Detik-detik menuju akhir cerita.
.
Hatiku memang sedang patah, bahkan remuk. Ini tidak akan sesakit ini jika aku tak mencintai Mas Abid. Mudah sekali hatiku terbuka untuknya. Tapi yang kudapat hanyalah luka kedua. Terakhir dia meneleponku kemarin, setelahnya tak ada lagi komunikasi di antara kita. Entahlah, dia tau atau tidak tentang perasaanku ini.
“Omi, ini bacanya apa?” Aku tersenyum pada bocah perempuan yang berpipi gembil itu. Kemarin pagi, Mbak Retno dan Kak Haidar, berkunjung ke rumah dinas Mas Abid. Aku meminta agar Cia menginap di sini untuk menemaniku. Perubahan itu cepat sekali. Mbak Retno terlihat peduli sekali pada Abid. Dia menasihatiku untuk membuat Abid bahagia. “Mbak minta tolong sama kamu, buat Abid bahagia terus. Dia udah banyak sakit hati karena aku.” Mbak Retno tak paham tentang perasaanku. Di sini aku yang terluka karena Abid. Padahal aku ingin membuatnya bahagia.
“Ini namanya huruf hijaiyah, bacanya ‘Ta’, bisa?” Cia mendekat ke arahku, memelukku dari belakang. Membisik ke telingaku, “Tak boleh malh ya, Omi?” Aku tersenyum. Sejatinya setiap anak itu memiliki pemikiran yang luas.
“Iya, bacanya ‘Ta’. Tak boleh marah, kalau marah dapat apa Sayang?” Kini dia duduk bersimpuh di depan televisi bersamaku.
“Kalau malah nanti dimalahin balik, Omi.” Aku mencubit pipinya gemas. “La Taghdob Wa Lakal Jannah.”
“Jangan marah bagimu syurga.” Aku langsung menengok suara dari pintu depan. Wajah dengan senyum mengembang masuk mendekat ke arahku. Ia mengulurkan tangan padaku, lalu kucium punggung tangan itu.
“Om Abid Cia kangen!” Cia langsung menghambur dalam pelukan Abid. Aku deg-degan, saat melihat senyumnya aku merasa didustai. Itu semua palsu.
“Cia, Om belum mandi, bau. Biar Om mandi dulu, ya!” Aku menarik pelan lengan Cia agar berada di pangkuanku. “Om mandi dulu, Cia ama Omi.” Abid mengerutkan dahinya, “Omi?”
“Dia panggil aku begitu,” kataku. Dia langsung masuk kamar menaruh ranselnya dan keluar dengan menenteng handuk. Bahkan, dia pulang saja tidak mengabariku terlebih dahulu. Ya Allah, sakit sekali sebagai istri yang tak dicintai.
Tidak mungkin aku menyerah sampai di sini. Ini bukan sepenuhnya salah Abid. Aku terlalu bodoh, menerimanya begitu saja. Ayah dan Ibu juga sangat yakin dengannya, membuatku tak berpikir panjang. Aku masuk kamar, menyiapkan pakaian santai untuknya. Memang aku terluka, tapi statusku sebagai istrinya harus melayaninya.
“Om Abid. Kata Mami, Om punya dedek buat Cia?” Abid yang baru keluar kamar langsung menatap ke arahku begitu mendengar ucapan Cia. Aku membuang muka. “Cia kalo mau minta sesuatu, minta sama Allah,” katanya sambil berlalu ke dapur. Biarlah, semua sudah kusiapkan. Biar dia makan sendiri.
“Kok dia di sini? Sejak kapan?” tanyanya padaku. “Kemarin. Aku yang minta buat nemenin.”
“Tumben boleh sama Maminya.”
“Emangnya orang nggak boleh berubah jadi baik?” Dia menatapku yang berlalu untuk mencuci piring bekasnya. “Kamu kenapa, Sayang? Kok beda banget.”
“Nggak apa. Aku mau ajak Cia tidur di kamar Tamu, ya.” Aku langsung mengajak Cia untuk tidur siang. Sadarlah, Mas harusnya kamu peka.
***
Mas Abid dapat libur dua hari setelah pulang latihan. Dia mengajakku untuk Ke Magelang, mengantar Cia pulang. Dia banyak berubah, makin banyak omong pada Mbak Retno. Dengan senang hati, Kak Haidar pun meminta agar kami menginap di rumahnya. Tapi Mas Abid menolak. Dia ingin segera istirahat di rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sersan, kau kembali(Completed)
Lãng mạn"Aku pengen jadi pejuang, pembela, dan pahlawan." ~Azzam Ar-Rayyan~ "Kalo aku pengen jadi guru, Mas. Keren gak?" "Kerenan tentara lah. Kamu tau Pak Imron yang pernah ke balai desa gak? Tentara tu kayak dia itu. Dia suka membantu orang-orang. Tenta...