-Aku percaya, rencana Allah selalu indah-
Sepuluh hari di Lampung, sekarang aku menapakkan kakinya di tanah Magelang. Minggu lalu, Adik dari Ibu mengabari bahwa ada hajat di rumahnya. Sepupuku, Mbak Aurel besok melangsungkan pernikahan. Lumayan, selain silaturahmi dengan keluarga Ibu, aku bisa menikmati udara segar di kota ini.Baru hitungan jam aku berada di tempat ini, tapi aku langsung jatuh cinta. Aku terhanyut dalam syahdunya suasana di sini. Tak semenarik jogja memang, tapi di sini lebih dari cukup untuk membuatku jatuh cinta. Aku tidak tahu apa yang membuatku jatuh cinta. Ah, rasanya setiap inci kota ini berhasil membuatku candu.
Saat ini, di rumah Adik Ibu, semua sibuk mempersiapkan pernikahan Mbak Aurel. Aku yang notabenenya sebagai tamu pun terpaksa ikut sibuk untuk kelancaran acara Mbak Aurel. Tapi tak apa, aku suka jalan kesana kemari untuk membantu. Katanya, Mbak Aurel akan menikah dengan pengacara muda asal Tangerang. Makanya, acara pernikahan ini lumayan mewah, melihat Mbak Aurel sendiri pemilik rumah makan yang sudah tersebar di penjuru nusantara.
“Ayo, Nduk dibantu biar ngerti besok pas kamu yang nikah,” celetuk Mbah Um yang berdiri di sampingku.
Mbah Um, aku memanggilnya begitu. Katanya sih ada hubungan saudara jauh dengan Ibu. Beliau sangat aktif, meskipun sudah sedikit membungkuk disebabkan usia yang tak lagi muda.
“Hehehe, jodohnya aja belum dateng, Mbah.”
“Lah iya tah, biar ketularan dapet jodoh.”
Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan Mbah Um. Sudah kubilang, aku cinta dengan tempat ini. Aku tak pernah menghilangkan senyum bahagiaku ini ketika berbicara dengan siapapun. Bukan karena aku ingin tampil ramah, tapi karena aku terlalu bahagia hingga tak ada lagi cemberut.
“Mbak, aku pengen deh tinggal di Magelang kalo udah nikah,” kataku pada Mbak Aurel yang tangannya sedang dilukis dengan henna.
Dia tersenyum, “Yaudah kamu cari orang sini aja. Mau tak kenalin, po?”
“Lebih seru kenalan dengan sendirinya tanpa perantara, Mbak.” Mbak Aurel hanya tersenyum mendengar jawabanku dan kembali memejamkan matanya.
“Mbak, abis nikah ikut ke Tangerang atau gimana?”
“Iya, dong. Ngikut suami kemanapun,” jawabnya tanpa membuka mata.
“Kalo aku nikah nanti, aku juga mau ikut suamiku deh. Bukannya istri harus selalu ada di samping suami untuk mendukungnya?” Mbak Aurel terkekeh mendengar ucapanku.
Drettt ... drettt ...
Saat sedang asyik membuka album masa SMA milik Mbak Aurel, ponselku bergetar. Bukan pesan masuk, tapi telepon masuk.
O856 xxxx xx xx nomor tak dikenal
“Assalamualaikum,” salamku dengan nada pelan sekali.“Waalaikumussalam warrahmatullahi wabarakatuh, masih ingat?”
Deg ... suara ini mirip seseorang yang kurindu.
“Kak Azzam, bukan?”
“Hehe. Kemarin aku pulang ke Yonif 143, mau ngabarin kamu tapi belum punya nomormu. Ini aku baru aja minta ke Bayu. Tapi aku udah di Magelang, cuti abis tugas.”
“hehehe, gitu ya. Emm, di Magelang?”
“Iya, pulang kampung. Niatnya sebelum pulang dari Papua sih pengen ke rumahmu di Lampung. Katanya kamu emang pulangnya ke Lampung, kan?”
“Iya. Yaudah ya, aku sibuk banget. Maaf ya aku putus sambungannya. Assalamualaikum.”
Aku langsung menutup ponselku tanpa menunggu balasan darinya. Rasanya aku tak karuan ditelpon olehnya.
“Siapa, Sel?”
“Oh, ini Mbak, temen waktu di Papua.”
“Rumahnya Magelang?”
“Iya, Mbak. Udah ah, aku mau bantu nata buat besok.”
Aku langsung keluar dari kamar Mbak Aurel. Kupegang dadaku, dan ya ... masih berdegub kencang tak seirama. Ah, aku ini lemah sekali. Hanya ditelpon saja rasanya seperti sedang balapan lari.
***
Aku tersenyum bahagia melihat sepupuku berwajah anggun duduk di pelaminan dengan Sang Pujaan hati. Aku duduk di bangku, 100 M dari pelaminan. Sudah pasti, aku memperhatikan para tamu yang mengucapkan selamat untuk Mbak Aurel dan Kak Beni.Pikiranku berjalan jauh, membayangkan bagaimana jika aku yang ada di mahligai pelaminan itu. Tersenyum manis dengan gaun menjuntai, duduk di samping lelaki yang kupilih kelak. Oh iya, jika nanti aku menikah, aku akan memasang wajah bahagia. Tak akan kulupakan, akan kuundang semua temanku. Hehehe
“Nduk, makan dulu!” perintah Mbah Um. Iya, lagi dan lagi, Mbah Um selalu memperlakukanku dengan baik. Ah, aku menyayangimu, Mbah.
Aku berjalan, menuju tempat makanan berjejer rapi. Aku mengambil secukupnya dan langsung duduk di bangku. Tapi, kali ini aku tak duduk di bangku tamu. Aku memilih duduk di bangku tempat panitia prasmanan.
“Mbak, aku makan di sini nggak apa ya, malu makan di sana.” Mbak panitia dengan gamis brukat merah muda mengangguk dengan senyum ramah.
Selesai makan, aku memilih masuk ke dalam rumah. Menyalami tamu undangan khusus. Sebenarnya malu, tapi Ibu memaksaku. “Biar kenal saudara, Nduk,” kata Ibu.
Daripada bingung mencari alasan untuk menolak perintah Ibu, aku memilih mengikuti perintahnya. Duduk manis di atas karpet bergambar bunga. Aku di sini hanya menyalimi tamu yang katanya adalah saudara kami. Iya saudara, tapi banyak sekali yang tak kukenali. Wajar saja, aku jarang ikut kumpul dengan saudara di sini.
“Wah, Nduk Risel udah gede aja. Dulu Bulek yang gendongin nih, ngompol di pangkuanku.” Aku hanya tersenyum canggung menanggapi perempuan berumur sekitar 45 Tahunan yang menyebut dirinya dengan ‘Bulek’.
Sedang asyik menyimak obrolan para orang tua yang sedang nostalgia, Bude Yah menyenggol bahuku, “Nduk, tolong dong bilang ke panitia prasmana suruh nyiapin makan untuk lima orang, temennya Mas Beni!”
Aku langsung bergegas untuk menemui panitia prasmanan dan segera memberi tahu. Huh, rasanya lelah sekali mondar - mandir seperti ini.
“Dek, boleh minta tolong ya bawain buah untuk tamunya Mbak Aurel!” Baru saja aku duduk santai di sofa kamar tamu, Mbak Panitia membuatku segera beranjak dari zona nyaman ini.
Aku membawa nampan berisi buah untuk tamu Kak Beni. Spesial kah tamunya hingga makan saja disipakan khusus begini. Begitu sampai di pintu menuju ruang tamu, aku terkejut melihat tamu Kak Beni. Berambut cepak dengan pakaian kerja yang masih melekat di badannya. Ya, lima orang tentara yang duduk lesehan dengan tegap. aku meletakkan nampan berisi buah dengan wajah yang menunduk. Aku tak berani menatap mereka, rasanya ngeri.
Baru saja aku berdiri hendak kembali ke sofa tempatku duduk tadi, aku dikejutkan dengan suara dari salah satu mereka.
“Risel?”
Aku mendongak, mencari pemilik suara itu. Betapa terkejutnya aku ketika menatapnya.“Kak Azzam?”
“Apa kabar?”
Aku memandang teman-temannya yang memasang wajah heran.
“Siapa, Bro?” tanya salah satu temannya yang bertahi lalat di dagu, namun diabaikan oleh Kak Azzam.
“Alhamdulillah. Temennya Kak Beni?”
Kak Azzam mengangguk, lalu tersenyum. “Nggak bisa ketemu di Lampung, tapi dipertemukan di Magelang.”
“Hehehe, maaf ya, permisi. Masih repot di belang.” Aku buru-buru pergi dari ruangan ini, tanpa mendengar jawaban Kak Rayyan.
Sungguh di luar dugaan. Aku sama sekali tak menyangka akan bertemu Kak Azzam di sini. Skenario Allah memang luar biasa. Aku juga tidak tahu kapan lagi aku bertemu dengannya, bisa saja aku bertemu di pelaminan dengannya. Iya, aku menyalami istrinya, mengucapkan selamat untuknya hehehe.
Part yang lumayan panjang. Jangan lupa vote yaa gaesss
KAMU SEDANG MEMBACA
Sersan, kau kembali(Completed)
Romance"Aku pengen jadi pejuang, pembela, dan pahlawan." ~Azzam Ar-Rayyan~ "Kalo aku pengen jadi guru, Mas. Keren gak?" "Kerenan tentara lah. Kamu tau Pak Imron yang pernah ke balai desa gak? Tentara tu kayak dia itu. Dia suka membantu orang-orang. Tenta...