hidup ditanggung suami. Hahaha.”

Aku mengimbangi tawanya, juga Mama Rayyan yang ketawa dan langsung menyubit lengan adiknya itu. “Ngomong opo kamu ini?” kata Mama Rayyan.

“Tuh, Mbak. Suruh nikah sama Rayyan aja!”

Deg ... tidak! Jangan bahas apapun tentang Mas Rayyan. Mati-matian aku ngebuang bayang-bayang Mas Rayyan di otakku.

“Wong dia ini adik’e Rayyan kok,” kata Mama Rayyan. Kalimatnya sederhana memang, tapi membuatku sesak. Ya, aku ini Cuma dianggap adik!

“Nduk, kamu nanti ikut ke Magelang bisa nggak?”

Aku menoleh, diam sejenak seolah berpikir. Ah, aku tau. Pasti aku disuruh datang di acara tunangannya Mas Rayyan.

“Ngapain, Tante?”

Mama Rayyan menjewer telingaku yang tertutup kerudung. Rasanya sama sekali tak sakit.

“Dibilangin jangan panggil Tante, panggil Mama seperti dulu, Nduk!”

“Hehehe, maaf, Ma.”

“Nikahannya Rayyan. Pokoknya kamu harus dateng, Masmu mau nikah.”

Yah, benar sekali dugaanku. Aduh, Mama Rayyan. Tak ada yang mengerti perasaanku saat ini. Sakit!

“Liat jadwal dulu, Ma. Memang kapan?”

“Dua minggu lagi,” ucapnya sembari memainkan ponsel.

“Hah? Beneran, Ma?”

Beliau menoleh ke arahku. Meneliti raut wajahku yang sabgat terkejut. “Iya, kok kaget?”

“Kata Ayah, belum lamaran?”

“Ketinggalan info, nih. Udah lamaran mereka, Cuma sederhana. Bahkan Cuma pertemuan dua keluarga aja. Wan, belok kiri itu butiknya,” katanya lalu menyuruh Om Edwan belok ke butik.

Kami turun dari mobil, berjalan beriringan memasuki butik. Aku menoleh, melihat jejeran gaun putih mewah penuh dengan mutiara yang sedikit berkilau. Sebelah kanan, jejeran gaun yang menjuntai berwarna biru tua sangat mewah. Tak lupa pakaian pengantin pria yang disandingkan dengan gaun itu. Mama Rayyan menghampiri wanita seusianya, lalu cipika-cipiki melepas rindu. Obrolannya dibumbui oleh gelak tawa. Tampaknya mereka adalah seorang sahabat lama.

“MasyaAllah cantik sekali calon pengantin wanitanya.” Aku menoleh ke sumber suara. Lalu mataku terbelalak. Wanita seusia Mama Rayyan itu jalaan ke arahku dengan senyum mengembang.

“Uluh,cah ayu ... pinter anakmu,” katanya memutar badanku.

“Heh, bukan itu! Ini anak perempuanku.” Mama Rayyan mengampiri kami dan langsung menghentikan adegan putar-memutar badan.

“Lho? Anak siapa? Kamu punya anak Cuma satu!”

“Ini anakku, anak di Lampung. Anak temenku, tapi anakku juga.”

“ihh, aku kira calonnya Rayyan. Lah, mana calonnya? Katanya mau ambil baju. Baiknya dicoba dulu,” kata teman Mama Rayyan itu sambil masuk ke ruangan.

“Ini, sesuai permintaanmu. Lucu loh, yang mau make siapa tapi yang minta aneh-aneh malah kamu!” kata pemilik butik ini dengan membawa gaun dengan tergopoh.

“Biar dicoba Risel aja, Ti! Badan dia sama Mira sepertinya hampir sama. Cuma tinggian Mira dikit, nggak masalah lah.”
Aku melongo mendengar ucapan Mama Rayyan. Yang benar saja aku diajak ke sini Cuma buat nyoba gaun pernikahan. Apalagi, gaun yang bakal dipake sama Mira, calon isterinya Mas Rayyan. Huh, lagi lagi aku harus tahan perasaan.

“Heti, anterin gadisku nyoba bajunya, dong!” kata Mama Rayyan.

Aku dituntun, masuk ke ruangan yang ada cermin lebar di dalamnya. Deengan dibantu Tante Heti, aku mencoba gaun berwarna hijau botol ini. Aku suka dengan desain gaun ini, sederhana tapi mewah.

“Uhhh, cocok sama kamu ini.”
Aku menelan ludah. Kenapa harus aku yang mencoba?

“Liatlah Ani! Gadismu cantik sekali,” teriak Tante Heti sembari menuntunku menemui Mama Rayyan.

Mama Rayyan memandangku dengan senyum tulus. Ia menghampiriku, lalu memelukku. Sedikit lama, dan hangat sekali kurasa. Seolah-olah pelukannya sedang mengatakan sesuatu denganku.

“Cantik, Nduk,” katanya mengurai pelukan kami. Aku masih menatapnya, seperti ada sesuatu yang mengganjal pada dirinya.

Tak ingin lama-lama aku segera masuk ke ruang ganti. Gaunnya memang sedikit panjang untukku, membuatku harus mengangkatnya ketika berjalan. Tapi, ini seperti puteri yang memakai gaun menjuntai. Heh! Ini punya Mira, bukan punya Risel.

Setelah selesai urusan coba-mencoba baju, kami keluar dari butik. Setelah bersalaman sebagai simbol pamit pada Tante Heti, aku dan Mama Rayyan menuju parkiran.

“Kenapa, Ma?” tanyaku penasaran melihat Mama Rayyan mendengus setelah membaca pesan di ponselnya.

“Ini, Om Edwan malah nyervis mobilnya. Terpaksa deh kita ke sana dulu, nunggu selesai.” Kami pun melangkah menuju tempat yang ditunjuk olehnya.

Kami duduk berhadapan, sambil mengaduk sop buah di hadapan kami. Ternyata tadi beliau menunjuk kedai sop buah.

“Sel, kamu setuju nggak Rayyan nikah sama Mira?”

“Uhuk” aku tersedak mendengar pertanyaannya. Memang sebelumnya beliau sudah kuceritakan bahwa aku mengenal Mira juga. Sebatas kenal semasa di Papua kala itu.

“Gimana?” tanyanya lagi.

“Mbak Mira baik, kok. Cocok sama Mas Rayyan.”

“Kamu setuju?” Aku menoleh ke arah lain, mencari sumber kukuatan untuk berkata sebijak mungkin. Dan pastinya agar perasaanku yang sesungguhnya tertutupi di depan Mama Rayyan.

“Setuju, dong. Risel sih udah nebak, pas di Papua mereka deketan. Ah, ni pasti ada hubungan. Eh taunya mau nikah. Hehehe.”

“Menurutmu Rayyan suka nggak sama Mira?” Aku menatap Mama, mencari tau maksud pertanyaannya. Beliau menghembuskan napas pelan, “Saat mereka mau lamaran, Rayyan beda banget. Seperti orang dipaksa nikah aja. Padahal Mama Cuma nyuruh dia nikahin Mira karena mereka dekat sekali, dan diapun langsung mau tanpa mengelak.”

“Kalo menurutku, Mas Rayyan suka kok sama Mbak Mira.”

“Mama juga ngerasa begitu. Tapi, setelah pulang dari Papua itu, dia berubah. Jarang nanggepin Mira. Waktu Mira nyamper Rayyan ke Lampung, Rayyan nelepon Mama dan protes. Apalagi, pas sesudah laamaran kemarin. Dia nekat langsung Lampung, katanya malas liat Mira. Aneh kan?”

“Ehm, mungkin sindrom orang mau nikah begitu, Ma.”

“Semoga aja Cuma sindrom. Mama takut Rayyan terpaksa ngejalaninnya.”

“Aamiin. Semoga aja lancar sampai resepsi dan langgeng.” Jujur, aku mengucapkannya dengan suara yang bergetar. Bulut berkata demikian, tapi mana tau hatiku remuk berkeping.

“Semoga aja Mira seperti kamu ya, baik, sholehah.”

Aku kembali menatapnya, “Aamiin.” Hanya itu yang mampu kuucap. Yang kubutuhkan saat ini adalah sendiri untuk menangis.

“Coba aja ya, kamu sama Rayyan itu saling cinta. Pasti Mama suruh Rayyan nikahnya sama kamu.”

“Maksudnya?” aku bertanya padanya. Kalimatnya ambigu. Apakah beliau tau tentang perasaanku ini?

“Maksudnya ... misalkan kamu suka sama Rayyan terus Rayyan juga suka sama kamu. Kalian pasti udah Mama suruh nikah. Faktanya, mana mungkin kamu suka sama Rayyan. Terlalu baik untuk Rayyan, kamu itu.”

“Mama nggak boleh gitu. Pasti Mbak Mira kecewa dengernya.”

“Iya, Maaf ya. Kalau Mama ini punya jiwa otoriter, udah Mama paksa kalian nikah. Tapi Mama bukan tipe orang tua yang seperti itu. Mama setuju saja Rayyan nikah sama siapapun, yang penting buruan nikah. Umurnya udah 26 hampir 27. Masa katanya nunggu pangkatnya Serka dulu. Aduh, keburu tua.”

“Risel yakin kok, Mbak Mira itu wanita yang dicintai Mas Rayyan. Semoga mereka bahagia.”

“Aamiin.”

Tak selang lama, Om Edwan menelepon. Mobil Om Edwan tepat di depan kami. Tanpa babibu, kami langsung masuk. Sepanjaang perjalanan menuju kost, kami diam, sibuk dengan pikiran masibg-masing. Hanya alunan musik yang menggema. Sesekali Om Edwan mengikuti alunan musik, menyanyikan lagu Iwan Fals.

“Makasih ya, Nduk. Jangan lupa sempatkan datang kepernikahan Masmu!” katanya begitu aku turun dari mobil. Aku hanya senyum sembari melambaikan tangan.

Beliau tidak mengerti apa yang aku rasakan. Berita tentang lamarannya saja membuatku patah. Apalagi harus datang ke pernikahannya, menyaksikan hari bahagianya. Bahkan, mencoba gaun milik calon isteri Mas Rayyan saja sudah membuatku deg-degan. Tentu ada rasa sakit di hati. Rasa apa lagi selain rasa sakit ketikaa kita ditinggal nikah oleh orang yang kita cintai?

Tak perlu mengerti, apalagi paham tentang sakit hatiku ini. Cukup Ibu, Ayah, dan juga Riri yang mengerti. Selepas Mas Rayyan menikah, aku harap tak sering berjumpa dengan Mama Rayyan. Sebab, bertemu dengannya membuatku sakit. Bagaiaman tidak? Aku harus memanggil ibu dari lelaki yang aku cintai dengan sebutan ‘Mama’. Sedang lelaki yang kucintai itu sudah menajdi suami orang.


Nasibmu, Sel. Suka sama sahabat sendiri eh taunya bakal ditinggal nikah. Semoga kamu dapet yang terbaik ya, Sel. Hwehehehhe.
Kalian mau Risel jodoh sama Rayyan nggak? Aku sih ... mau lahhh tapi gimana ya? H-2 minggu Si Rayyan mau nikah sama Mira😢

Sersan, kau kembali(Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang