Tampaknya Ibu masih merindu sanak saudaranya di Magelang. Kemarin sore, kuajak pulang pagi ini, dengan tegas beliau menolak. Alasannya masih rindu. Wajar sih, soalnya Ibu memang tumbuh di kota ini. Sebelum dipinang oleh Ayah, Ibu memang besar di kota kecil ini.
Mbak Aurel dan Kak Beni sudah berbenah, meninggalkan rumah ini. Mereka sedang menikmati masa pengantin baru di Tangerang. Entah bulan madu, entah Kak Beni yang sudah dituntut untuk bekerja.
“Nduk, kata Aurel bakal ada tamu,” kata Mama Mbak Aurel.“Lah kan Mbak Aurelnya nggak ada di sini, tamu Mbak Aurel apa Bude?”
Aku menggigit apel merah di genggamanku.
Bude mencomot potongan apel dari genggamanku, dan melahapnya.“Tamumu.”
“uhuk uhuk ...” Aku tersedah kunyahan apel, kaget mendengar ucapan Mama Mbak Aurel.
“Kok tamuku? Nggak punya temen di sini, Bude!”
Mama Mbak Aurel hanya tersenyum, mengedipkan matanya padaku. Aku semakin dibuat bingung olehnya. Sementara Ibu asyik mengobrol dengan Adik dan kakaknya. Aku melanjutkan memakan apel, setelah meminum air karena tersedak tadi.
Kutekan tombol remot tv, mengganti channel yang kutonton. Ah, aku bosan dengan berita gosip yang tak berhenti membahas bayi kembar milik Jeje.“Nduk, tamunya datang!”
Aku langsung menengok ke arah ruang tamu. Jarak ruang keluarga dengan ruang tamu memang tersekat oleh tembok. Aku diam, menunggu Mama Mbak Aurel memanggilku lagi.
“Sini, temuin tamunya!”
Aku langsung menaruh remot tv, dan membenarkan tatanan kerudungku.“Emang siapa sih, perasaan aku nggak ada temen di sini,”
Baru saja aku sampai di pintu pembatas antara ruang tv dengab ruang tamu, kakiku terhenti begitu melihat sosok yang sangat kukenal.
Aku hanya mampu memandang orang yang tengah duduk di depan Bude alias Mama Mbak Aurel. Dengan percaya diri, dia memberi senyum untukku dan langsung berdiri menyambutku.
“Nggak ada temen di Magelang? Lah aku ini apa?” katanya.
“Oh iya, aku kan Kakakmu, bukan temanmu ya. Lebih spesial dari teman.”
Dia semakin meringis, melihat wajahku yang menunjukkan ekspresi malu.
“Jadi semalem Aurel bilang kalo Rayyan mau ke sini nemuin kamu katanya. Bude bingung Aryan temennya Beni kok bisa kenal kamu, eh ternyata dia orang spesialmu ya, Sel. Ibumu juga ndak pernah cerita kalo kamu punya Rayyan!”
Gila, benar-benar gila. Aku berdiri di sini dengan menahan malu. Bisa-bisanya Bude bilang kalau Mas Rayyan adalah orang spesial. Atau, Mas Rayyan emang sudah bercerita yang tidak-tidak pada Bude?
Aku melajukan langkahku, mendekat pada Bude dan memilih duduk di sebelahnya. Aku memilih diam dari tadi, sementara Bude sibuk mengobrol dengan Mas Rayyan mengenai Kak Beni dan Mbak Aurel. Katanya, Mas Rayyan ini teman Kak Beni saat dulu Mas Rayyan tugas di Serpong. Ah bukan, lebih tepatnya Kak Beni adalah teman SMPnya Mmas Rayyan sebelum dia pindah ke Tangerang.
“Nduk, ndak dikasi minum?” Bude menyenggol lenganku, menyadarkanku dari lamunanku.
“Eh iya. Mau minum apa, Mas?”
“Teh manis saja,” katanya dengan senyum sangat manis.
Segera aku melangkah ke dapur untuk membuat minum. Ah, lega. Setidaknya debar jantungku kembali normal saat aku sudah di dapur. Sedari tadi aku menahan debar jantungku saat berhadapan dengan Mas Rayyan. Aku semakin bingung, ternyata rasa ini memang untuknya bukan hanya untuk Kak Azzam. Yah, memang mereka satu tubuh, tapi rasanya aneh bila aku harus menyukai Mas Rayyan, sahabat kecil yang sudah kuanggap sebagai kakak.
“Loh, buatin siapa?” Aku tersentak mendengar pertanyaan Ibu yang baru saja keluar dari kamar mandi.
“Eh ini ada tamu.”
“Tamunya Budemu?” Aku menggeleng.
“Siapa?”
“Mas Rayyan.”
Ibu langsung menepuk pundakku, “Serius kamu?” Aku hanya mengangguk.
“Ibu kangen sama Rayyan.” Ibu berjalan tergesa-gesa menuju ruang tamu. Wajar saja Ibu kangen, belasan tahun juga Ibu tiidak bertemu dengan Mas Rayyan.
Selesai mengaduk teh manis milik Mas Rayyan, aku segera mengantarkan untuknya. Aku terkejut melihat Ibu memeluk Mas Rayyan dengan air mata yang mengalir. Hatiku bertanya-tanya apa yang terjadi?
Aku meletakkan teh manis di depan Mas Rayyan, juga meletakkan teh hijau untuk Bude. Ibu langsung melepaskan pelukannya dengan Mas Rayyan begitu menyadari aku sudah ada bersamanya. Aku menatap mereka bingung, meminta penjelasan apa yang sedang mereka bicarakan. Sedangkan Bude hanya duduk diam dengan wajah datarnya.
“Alhhamdulillah, Nak kamu sudah besar sekarang sudah jadi orang,” kata Ibu yang dibalas senyum oleh Mas Rayyan.“Dulu kamu suka bantuin Ibu nemenin Risel kalo Ibu tinggal ke pasar. Waktu kamu pindah, rasanya Ibu kehilangan anak lelaki.”
“Rayyan juga merasa kehilangan, Bu. Ibu kan Ibunya Rayyan. Rayyan kecil dulu suka ngotot kalo Ibu itu Ibunya Rayyan, jadi Rayyan dulu mikirnya punya dua ibu. Yang satu Mama dan yang satu Ibu.”
“Kamu loh, Ibu pikir udah sombong nggak pernah berkunjung.”
“Bukannya gitu, Bu. Rayyan Cuma nunggu waktu yang pas. Dulu Rayyan pernah janji kalo Rayyan udah pake seragam loreng, baru Rayyan bakal ke rumah Risel. Niatnya sepulang satgas kemarin, Rayyan mau berkunjung eh taunya langsung ke Magelang. Risel tuh gimana sih, Bu waktu itu Rayyan nelpon, ngabarin kalo lagi di Magelang, tapi dia diem aja nggak mau ngomong kalo dia lagi di Magelang juga. Taunya ketemu pas nikahannya Beni.”
“Loh, kalian saling komunikasi berarti selama ini? Buktinya pernah telponan.”“Eh, nggak Bu!” kataku cepat, sebelum Mas Rayyan angkat bicara.
“Kami ini ketemu di Papua, tapi dia sombong nggak kenal sama Rayyan.”
“Iya, Sel?” tanya Ibu. Aku hanya menunduk, meremas ujung kerudungku.
“Ya habisnya beda mukanya. Sekarang tingginya jauh diatas Risel, dulu perasaan nggak jauh saama tingginya Risel.”
“Makin ganteng kan sekarang?” Aku langsung mendelik begitu Mas Rayyan mengatakan bahwa dirinya ganteng. Memang sih, beda sekali dengannya di masa kecil. Dulu dia tidak setampan sekarang, badannya pun sekarang gagah sekali.
Setelah mengobrol puas, Bude menggiring Mas Rayyan untuk makan siang bersama. Setelah melaksanakan shalat dzuhur di mushola dekat rumah Bude, Mas Rayyan pamit pulang. Ia hanya mendapat cuti delapan hari dan itupun sudah padat diisi oleh agenda dengan teman ataupun saudara di Magelang.
Kami mengantarkan Mas Rayyan hingga teras depan rumah. Mas Rayyan mencium tangan Ibu dan juga Bude sebagai tanda hormat.
“Kalo udah di Lampung, boleh tuh main tempat Ibu, Yan!” kata Ibu saat Mas Rayyan sudah menaiki motornya.
“InsyaAllah, Bu. Risel juga boleh kok main di Batalyon, hehehe.”
Ibu dan Bude tertawa renyah, sedangkan aku menahan malu. Mas Rayyan memakai helmnya, lalu siap mengegas motor.
“Eh, Mas!”
Dia menoleh ke arahku, “Hati-hati!” Dia tersenyun, lalu melajukan motornya.
Rasanya senang sekali bertemu dengan Mas Rayyan, meskipun sedari tadi aku harus olahraga jantung. Melihat wajahnya saja membuatku deg-degan. Apalagi, saat berbicara dengannya rasanya gugup sekali. Waktu belasan tahun yang memisahkan kita memang sukses membangun tembok canggung antara aku dan Mas Rayyan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sersan, kau kembali(Completed)
Romance"Aku pengen jadi pejuang, pembela, dan pahlawan." ~Azzam Ar-Rayyan~ "Kalo aku pengen jadi guru, Mas. Keren gak?" "Kerenan tentara lah. Kamu tau Pak Imron yang pernah ke balai desa gak? Tentara tu kayak dia itu. Dia suka membantu orang-orang. Tenta...