Angin berhembus lumayan kencang, mengibas ranting-ranting dengan daun beberapa lembar. Angin yang harusnya semilir, menjadi angin ngeri pada sore ini. Membuat dua wanita yang mencintai Azzam Ar-Rayyan menjerit terluka.
Begitu peti mati dimasukkan dalam ruang tamu Ani dan Rudi, seisi rumah mendongak mencoba melihat isi. Ani mendekap peti yang belum dibuka itu, sesekali menyakar untuk meluapkan emosinya.
Tak perlu waktu lama, kabar menyeruak kemana saja. Membuat sanak saudara serta karib langsing datang di rumah ini. Tentunya dengan berat hati, menyaksikan tubuh di dalam peti itu.
“Innalillahiwainnailaihirajiun.” Begitulah ucapan setiap orang yang datang, lalu menguatkan yang ditinggalkan.
“Bang, hiks kenapa pulang?” Isak Mira. Wajahnya semakin sendu ketika tubuh Rayyan dikeluarkan dari peti. Sungguh, ini tak pernah diduga olehnya. Kehilangan orang yang dicintainya, bahkan beberapa hari lagi menjadi suaminya.
“Rayyan anakku! Astagfirullahaladzim, ya Allah putraku.”
Sementara Rudi, sesekali mengelap air mata di pipinya. Rasanya sesak, kehilangan putra kebanggaannya. Putra yang selalu meminta pendapat padanya, sebelum melakukan apapun.
“Harusnya kamu jangan berangkat, Nak. Seandainya kamu nurut kata Mama, Rayyanku sayang,” kata Ani mengecup pelan dahi Rayyan setelah penutup tubuhnya dibuka.
Rudi menyentuh bahu Ani, membisikkan kalimatnya, “Ma, nggak boleh berandai-andai. Semua udah jadi ketetapan-Nya. Rasulullah membenci orang yang berandai-andai.”
Ruang ini terdengar sesak. Suasana menyekik, dibarengi suara tangis kehilangan. Seolah-olah ruang ini mengeluarkan suara. Suara lagu gugur bunga.
Betapa hatiku takkan piluTelah gugur pahlawanku
Betapa hatiku takkan sedih
Hamba ditinggal sendiriSiapakah kini pelipur lara
Nan setia dan perwira
Siapakah kini pahlawan hati
Pembela bangsa sejati
Telah gugur pahlawanku
Tunai sudah janji bakti
Gugur satu tumbuh seribu
Tanah air jaya saktiGugur bungaku di taman bakti
Di haribaan pertiwi
Harum semerbak menambahkan sari
Tanah air jaya sakti
Telah gugur pahlawanku
Tunai sudah janji bakti
Gugur satu tumbuh seribu
Tanah air…
Sampai jenazah selesai dikebumikan, lagu itu seolah terus terputar. Mengiringi kepulangan seorang Rayyan. Seorang Serka Anumerta Azzam Ar-Rayyan.
“Sayang, anakku. Semoga kamu tenang di sana. Hiks Mama akan mencoba ikhlas,” ucap Ani di samping batu nisan.
“Rayyan, Papa bangga sama kamu. Kamu benar-benar pahlawan bagi Papa. Sampai akhirnya, kamu pulang dengan kenangan. Pengabdianmu akan selalu diingat. Selamat jalan, Nak.” Rudi menarik sang istri untuk bangkit. Lalu berjalan menjauh dari Temppat Pemakaman Umum.
Mira, masih di samping pusara Rayyan. Menggenggam tanah lalu di letakkan kembali. Matanya sangat sembab, mengeluarkan banyak air mata atas kepergian calon suami.
“Bang, kita bentar lagi nikah …” Dia beralih menyentuh batu nisan, mengelus nama Rayyan.
“Tapi kamu malah pulang duluan. Kamu harusnya pulang ke aku, calon istrimu. Kamu malah lebih memilih pulang ke sana.” Dia menelan ludah, menarik napas lalu menghembuskannya perlahan. Mencari kekuatan untuk bicara panjang. “Aku kecewa, kamu pergi tugas nggak bilang ke aku. Bahkan, kamu buat aku berpikiran kalau kamu itu beralih ke Risel. Aku sampai datengin sahabat kamu itu, nanyain ini semua. Tapi ternyata kamu nggak nyoba berpaling dari aku.”
“Semua terasa cepat, Bang. Dulu kita temen deket. Terus, kala itu orang tuaku bilang kamu ngelamar aku. Aku seneng banget, akhirnya kamu ngerti perasaanku. Setelah sekian lama, aku Cuma kamu anggap sahabat. Aku ikhlas, lamaran itu kamu tak datang. Karena aku memaklumi tugasmu sebagai prajurit. Bang, aku udah mempersiapkan semuanya. Setelah menikah denganmu, aku udah memikirkan apa yang harus aku lakukan. Aku ingin mengundurkan diri dari rumah sakit. Aku tau aku bakal ikut di kesatuan kamu. Tapi, semua itu hanya rencana. Kamu ternyata pulang untuk selamanya.”
Mira mengedarkan pandangan ke sekeliling, tampak sepi. Hari semakin senja, dia ingin beranjak dari sini. “Oh iya, Bang. Setelah ini aku akan disibukkan mengurus pernikahan kita yang gagal. Tapi aku tetap cinta dan bangga sama kamu. Setidaknya, aku pernah hampir menikah dengan prajurit luar biasa sepertimu, yang gugur karena memperjuangkan kedamaian negeri ini. Aku pamit, Bang.”
Mira melangkah cepat, keluar dari area pemakaman. Hatinya sedikit lega sudah bercerita panjang lebar. Meskipun ia tak yakin, jika Rayyan mendengarnya.
“Dari Rayyan?” Langkah Mira terhenti ketika mendengar suara tanya milik lelaki. Ia langsung membalikkan badannya, menghadap lelaki berjaket abu-abu.
“Eh, iya. Kamu pulang?” lelaki itu mengangguk.
“Yang sabar ya, turut berduka cita.”
“Aku juga paham, kamu sama kehilangannya sama aku. Kita besar bareng, jadi berat kehilangannya.” Lelaki itu tersenyum, lalu meraup mukanya.
“Yah lebih berat kamu, statusnya calon istri. Kalo aku kan sebagai teman.” Dia langsung tertawa kecil, mengajak Mira untuk tersenyum.
“Yaudah sana pulang, hati-hati. Aku mau nengok makam Rayyan dulu. Assalamualaikum,”
Mira mengangguk, “Waalaikumussalam.”
Mira dan lelaki itu melangkah berlawanan arah. Hari ini ditutup dengan sendu. Kehilangan seseorang yang dicintainya. Sungguh berat baginya, tapi inilah takdir.Haiii gaes. Lelaki yang ketemu sama Mira di Makam, siapa ya???
KAMU SEDANG MEMBACA
Sersan, kau kembali(Completed)
Romance"Aku pengen jadi pejuang, pembela, dan pahlawan." ~Azzam Ar-Rayyan~ "Kalo aku pengen jadi guru, Mas. Keren gak?" "Kerenan tentara lah. Kamu tau Pak Imron yang pernah ke balai desa gak? Tentara tu kayak dia itu. Dia suka membantu orang-orang. Tenta...