Patah Hati yang diciptakan

4.2K 328 0
                                    

-Patah hati ini aku yang menciptakan. Dan aku tahu ini adalah konsekuensi dari mencintaimu-


Jingga menyapa, mengembalikan semangat jiwa-jiiwa yang lelah mengais rupiah. Terbakar terik matahari, menjadikan punggung sebagai tameng hingga legam terbakar. Bahkan, capil petani pun tiada melindungi. Sedang PNS telah duduk bersimpuh di teras rumah sembari menikmati secangkir kapal api lengkap dengan keripik pisang kepok, merenungi tentang hatinya yang terluka terhadap moral murid-muridnya. Juga seorang Babinsa berbaju loreng, telah kembali ke rumah menemui anak isterinya untuk merajut cerita cinta setelah mengabdikan diri untuk rakyat.

Gadis berkerudung biru itu duduk tenang, memaknai sore hari yang telah merenggut siang. Tentu saja pasal siang yang hanya ia gunakan untuk bersantai. Bukan, bukan jiwanya tak ada semangat. Tapi sejak tiba di Pulau Sumatera, ia belum kembali ke Bandung untuk menyapa pekkerjaannya. Tak pernah alpa dengan buku catatan dan pena, selalu menjadi sahabat sejati ketika bersender pada kursi menikmati mentari yang mulai tenggelam. Sesekali ia menyeruput kopi susu yang dibuat dengan penuh cinta. Tentu saja, baginya sesuatu yang dibuat oleh tangannya sendiri harus dibumbui oleh cinta. Padahal, ia tak yakin cintanya tumpah pada segelas kopi susu itu.

Tangannya menari-nari di atas kertas putih, lihai menumpahkan kalimat-kalimat ungkapan hatinya. Setelahnya, diberi tagar pecandu Rindu yang tak lain adalah sebuah nama pena. Tak jarang, bibirnya membentuk senyum setelah membaca ulang larik puisi yang ia ciptakan. Memang jiwa sastranya mendarah daging. Sejak masa SMA dulu, ia memang senang sekali mencoret-coret buku, menuliskan bait-bait puisi yang apik.

Baginya, puisi adalah ekspresi. Setiap puisi yang ia tulis, mampu menjelaskan apa yang dia rasakan. Sebait puisi maknanya mendalam, bagaikan catatan harian yang disingkat menjadi sebuah puisi. Puisi-puisi dari jaman SMA masih tersimpan rapi dalam buku bersampul hitam. Ditulisnya lembar demi lembar dengan goresan puisi bermakna. Kadang, dia membaca ulang, dan semua kisah SMA seolah mengajaknya berbicara melalui puisi itu.


Berbeda dengan Rayyan. Ia lebih memaknai semesta dengan lensa. Baginya, semua akan dikenang melalui citra foto. Dunia fotografi sangat dicintainya. Tapi, tak membuat dirinya berkecimpung menjadi seorang fotografer. Katanya, sebuah foto untuk dinikmati sendiri. Memotret dengan kemauan sendiri, lebih dalam maknanya daripada sengaja memotret untuk mendapat pundi-pundi rupiah. Setiap orang beda persepsi. Dan itulah persepsi seorang Rayyan.


Risel menjamah ponselnya, menyusuri story whatApp. Tampak nama Rayyan muncul, dengan gesit Risel membukanya. Rasanya memang begitu. Ketika melihat nama seseorang muncul di deretan story, jemari memang selalu lincah menekan dan melihat kegiatan orang itu.

Dipandangnya lama sekali, sementara degub jantungnya melampaui batas normal. Masih tetap dipandang lekat, setelahnya lalu ia meng-screenshoot apa yang diunggah oleh Rayyan. Rasanya ingin sekali Risel membanting ponselnya yang menampakkan sebuah video. Ya, video yang diunggah oleh Rayyan. Sebuah video berdurasi 30 detik, menampakkan seorang gadis yang membuat Risel cemburu.

“Aku nggak cemburu,” batin Risel.

Lalu apa namanya kalau bukan cemburu? Melihat video Rayyan bersama dengan Mira yang sedang makan, lalu video terfokus pada wajah Mira yang sedang kepedasan. Satu lagi yang membuat Risel cemburu. Ah, lebih tepatnya patah hati. Caption yang bertuliskan ‘Yang membuat rindu, wajahnya ketika menahan pedas. Dasar!’

“Berarti yang waktu itu telepon Mas Rayyan beneran Mira. Dan beneran nyusulin Mas Rayyan,” kata Risel bermonolog.

Tak selang lama, sebuah pesan dari Rayyan masuk. Antara senang dan sedih. Risel segera membuka pesan dari Rayyan. Ternyata mengirim sebuah foto memegang buku tentang wanita bersampul merah jambu.

‘Dek, udah punya buku ini? Kalau belum, Mas belikan untukmu.’

Risel tersenyum. Tak ada yang mengomando, bibirnya membentu sabit. Padahal lima detik yang lalu dia terluka. Tapi, dibuyarkan oleh pesan dari Rayyan. Tangannya menekan layar, mengetik sebuah balasan untuk menerima buku dari Rayyan dan mengucapkan terima kasih.

“Ah, nggak! Baru aja aku patah hati, masa langsung luluh. Ini pasti Mas Rayyan lagi sama Mira di toko bukunya.” Risel menggerakkan jarinya untuk menghapus apa yang sudah ia ketik.

Lima menit berlalu, Risel masih memandangi pesan dari Rayyan. Hatinya ingin membalas, tapi akalnya menolak. Sungguh ini menyakitkan baginya. Terus saja dipandangi ruang chatnya dengan Rayyan sampai akhirnya mucul panggilan video dari Rayyan. Tak sengaja Risel mengangkatnya.


Bagai jatuh tertima tangga. Tadi ia dilukai dengan video kemesraan Rayyan dengan Mira yang sedang makan bersama. Dan sekarang, beraninya Rayyan melakukan panggilan video dengan Risel padahal di sampingnya muncul sosok yang membuat Risel cemburu.


“Assalamualaikum,” salam Rayyan dengan senyum.

“Waalaikumussalam. Kenapa?” jawab Risel sedikit ketus. Ia kemudian mengganti dengan kamera belakang. Ia malu menampakkan wajahnya yang sedang menahan panas cemburu.

“Pesanku nggak dibales, kenapa?”

“Nggak papa.”

“Ngapa kamera belakang?”

“Aku sibuk, Mas!”

“Sibuk apa? Online terus gitu. Nih, Mira udah pulang dari Papua.” Rayyan mengarahkan kamera ponselnya ke wajah Mira. Dan Mira reflek mengukir senyum centil pada Risel.

“Hai Risel. Apa kabar?”

“Baik, Mbak. Kapan pulang dari Papua?” jawab Risel mencoba ramah pada Mira.

“Seminggu yang lalu. Dan sekarang nyamperin Bang Rayyan. Rindu soalnya.”

“Sengaja banget ngomong tentang rindu, sakit hatiku, Mas Rayyan!” batin Risel.

“Mampir ke rumah, Mbak kalau sempat!”

“Tergantung Bang Rayyan kapan bisa anter aku.”

“Maaf ya, Mbak! Aku masih ada kerjaan. Assalamualaikum.”

Risel memilih mengakhiri panggilan video dengan Rayyan. Ia terlalu lemah untuk mendengar suara Mira yang seolah-olah memamerkan kedekatannya dengan Rayyan. Tak terasa, air mata jatuh di pipi Risel. Namun segera ia mengusapnya.

“Beneran ya aku suka sama Mas Rayyan?” lagi-lagi dia bermonolog.
“Mas Rayyan itu sahabat kecilku, kok aku bisa suka sih?”
“Mungkin benar. Tidak ada persahabatan sejati antara pria dan wanita. Pasti ada rasa di salah satunya. Dan, benar. Aku yang memiliki rasa itu.”
“Sepertinya sore ini melihatku patah hati. Ah, lebih tepatnya patah hati yang diciptakan. Iya, sengaja diciptakan. Dan akulah yang menciptakan. Jika aku nggak jatuh hati pada Mas Rayyan, video kemesraan mereka tadi tak mungkin membuatku terluka menahan cemburu. Mas Rayyan, tolong menjauhlah! Biar rasa ini segera pudar. Dan kembalilah menjadi sosok kakak untukku. Tidak lebih!”

Sersan, kau kembali(Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang