Selamat membaca:)
..
.
Dua bulan berlalu, masih bernuansa sendu. Setiap kali kulihat seseorang memakai baju loreng, ingatanku kembali pada sosok Mas Rayyan. Banyak yang sedih atas kepergiannya. Termasuk orang tuaku, tak menyangka semua seperti ini. Juga Mama Rayyan, beliau sudah tahu semuanya. Iya, kenyataan jika Rayyan mencintaiku.
Beliau menelponku, selalu memintaku untuk menyempatkan berkunjung ke rumahnya ketika libur. Aku tak menolaknya. Aku semakin semangat memburu waktu agar segera bertemu dengan desember.
Tepat hari ini, libur semester genap. Aku tak pulang ke Lampung. Meski Ibu memintaku untuk pulang. Aku menjelaskan padanya jika aku ingin mengunjungi Mama Mas Rayyan, juga mengunjungi makan Mas Rayyan.
Aku tiba di rumah Bude pukul 08.00 WIB. Kebetulan, Mbak Aurel juga sedang berada di rumah Bude. Aku menhalami semuanya, memeluk hangat mereka.
“Harusnya nelepon aku, biar aku jemput. Malah naik ojek,” kata Mbak Aurel. Aku tersenyum hangat padanya.
“Ngerepotin, Mbak. Aku aja udah numpang tidur di sini untuk seminggu ke depan hehehe.” Bude mendeling, mencubit lenganku pelan. “Kamu ini, Bude sama sekali nggak kerepotan. Malah seneng kamu mau datang ke sini,” katanya.
Setelah membersihkan diri, aku pamit untuk istirahat di kamar tamu yang disiapkan untukku. Hari ini aku belum mengabari Mama. Padahal, waktu itu beliau memintaku untuk nginap di rumahnya. Tapi aku tak enak. Lagipula, jarak rumah Bude dengan Mama hanya 20 menit.
***
Aku terpaksa melawan rasa dingin. Sepagi ini aku mandi, agar aku bisa cepat sampai di rumah Mama. Bude yang melihatku segar bugar selepas mandi, mengernyitkan dahi. “Loh, mandi?” Aku mengangguk, lalu membantu beliau menyiapkan sayur di dapur.
“Bude, aku mau ke rumah Mamanya Mas Rayyan,” kataku meminta izin. Bude menghentikan aksi potong memotong cabai, lalu kuraih untuk menggantikannya. “Oh, mau ke makam?” tanyanya yang langsung kuanggukkan.
“Yaudah, salam sama Bu Ani, ya!” katanya, lalu aksinya berpindah mengaduk nasi yang baru tanak.
“Aduh, malu aku keduluan Risel hehehe.” Aku dan Bude menoleh pada sumber suara. Seorang perempuan cantik dengan piyama berdiri di pintu dapur. Aku membalas kekehannya. “Tamu tuh ya harus bantuin lah, Mbak,” kataku dengan tawa.
“Udah, ngobrol aj di ruang keluarga. Ini, pisang goreng. Bawa sana, Nduk!” perrintah Bude. Aku dan Mbak Aurel menurut. Tentunya setelah kuselesaikan mengoseng tahu.
“Sarapan pisang goreng sama teh manis, yuk,” kataku seraya membawa nampan berisi teh manis. Sedangkan Mbak Aurel membawa sepiring pisang goreng.
Kami mengobrol hangat. Sesekali mengomentari berita tentang politik di televisi. Apalagi Kak Beni, suami Mbak Aurel. Beliau senang sekali berdiskusi tentang politik. Beda dengan Mbak Aurel, ia lebih tertarik dengan acara fashion.
“Aku mau siap-siap dulu, mau pamit ke rumah Mama Ani,” kataku pamit mengundurkan diri dari diskusi keluarga yang sangat hangat.
“Mau diantar, Nduk?” tanya Pakde. Aku menggeleng, “Nggak usah, Pakde. Naik ojek aja, mau mapir-mampir nanti.” Beliau mengangguk paham.
Aku memesan ojek online, menuju tempat pemakaman Mas Rayyan. Aku sengaja tidak ke rumah Mama terlebih dahulu. Aku ingin segera mengunjungi Mas Rayyan.
Sebelumnya, aku menghubungi Mbak Mira untuk menanyakan letak makam Mas Rayyan. Ia menjelaskan sangat rinci, lalu setelahnya mengucapkan hati-hati. Satu yang baru kutahu, Mbak Mira orang baik. Mungkin sikapnya padaku dulu hanya karena cemburu bila Mas Rayyan bersamaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sersan, kau kembali(Completed)
Romance"Aku pengen jadi pejuang, pembela, dan pahlawan." ~Azzam Ar-Rayyan~ "Kalo aku pengen jadi guru, Mas. Keren gak?" "Kerenan tentara lah. Kamu tau Pak Imron yang pernah ke balai desa gak? Tentara tu kayak dia itu. Dia suka membantu orang-orang. Tenta...