Aku tak berani menatap lelaki di depanku. Waktu seolah berhenti, dadaku semakin sesak dibuatnya. Sore hari di Balkondes Saka Pitu, saksi bisu sebab kebisuanku detik ini. Aku mengaduk-aduk jus jeruk di depanku, sambil menahan gejolak rasa yang dicipta oleh lelaki di depanku. Sungguh, rasanya ingin aku menghilang dari hadapannya.
“Kamu masih tak percaya?” katanya membuatku berhenti mengaduk jus jeruk.
Aku diam, membisu dan berkecamuk dengan pikiranku. Mudah sekali dia menjelaskan, bahkan tak merasa bersalah atas semuanya.
“Hey liat aku! Kamu nggak kenal wajahku?” kata Kak Azzam dengan serius.
Aku hanya menggeleng, tak berhasil mengingat wajahnya di masa lalu.
“Aku akan jujur. Aku Mas Rayyan.”
Aku tersentak, benar-benar terkejut dengan ucapannya.
“Bohong!”Ucapan Kak Azzam masih mengiang di otakku. Sulit sekali aku mempercayainya. Bagaimana mungkin dia adalah Mas Rayyan. Kalaupun benar, mengapa dia selama ini diam? Bahkan membiarkan rasaku tumbuh untuk sosok Azzam.
“Hey, perlu bukti apa?”
“Apa yang bisa kamu buktikan?” kali ini aku memberanikan diri menyebutnya ‘kamu’. Jujur saja, aku sangat kecewa dengannya kali ini.
“Ini, kamu bisa liat sendiri,” katanya pelan sambil menyerahkan foto ukuran 2r dari dompetnya. Dengan ragu-ragu, aku mengambil foto itu.
Benar. Ini fotoku dengan Mas Rayyan sewaktu kecil dulu. Mas Rayyan menggunakan baju polisi dan aku mengenakan baju kebaya jawa dengan rambut sanggul.“Si rambut ikal,” lirih Kak Azzam.
Aku masih menggenggam foto kecil ini, seakan tak percaya jika lelaki di depanku adalah orang yang aku tunggu selama ini. Aku sangat tidak percaya bahwa aku menyukainya, lelaki di masa kecilku. Padahal, masa kecilku hanya menganggapnya sebagai kakak yang selalu melindungiku. Jika saja aku tahu kalau Azzam adalah Rayyan, mungkin aku tak akan menyukainya sedalam ini. Aku lebih nyaman untuk menjadi adiknya, daripada menjadi wanita yang mencintainya tanpa dicintai olehnya.
“Jahat!”
Dia tersentak, senyumnya menghilang seketika. Dia menggaruk tengkuknya, entah apa maksudnya. Aku terus saja memasang muka kecewa untuknya meski sejujurnya aku bahagia sekali bisa bertemu kembali dengan Mas Rayyan. Tapi tetap saja, sikapnya yang menyembunyikan kebenaran ini membuatku sangat kecewa.
“Aku minta maaf. Kalau aku jahat, kamu apa? Bahkan kamu nggak ingat denganku.”
Kali ini aku mendongak, “Ya wajarlah, udah berapa tahun kita nggak ketemu? Hampir 13 tahun! Seharusnya kamu tuh ngomong dari awal kita ketemu! Ish.”
“Aku hanya memastikan, kamu benar-benar lupa atau sengaja melupakan.”
“Kamu nggak tau, selama ini aku masih inget janji kamu! Katanya aku adalah adikmu!”
“Memang aku mengingkari itu semua?”
Aku tersudut oleh ucapanku sendiri. Memang, aku tak tahu dia masih menganggapku sebagai adiknya atau bukan. Tapi, kehadiran Mira yang mengusik perasaanku seolah membuatnya tak menganggapku sebagai adik lagi.
“Memang aku tak menganggapmu sebagai adik lagi? Untuk apa aku menolongmu yang pinsan di hutan? Sadar diri dong, tolong!” Jleb ... aku terpaku oleh ucapannya dengan bada yang mulai meninggi.
“Terserah!” Aku meneguk jus jeruk yang sisa seperempat gelas. Setelah habis, aku langsung beranjak dari tempat ini.
Aku terus berjalan menatap ke depan tanpa menengok sedikitpun. Entah perasaan apa yang sedang kurasakan saat ini. Seharusnya aku senang karena telah bertemu dengan Mas Rayyan. Mungkinkah ini akibat dari perasaanku untuknya?
Rayyan POV
“Memang aku tak menganggapmu sebagai adik lagi? Untuk apa aku menolongmu yang pinsan di hutan? Sadar diri dong, tolong!” Dia sedikit tersentak lalu menatapku sendu.
Aku pun tak tahu mengapa aku sedikit emosi mendengar ucapannya. Bagaimana mungkin aku melupakannya bahkan tak menganggapnya sebagai adik lagi. Selama ini aku selalu mengingatnya, selalu menanyakan kabarnya lewat Mama.Awalnya aku mengira bahwa pertemuan ini akan indah. Setelah bertemu di pernikahan Beni dan Aurel, aku menghubunginya untuk bertemu sore ini. Aku sudah tak sabar ingin menjelaskan semuanya padanya. Awalnya aku akan menunggu kesadarannya sendiri, tapi tampaknya dia benar-benar lupa dengan wajahku.
Aku menggenggam lenganku penuh emosi saat dia meninggalkanku tanpa pamit. Dia berjalan sangat cepat tanpa melirikku lagi. Argh, aku tak tahu apa yang sedang dipikirkan olehnya. Dari dulu dia tak berubah, selalu saja sulit ditebak apa yang menjadi maunya.
Aku berlari, mengejarnya yang sudah menjauh.
“Risel!”
Dia berhenti, tapi tak menghadap kearahku. Bahunya bergetar, dia pasti menangis.
“Aku bingung apa yang kamu mau?”
“Aku minta maaf, aku salah. Tapi tolong, jangan pergi lagi!” lanjutku.
Dia membalikkan badannya menghadapku. Air matanya sudah hilang diusap oleh jemarinya. Hanya tersisa hidunya yang memerah.
“Nggak tau. Aku Cuma sedih. Jangan pergi ya, Mas!”
Aku benar-benar bingung dengan sikapnya. Tadi saja dia memasang wajah benci untukku, tapi kali ini dia berbicara dengan air mata yang mengalir deras. Sepertinya dia sedih sekali kali ini.“Kamu ngapa nangis? Hapus gih, aku bukan Rayyan kecil yang bebas mengusap air matamu!”
Bukannya menghapus air matanya, dia malah berbalik badan dan bahunya semakin bergetar menandakan ia menangis kencang. Ah, kadar kepekaanku begitu kecil hingga aku kebingungan menghadapi sikapnya.
“Hey, malu tau nangis di tengah-tengah parkiran begini. Kamu mau pulang sendiri atau aku anterin?”
Dia menggeleng, dan berlalu meninggalkanku. Lagi-lagi aku ditinggalkan olehnya.“Assalamualaikum, Mas!” teriaknya dari kejauhan tanpa melihatku.
“Waalaikumusalam,” ucapku dengan bibir membentuk sabit.
Risel, dia benar-benar tidak berubah. Masih seperti anak kecil saja saat bersamaku. Tapi, saat dia sendiri, dia adalah sosok perempuan yang berani. Ah, adikku memang sangat pintar!
Risel POV
Aku berjalan pulang, masih menangis sesegukkan. Rasanya berat bila aku harus berjauhan dengan Mas Rayyan. Apalagi ketika kami berpisah dengan tidak baik seperti tadi. Untung saja dia mengejarku, jadi aku tak perlu menurunkan egoku untuk kembali ke tempat makan tadi. Jujur saja, aku sangat sedih membayangkan Mas Rayyan tak akan pernah bertemu denganku lagi.
Apalagi jika harus melihat Mas Rayyan bersama dengan Mira. Sepertinya ini yang membuatku sedih. Meskipun aku tahu Kak Azzam adalah Mas Rayyan, tapi kadar sukaku tak berkurang sama sekali. Aku memang sudah terjebak oleh rasaku sendiri. Aku tak rela jika Mas Rayyan meninggalkanku dan pergi ke Mira. Tidak! Aku masih belum siap.
“Sel, kamu nggak boleh suka sama Mas Rayyan!” gumamku.
Tidak! Aku tak boleh suka padanya. Sama saja aku merusak hubungan persahabatanku dengan Mas Rayyan. Kalau aku mengedepankan rasaku, berarti aku yang mengingkari jani jika aku adalah adik Mas Rayyan.
Ya Allah, aku pasrahkan semuanya padaMu.
Akhirnya bisa Update.
Jaangan lupa vote yaa biar semngat buat update..
KAMU SEDANG MEMBACA
Sersan, kau kembali(Completed)
Roman d'amour"Aku pengen jadi pejuang, pembela, dan pahlawan." ~Azzam Ar-Rayyan~ "Kalo aku pengen jadi guru, Mas. Keren gak?" "Kerenan tentara lah. Kamu tau Pak Imron yang pernah ke balai desa gak? Tentara tu kayak dia itu. Dia suka membantu orang-orang. Tenta...