Burung berkicauan di langit, menambah syahdunya sore hari. Ilalang di tepi jalan bergoyang ke kanan-kiri, tertiup sang angin. Ranting-ranting saling bergesek, menjadi alunan merdu di sore ini. Roda sepeda menggelinding cepat, melaksanakan perintah dari pedal yang dikayuh. Empat roda berputar sesar, menyusuri jalanan menurun. Belasan tahun yang lalu, dua roda menggelinding di jalan ini. Bedanya, dulu jalan ini bukan aspal. Jalanan setapak yang licin begitu hujan turun. Dulu, perempuan itu dibonceng dan meencengkram pinggang lelaki dengan kuat;takut jatuh. Sekarang, saling melepas tawa menggoes sepeda yang berbeda. Saling memacu dengan cepat, seperti sedang bertanding.
“Jangan ngebut!” teriak gadis itu begitu Sang Pria jauh mendahuluinya.
Teriakannya tak dipedulikan. Lelaki itu asyik dengan goesan sepeda, tak sabar ingin cepat sampai. Sesekali, ia membenarkan topi yang menutup ubun-ubunnya. Yang ada dalam benaknya hanyalah rasa bahagia tiada tara. Ia sangat senang, kini dirinya menyesapi kisah masalalunya di tempat ini. Ia menoleh ke belakang, rupanya Risel tertinggal jauh. Ia mendengus, lalu memperlambat goesannya.
“Coba aja bisa kubonceng,” keluhnya. Lalu cepat-cepat dia mengelus dada, mengucap istigfar. Ia menepi, berhenti menunggu Risel. Padahal yang dituju sudah terlihat di depan sana.
“Ngebut banget!” marah Risel dengan napas terengah-engah. Rayyan menahan tawanya, lalu meraih botol minum di sepeda gunungnya.
“Minumlah!” Risel turun dari sepeda, duduk di tepi jalan untuk minum. Rayyan tersenyum. Risel masih seperti yang dulu.
“Nih minum dulu kalau capek!” kata bocah lelaki usia 10 tahun.
Risel langsung menyambar dari genggaman Rayyan, lalu duduk untuk minum. Ia memang selalu diajarkan untuk minum sambil duduk.
“Pintarnya Adikku,” kata Rayyan dengan nada mengejek.Rayyan tersadar dari lamunnya, ternyata Risel sudah menggoes sepedanya. Ia ditinggal! Rayyan tidak marah, ia malah tersenyum mengingat kelakuan Risel yang tak pernah berubah. Semua yang ada pada Risel selalu membuatnya geli.
“Mas, dulu kita sering kesini ya. Dulu rasanya nggak sejauh ini jaraknya dari rumah, sekarang jauh sekali,” kata Risel yang memilih duduk menghadap hamparan padi.
Rayyan berdiri, menyender pada jembatan besi tak jauh dari Risel. “Dulu belum banyak motor, ke mana-mana naik sepeda. Sekarang semua pada naik motor.”
“Kamu tahu apa yang aku rindu dari tempat ini?” lanjut Rayyan.
Risel menengok, meminta jawaban. “Kenangan. Aku rindu kenangan di tempat ini,” kata Rayyan dengan pandangan lurus ke depan.
“Mas Rayyan tau nggak, sejak kamu pindah, aku nggak pernah kesini lagi. Mungkin Cuma lewat waktu mau berangkat sekolah.”
“Kenapa?”
“Karena bagiku, tempat ini terasa nyaman jika Mas Rayyan ada bersam
maku.”“Kamu nggak berubah dari dulu, ya Sel!”
Risel menatap langit yang mulai menampakkan guratan jingga. Saat langit meredup, berwarna jingga, saat inilah yang paling dirindu olehnya. Dulu, hamparan padi hijau menjadi pemandangan yang indah dinikmati bersama sahabat kecilnya. Namun, setelah kepergian sahabatnya, tempat ini hanya menyisakan kenangan untuknya dan tak pernah terjamah olehnya.
“Pulang, yuk!” Risel berdiri, menuju sepedanya.
“Nggak mau foto?” tanya Rayyan yang langsung berdiri.
“Untuk apa? Aku lebih suka menyimpannya dalam puisi, yang bisa kunikmati setiap aku rindu. Kalau aku mengabadikannya melalu foto, berarti aku tak lagi bisa menjamah tempat ini bersamamu. Biar kusimpan dalam bait puisi, yang setiap kita ke sini, menciptakan bait-bait baru.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Sersan, kau kembali(Completed)
Romance"Aku pengen jadi pejuang, pembela, dan pahlawan." ~Azzam Ar-Rayyan~ "Kalo aku pengen jadi guru, Mas. Keren gak?" "Kerenan tentara lah. Kamu tau Pak Imron yang pernah ke balai desa gak? Tentara tu kayak dia itu. Dia suka membantu orang-orang. Tenta...