Simbol Kasih (Extra Part)

7.8K 371 39
                                    

Assalamualaikum guyss, ini extra part ya. Setelah ini benar-benar tamat.
Selamat membaca.

Memang benar kata orang-orang bahwa pelangi akan datang setelah badai. Ah, bukan badai. Angin kencang saja bagiku. Batu keras itu pun lama-lama berlubang terkena tetesan air terus menerus. Cocok sekali untuk menganalogi Mas Abid. Sikap dingin dan kakunya itu sudah enyah setelah pengungkapan cinta. Huft, cinta itu memang mampu mengubah segalanya ya.

Kini Mas Abid benar-benar menjadi suami yang kuidamkan. Tanggung jawab, penyayang, baik, romantis, tidak mudah emosi, dan selalu menuntunku ke jalan-Nya. Rasanya lengkap sekali hidupku. Oh, iya. Mas Abid ini ternyata protektif sekali. Eh, posesif juga terkadang.

‘Jangan kerja berat-berat! Jangan makan pedas! Tidur yang cukup, nggak usah ke toko kalau nggak penting banget!’ Itulah kata-kata yang selalu kudengar delapan bulan ini. Ya, semenjak hadirnya satu nyawa di dalam perutku.

Seperti waktu itu, aku sudah siap di atas motor untuk tancap gas. Tiba-tiba Mas Abid mencabut kontak motor. “Nggak usah ke toko, biar di urus karyawan saja,” katanya mencegahku. Padahal, toko kue milik kami itu baru saja berjalan lancar sekitar lima bulan. Masih semangat-semangatnya untuk dikunjungi. Tapi aku hanya bisa menurut, apalagi ketika dia menunjukkan rahang yang mengeras. Yah meskipun itu hanya menakut-nakuti saja.

Hari ini aku memilih menghabiskan siang di toko. Aku sudah mengirim pesan pada Mas Abid, meminta izin untuk ke toko. Tapi tak dibaca olehnya. Akhirnya aku pergi saja. Seminggu ini dia rutin mengabariku, menyempatkan untuk melakukan panggilan video ketika dia ada waktu. Beginilah rasanya sedang menabung celengan rindu.

Selama aku mengandung, baru seminggu ini Mas Abid meninggalkanku untuk kembali latihan di Lahat. Penuh drama sekali sebelum berangkat. Dia memelukku erat, tak tega meninggalkanku yang sedang mengandung anaknya. Tapi sebagai istri, aku tetap melepasnya pergi dengan senyum.
“Nanti aku panggil Mama aja suruh ke sini, ya?” tawarnya waktu itu. Aku menolaknya, “Mas, Mama itu punya kesibukkan sendiri. Kamu juga Cuma dua minggu kan? Itu nggak lama. Biarkan aku belajar menjadi istri yang tangguh. Kita tidak tau kan kedepannya seperti apa. Kalau aku terbiasa manja, gimana kalau kamu dapet tugas setahun di perbatasan?” Setelah berdebat agak panjang, akhirnya dia berangkat Latihan.

“Ibu emang nggak di marah Pak Abid ke toko?” tanya Santi, karyawan lulusan SMK jurusan Tata Boga itu. Aku menggeleng, “Nggak. Aku bosan banget di rumah nggak ada temannya.”

“Sini, aku yang gantian mengaduk adonannya. Kamu hias kuenya aja,” kataku mengambil alih mixer dari tangan Santi.

Mas Abid membiarkanku membuka toko kue, merintis dari bawah sekali. Mas Abid hanya memberiku modal, selebihnya aku sendiri yang mengatur. Ide ini muncul saat ulang tahun Mas Abid yang ke 28 tahun. Aku membuat kue tart untuknya. Katanya, aku ini ada bakat untuk membuat kue. Berawal dari situ, aku meminta izin untuk berjualan online. Setelahnya, Mas Abid membelikan Ruko untuk toko kue yang dinamai “Abdullah Cake’s”.

Baru saja aku memasukkan lelehan cokelat ke dalam adonan, tiba-tiba perutku keram sekali. Tiga karyawan perempuan langsung membopongku untuk tidur di sofa panjang yang ada di dapur.
Astagfirullah, sakit banget perutku. Tolong dong, bawa aku ke rumah sakit,” pintaku dengan napas tersengal.

Sungguh, rasanya sakit sekali. Sampai membuatku terengah-engah. Sulit mengatur napas, setelahnya pandanganku kabur.

“Ibu atur napasnya ya, Bu. Tarik napas lalu hembuskan pelan.” Aku mengikuti perintah dokter kandungan di sebelahku. Apa aku akan melahirkan? Bukankah ini bukan HPLnya?

Sakitnya menjalar sampai ke punggung. Rasanya seperti akan membelah diri. Aku tak henti mengucap istigfar dalam hati. Aku memohon ampun atas segala dosa. Rasanya sakit sekali, pikiranku sudah menjalar ke mana-mana.

Sersan, kau kembali(Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang