Ada Sosok Rayyan pada Dirimu~Bisa jadi, kamu adalah ranting yang kembali tumbuh, menjadi tunas baru setelah patah.
Sampai di rumah Bude, Abid mengikuti langkahku masuk ke dalam. Aku hanya membiarkannya, lau memilih menemui Bude di dapur. “Sudah pulang, Nduk?” tanyanya. Aku menangguk, “Udah, Bude. Masak apa ini?”
“Buat opor ayam. Bentar lagi matang ini, Nduk. Abid udah pulang?” Aku mengaduk-aduk opor ayam bewarna kuning kunyit di wajan itu. Aromanya tercium lezat sekali, membuat perutku minta diisi lagi. “Oh, belum, Bude. Ada Pakde di depan, ngobrol sepertinya.”
Bude mengambil mangkuk kaca berukuran besar. Begitu kompor telah dimatikan, lengan pintarnya itu menyiduk opor ayam dan memindahkan di dalam mangkuk. “Ajak makan dulu, setengah jam lagi Ashar. Pulang abis shalat aja, makan bareng di sini.” Bude memang selalu hambel dengan siapapun. Karenanya, aku betah di rumah ini.
“Emang nggak apa, Bude? Masih lama loh setengah jam.”
“Pokoknya makan bareng dulu. Bude mau ngobrol sama dia juga.” Aku hanya mengangguk.
Mbak Aurel keluar kamar dengan aroma sabun yang sangat harum. Tampaknya ia baru selesai mandi. Aku jadi ingat jika aku ini belum mandi. Melihat Mbak Aurel menyiapkan makanan di meja makan, aku mengambil kesempatan untuk pamit mandi.
***Dari kamar yang kutempati, terdengar suara ramai di ruang tamu. Sepertinya bukan hanya obrolan dua manusia, tapi lebih. Dari tadi, telingaku mendengar obrolan mereka yang sempat terjeda. Mereka menjeda obrolan asiknya untuk segera melakukan shalat berjamaah di masjid. Seisi rumah pun demikian, aktivitas dihentikan karena untuk melaksanakan kewajiban.
Mendengar suara Abid, aku seperti mmerasa sosok Mas Rayyan ada di sini. Gaya bicara mereka sama. Ketika Mas Rayyan ngobrol dengan Ayah, mirip sekali dengan Abid ketika sedang ngobrol dengan Pakde. Ah, aku jadi ingat Abid yang katanya dirinya dengan Rayyan hampir sama, sebelas dua belas lah. Memang iya, ada beberapa sifat mereka yang sama. Tentang Abid yang berwajah datar, lempeng, seolah semua damai. Sama seperti Mas Rayyan. Eh, kalau Mas Rayyan cenderung dingin wajanya.
Begitu mendengar panggilan Bude, aku langsung menuju ruang makan. Ternyata aku yang datang paling akhir. Sudah tersusun rapi, Bude, Pakde, Mbak Aurel, Kak Beni, dan Abid. Aku tersenyum kaku, lalu duduk di dekat Bude. Keluarga ini selalu hangat. Biasanya, selepas makan, mereka masih duduk di meja makan untuk sekadar mengobrol.
“Bid, kamu udah punya pacar belum?” Aku tersentak mendengar pertanyaan yang dilayangkan oleh Mbak Aurel. Yang dituju pun sama kagetnya. Abid langsung berdehem, “Ah, nggak pacaran saya, Mbak. Buang-buang waktu.”
“Kamu ini mirip Rayyan temennya Risel itu, pas itu pernah main kesini ditanyain katanya nggak mau pacaran, maunya langsung nikah,” kata Bude.
“Kamu tugas di mana sekarang?” kini beralih, pertanyaan dari Kak Beni juga membuatku tersadar. Aku hampir melupakan kalau Abid ini katanya lulusan Akmil. Yah, pastilah profesinya adalah seorang tentara.
“Yonif Raider 400, Bang.”
“Oh, Semarang, kan?” Abid mengangguk.“Bu, aku sama Mas Beni besok mau pulang ke Tangerang. Nggak papa ya, lebih cepet dari rencana,” ucap Mbak Aurel memecah suara keheningan. Semua mata langsung tertuju padanya, kecuali Kak Beni. Ya pasti dia tahu rencana ini. La wong perginya juga sama dia.
“Lah, katanya masih tiga harian lagi? Ada apa, toh?” penasaran Pakde. Aku tak beralih dari menatap Mbak Aurel. Aku juga penasaran kenapa mendadak sekali pulangnya. Padahal, katanya mereka sengaja mengajukan cuti untuk pulang.
“Kayaknya Beni nggak bisa, Pak ninggalin kerjaan. Di sana, Mami lagi demam. Kakak-kakak lagi pada sibuk kerja. Terus Aurel tadi siang nawarin buat ngerawat Mami. Nggak apa kan, Pak?” jujur Kak Beni pada Pakde. Semua melepas raut penasaran. Ternyata itu alasan mereka pulang mendadak.
“Iya, nggak papa. Ibu juga ada Risel yang nemenin. Bener kamu, Nak. Kalau mertua sakit, kamu sebisa mungkin urusi dan kancani. Mertuamu itu juga Ibumu, Ibunya suamimu, surganya suamimu. Bantu suamimu mudah menggapai surga, Nak. Oh iya, Ibu juga ngerti kadang kita sulit menerima. Tapi, ya mau nggak mau harus melayani juga, harus ngopeni kalau kata Orang Jawa. Setelah kamu dinikahi Beni, surgamu ada di Beni. Ibaratnya kamu itu nggak boleh kesini tanpa izin, kalau mertua sakit ya dijenguk, bantu suami untuk berbakti ke orang tuanya. Kalau ada salah kata, jangan dimasukkan hati. Ibu yakin mertuamu pasti mau yang terbaim untukmu. Yaudah, besok Ibu mau beli rempeyek buat Mamimu, ya!”
Aku tersentuh mendengar ucapan Bude. Sebuah nasihat untuk anak perempuannya. Aku yang berada di tengah-tengah mereka juga menangkap nasihat itu. Dari dulu, aku selalu beranji untuk menyayangi mertua seperti orang tua sendiri. Tapi, kadang terbesit rasa takut. Iya, takut jika kita diperlakukan seperti di sinetron. Hehehe, aku ini korban sinetron.
“Iya, Bu. Makasih banyak ya, Bu,” pinta Mbak Aurel.
Aku menilik sekitarku. Semua sudah rampung dengan kegiatan makannya. Tidak ada mulut yang sedang mengunyah. Aku langsung membereskan piring kotor, lalu segera kucuci. Samar-samar aku mendengar suara salam. Dilanjut oleh ucapan “Hati-hati, ya!” Tidak salah, Abid telah pamit pulang. Wajar saja, sudah pukul lima sore. Selama itu dia ada di sini.
Pikiranku dipenuhi oleh sosok Abid. Bagaimana mungkin dia masuk begitu saja dalam kamus hidupku? Padahal, tak pernah kuduga akan menjadi seperti ini. Rencana Allah itu memang hebat. Aku juga merasa heran, aku dengannya baru kenal dua hari ini. Tapi rasanya sudah lebih dari dua hari. Bahkan, dengan santainya dia menceritakan semua lukanya padaku. Harapannya, dengan bercerita semoga dia bisa lega. Luka yang dipendam perlahan menjadi sembuh.
“Bude baru tau kalau Abid itu anaknya Almarhum Pak Saga. Kamu nggak cerita, Nduk.” Aku dikagetkan oleh suara Bude yang tiba-tiba muncul ketika aku membasuh tangan bekas sabun cuci piring.
“Loh, Risel malah nggak tau. Memangnya Bude kenal sama Bapaknya?”
“Kenal, dia dulu punya klinik. Cuma udah tutup. Rumahnya deket rumah Bu Ani, kan? Lah dia tinggal sama Mbaknya dong setelah ditinggal kedua orang tuanya?” tanya Bude. Aku terdiam, hendak kujawab apa pertanyaan ini. Tidak mungkin aku menceritakan semuanya pada Bude. Bahlan, Abid telah memintaku untuk jadi orang yang bisa dipercaya olehnya.
“Kalau katanya sih Cuma beberapa kali aja ke rumah yang di sini. Kan Mbaknya sudah punya rumah sendiri juga, Bude.” Bude hanya ber-oh ria saja lalu berlalu dari dapur.
“Eh, katanya kalian kenal karena Rayyan ya?” Lagi-lagi aku dikagetkan oleh Bude yang entah kapan sudah berada di dapur lagi.
“Iya, Bude. Baru kenal dua hari. Tapi dia baik banget, mirip Mas Rayyan.”
“Bisa jadi penggantinya Rayyan, dong hehehe.”
“Eh, Bude jangan ngomongin gitu. Nggak baik ngomongin orang yang sudah meninggal.”
Bude tertawa, lalu merangkulku menuju ruang tv. Kebiasaan keluarga ini, menonton tv sembari menunggu maghrib. Kadang, Bude memilih menulis jadwal pengajian rutin Ibu-ibu yang dipimpin olehnya.InsyaAllah bakal update.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sersan, kau kembali(Completed)
Romance"Aku pengen jadi pejuang, pembela, dan pahlawan." ~Azzam Ar-Rayyan~ "Kalo aku pengen jadi guru, Mas. Keren gak?" "Kerenan tentara lah. Kamu tau Pak Imron yang pernah ke balai desa gak? Tentara tu kayak dia itu. Dia suka membantu orang-orang. Tenta...