Hello, Bandung!

3.6K 322 2
                                    



“Oke, Ri. Nanti aku telpon kalau udah sampe. Jangan lupa kunci kamar kostku ya!”

Gadis berkerudung abu itu memasukkan ponselnya kedalam tas seusai menelepon sahabatnya, Riri. Sejak keputusannya kemarin, bahwa ia akan kembali ke Bandung. Ia sudah bertekad untuk kembali ke Bandung dan mulai lembar baru. Tak menghapus semua, hanya membuang lembar kisahnya dengan Rayyan ketika ia menyukainya.

Risel membuang napas kasar, lalu memejamkan mata. Perjalanan Lampung-Bandung ini benar-benar murung. Seperti di film, berada di perjalanan setelah patah hati. Kalau di film genre romantis, sang pangeran detik ini sedang mengejar-ngejar putri yang sedang di dalam bus. Tapi sayangnya, itu berlaku jika prianya mencintai wanita itu. Beda dengan Risel. Bahkan, patah hatinya disebkan cinta yang tak berbalas.

Risel menyiapkan barang bawaannya, mengingat sekitar lima menit lagi sampai terminal. Ia tak membawa banyak barang, sebab sebagian barangnya memang sudah ada di kost. Ia memasukkan air mineral kedalam ranselnya, juga snack dan tisu. Risel melempar senyum pada perempuan setengah abad yang duduk di sampingnya sebagai simbol terima kasih. Selama diperjalanan, perempuan itulah yang menjadi teman mengobrol.

Begitu turun dari bus, Risel langsung mengambil kopernya di bagasi. Lalu mencari tempat duduk untuk menunggu Riri.

“Risel!”

Benar. Itu suara Riri dengan mulut dibalut masker. Risel melabaikan tangannya.

“Mau minum dulu nggak, Ri?”

“Nggak usah deh. Ini masih jam 8 pagi, lebih baik langsung ke kost aja aku ada makanan.”

“Eh minta tolong anterin ke kostku loh, Ri.”

“Iya. Aku ada makanan di kostmu. Aku masuk kamarmu tadi, hehehe.”

Riri melajukan motor maticnya dengan santai. Sedang Risel masih dengan memori tentang Rayyan. Sejak tau bahwa Rayyan akan melamar Mira, Risel tak lagi berhubungan dengan Rayyan via telepon. Pesan singkatnya pun tak dibalas. Pernah sekali Rayyan menelepon Risel, namun tam diangkat.

Satu bulan lebih Risel meninggalkan kamar kostnya. Padahal, bulan depan kontrak kostnya sudah habis. Mungkin, bila tak ada kabar sesak tentang Rayyan, ia tak akan memperpanjang sewa kamar kost. Kenyataannya pun ia keembali lagi ke Bandung dengan harapan sembuh dari luka itu.

Begitu motor Riri memasuki gerbang kost, Risel langsung menghentikan lamunannya. Segera menarik koper kecil yang ditaruh di depan Riri. Berjalan pelan menuju kaamar kostnya di bagian belakang. Sedari tadi, Riri memerhatikan Risel. Ada kejanggalan yang Riri rasakan. Yah, pasti seorang sahabat lebih peka terhadap sahabatnya.

“Ris, kamu kenapa?” tanya Riri duduk di kasur.
Risel merebahkan tubuhnya, mengurai lelahnya, “Kenapa, apanya? Nggak papa tuh.”

“Aku ngerasa ada yang kamu sembunyiin. Aku nggak tau masalah apa. Tapi, masalah apapun itu kalau kamu belum siap cerita, nggak apa. Semoga dipermudahkan semuanya ya.” Risel hanya diam, mengganti posisi rebahannya menjadi miring ke kanan membelakangi Riri.

“Tadi pagi, jam 7 kalau nggak salah. Kak Azzam telepon aku,” kata Riri memulai serius.

Risel terperanjak, segera menghadap ke arah Riri, “Loh, ngapain?”

“Kok kaget gitu? Jadi bener ya kamu suka sama Kak Azzam?”

“Ri, ngapain dia telepon kamu?”

“Dia awalnya nanya kabar. Karena setelah pulang dari Papua nggak pernah saling komunikasi, katanya. Kedua ...”

“Apa?” Risel beranjak duduk dekat Riri.

“Katanya dapat nomorku dari Bayu.”

“Udah, gitu aja?”

“Tuh kan! Kamu suka ya?”

“Ih, ceritain dulu!”

“Dengerin baik-baik ya. Dia nanyain kamu, katanya apa aku masih saling kontak apa nggak sama kamu. Terus dia nanyain kenapa 4 hari kemarin kamu susah dihubungin. Eh, kalian saling komunikasi?”

“Kamu jawab apa?”

“Aku bilang nggak tau.”

“Kamu bilang nggak kalau aku lagi di Bandung?”

“Nggak sih, kelupaan mau bilang.”

“Jangan! Jangan kasih tau apapun tentang diriku ke dia. Aku nggak mau ganggu Mas Rayyan lagi.”

“Mas Rayyan?” Riri menatap dengan bingung.

Risel mengangguk, “Kak Azzam itu Mas Rayyan, Ri.”

“Jadi, kamu suka sama sahabat kecilmu?”

Risel menunduk, bulir-bulir tangisnya perlahan jatuh.
“Diluar kuasaku, Ri. Semua membingungkan. Waktu aku ke Magelang, nggak sengaja ketemu dia. Akhirnya dia jelasin kalau dia itu Mas Rayyan. Aku sakit hati, Ri selama itu dia bohong. Aku udah terlanjur ada perasaan sama Azzam. Dan ternyata aku tetap suka sama dia, meskipun aku udah tau kalau dia sahabat kecilku.”

Riri menggeleng, “Nggak salah kok, Ris kalau kamu suka sama sahabat kamu sendiri.”

Risel menghela napas panjang, “Bukan itu masalahnya. Waktu di rumah, Mas Rayyan ngasi perhatian ke aku. Itu malah memupuk perasaanku. Tapi, kenyataan pahit yang kutau, dia minggu besok mau melamar wanita lain.”

“Hah? Kukira dia juga ada rasa ke kamu, Ris. Siapa wanita itu?”

“Aku paham, perhatian dia ke aku itu sebatas kakak ke adik. Aku yang salah, lupa kalau dari kecil Mas Rayyan selalu merhatiin aku kayak gitu. Kamu masih inget dokter yang manggil Mas Rayyan dengan sebutan ‘Bang’?”

Riri mengernyitkan dahinya, “Ehm, Mira?” katanya ragu.

“Iya. Dia yang mau dilamar Mas Rayyan.”

“Ha? Kok bisa?”

“Yah, pasti seorang pria akan melamar wanita yang dicintainya. Mereka juga udah deket dari SMA. Orang tua mereka juga sudah saling kenal lama.”

“Kamu mau lupain Rayyan?”

“Iya. Mau bagaimana lagi? Malah semakin sakit kalo aku inget Mas Rayyan, apalagi ketemu dia. Bantu aku untuk ikhlas ya, Ri. Aku mau mulai lembar baru. Aku mau fokus daftar PNS aja sekarang.”

“Terus, persahabatan kalian gimana?”

“Nggak tau, intinya aku mau sembuh dulu. Setelah itu, biar berjalan apa adanya aja. Aku pun harus siap melihat mereka di pelaminan nanti.”

“Kamu pasti bisa kok! Udah, kamu mending mandi abis itu makan. Aku punya makanan tuh,” kata Riri menunjuk dua kantung plastik di atas meja.

Risel berdiri, mengambil handuknya. Lalu bergegas menuju kamar mandi.

“Hello, Bandung! Semoga kamu bisa menyembuhkanku dari luka ya.”

Sersan, kau kembali(Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang