Prasangka Mira

3.8K 318 2
                                    

Assalamualaikum ...
Akhirnya, bisa update.
Kalo kalian suka, mangga atuh di vote. Kalau nggak suka, abaikan saja. Atau bisa dikritik :)
Basing ah pokoknya mau dikomen, divote, atau diapain. Baru sadar tujuannya nulis cerita ini buat kalian seneng dan ada kegiatan baca di hari libur ini.
Nuhun, Teteh sadayana😘
Jaga kesehatan yaaaaaaa

Langkahku semakin cepat, memburu waktu untuk tiba tepat waktu. Terngiang-ngiang suara perempuan muda di telingaku. Katanya, “Jangan telat, ya. Aku sampe jam 2. Aku buru-buru mau ke Depok.”

Karenanya, aku meninggalkan sekolah tempatku mengajar. Biasanya, meskipun jam ngajarku sudah habis, aku masih leyeh-leyeh di ruang guru sembari mengakrabkan diri dengan rekan sejawat. Kali ini, aku terpaksa keluar lingkungan sekolah setelah jam mengajarku habis.

Buru-buru aku cari ojek, agar cepat sampai kost. Kalau bukan karena dia, aku malas pulang dengan terburu-buru seperti ini. Biasanya aku pulang dengan langkah santai, mengurai lelah secara perlahan. Huh! Kalau saja tak ingat jika dia adalah orang penting dalam kehidupan orang yang kucintai, audah malas aku menemuinya.

“Hai, Sel!” Aku masuk area kost disambut oleh senyum yang tak sampai melengkung itu. Aku cepat-cepat membalas seenyumnya.

“Masuk kamarku ya, Mbak!” kataku lebih ke memerintah, “Enakeun di dalem.” Dia hanya mengangguk, lalu mengekor di belakangku.

Kutaruh tas di atas meja, tak lupa menyuruh tamuku untuk duduk di bangku belajarku. Biar aku yang duduk di tepi kasur saja. “Aku pesenin makan atau minum, Mba?” tawarku menjamu tamu. Dia menggeleng, memantapkan duduknya setelah menaruh tas di samping kakinya. Meskipun mendapat gelengan, aku tetap mengambilkan air mineral gelas untuknya.

“Naek apa, Mbak dari Batujajar?” tanyaku. Dia yang hendak menusuk pipet air mineral, terhenti untuk menjawab pertanyaanku. “Dianter Kakakku.”

“Dia lagi ada urusan sama kerjaanya sambil nunggu aku,” jelasnya sebelum aku melayangkan pertanyaan.

“jadi,” dia menyudahi minumnya, langsung memotong kalimatku. “Aku mau ngobrol tentang Bang Rayyan.” Aku tersentak, menatapnya heran.

“Aku tau kamu itu lebih dari temen,” katanya lagi. Aku meletakkan air mineral di meja, kuurungkan untuk meminumnya. “Kita sahabat, Mbak. Lebih dari teman, memang.”

Dia menyampirkan ujung kerudungnya di bahu, “Bahkan aku curiga lebih dari sahabat.” Aku menelan ludah kasar, mengganti posisi dudukku menjadi lebih tegap. “Sekadar sahabat, Mbak. Dari kecil kita tumbuh bareng, tapi setelah itu terpisah 13 tahun lamanya.”

“Entahlah, Bang Rayyan juga bilang seperti itu. Tapi rasanya, aku sedikit tak percaya.”

“Apa yang Mbak ragukan?” tanyaku. Aih, mengapa aku malah melanjutkan diskusi yang ujungnya membuka lukaku?

“Setelah ketemu kamu, dia aneh. Sejak lamaran dan resmi menjadi calon suami-isteri, dia pun tak pernah peduli kegiatanku.”

Aku menarik napas, lalu kuhembuskan pelan sekali, “Mungkin dia sibuk, Mbak.”

“Dia ada ngehubungin kamu seminggu ini?” Aku mengingat-ingat, ah Cuma pesan singkat kemarin lusa. Aku menggeleng, “Cuma beberapa kali missed-Call. Tapi, setelah itu nggak ada komunikasi lagi.”

Dia mengangguk, menunjukkan raut kelegaan. “Aku percaya kamu nggak akan bohong. Syukurlah, aku ngiranya dia nggak ngabarin aku karena sibuk sama kamu.”

“Ya nggak mungkin lah, Mbak! Tapi wajar, Mbak Mira cemburu berarti cinta banget sama Mas Rayyan,” kataku dibarengi tawa yang sengaja kubuat. Dia pun ikut tertawa.

“Btw, kamu dateng ya! Pasti Bang Rayyan seneng kalau sahabatnya bisa dateng.” Aku masih dengan ketawaku, lalu terhenti tiba-tiba dikarenakan kalimatnya.

“Tenang, deh! Aku bayarin tiket pulang-pergi. Gimana?” katanya lagi. Aku menggeleng, “Ah, nggak usah. Aku Cuma nggak tau ada waktu atau nggak. Aku usahain deh, demi Mbak Mira. Hehehe.”

Obrolan kami terjeda beberapa detik. Saling diam, menyapu sudut ruang dan sesekali menatap luar jendela. “Eh, aku buru-buru pamit, ya! Kakakku udah selesai urusannya.”

“Oh, iya Mbak. Lain kali semoga bisa ketemu lagi. Langsung ke Depok, Mbak?” dia mengangguk, “Iya. Ketemu mertuanya kakakku. See you.” Aku melambaikan tangan, lalu mengucap salam untuknya.

Hanya 45 menit kami mengobrol. Selama obrolan, aku tak merasa sesak. Artinya, hatiku sudah mulai sembuh. Semoga saja.

Di depan gerbang, gadis berkerudung abu itu tergopoh-gopoh membawa ransel. Melambaikan tangan pada seseorang yang mengantarnya. Setelahnya, menyeringai ke arahku. Dia membawa ransel dan tas jinjing. Seperti mau backpacker saja dia.

“Wey! Teteh!” teriaknya dengan logat sunda yaang kelihatan sekali sedang dibuat-buat. Enam tahun lebih di tanah ini, logatku masih mendarah daging pada Lampung. Oh, maaf. Bukan logat seperti orang Lampung asli, tapi logat orang-orang yang tinggal di Lampung. Kalian pasti bisa membedakannya. Aku saja heran. Di Malang, semua menggunakan bahasa Malang. Di Tasik, semua mahir berbahasa Sunda. Bandung juga demikian. Semua, semua daerah pasti menggunakan bahasa daerahnya ketika berbicara dengan sesama. Tapi, di Lampung tidak. Bahasa daerah hanya digunakan oleh orang-orang bersuku Lampung asli. Dan sebagian besar penduduk Lampung adallah pendatang. Jadi, pakai bahasa Indonesia dengan logat sedikit mirip logat Lampung.

Kalo di Pulau Jawa, ada pelajaran bahasa Jawa. Mereka menganggapnyaa mudah, karena setiap hari mereka berbahasa Jawa. Katanya, sih. Tapi, ketika aku sekolah dulu, ulangan Bahasa Lampung sering membuat gemes. Tak tau artinya, bagaimana bisa mengerjakan soalnya. Sampai-sampai aku sedih, hampir 19 tahun menetap di Lampung, bahkan tanah kelahiran, tapi tak mahir berbahasa Lampung.

“Mau kemana kamu?” tanyaku begitu Riri tepat dihhadapanku.

“Pindah.” Santai sekali jawabannya. Aku menarik ranselnya sebelum dua masuk ke dalam kamarku. “Ih beneran, mau kemana?” tanyaku sekali lagi.

“Depok,” katanya. Aku segera membuntutinya masuk ke dalam kamarku.

“Aku nginep semalem, ya! Besok pagi mau otw Depok. Udaah terlanjur keluar kost, males mau balik.”

Aku menautkan kedua alisku, “ih jelasin! Tiba-tiba ngomong nggak jelas.”

Dia beranjak dari baringnya, menatapku serius kalu ini. “Aku ngajar di sana, sekalian deket sama Pamanku. Kerja, ngurus toko kain punya Paman. Lumayan, bantu keluarga sendiri.” Aku terkejut, Riri tak pernah membincangkan perihal pindahnya ini. “Gila, aku baru dikabarin. Huh!”

“Maaf, ya! Dadakan juga. Semalem Paman nelepon, katanya suruh pindah ke sana. Soal ngajar, Paman dapet tawaran dari temennya. Katanya lagi butuh pegawai honorer. Aku mau,” katanya lalu melanjutkan aksi rebahan di kasurku. “Oh, iya. Motorku jagain ya! Sementara aku kasi pinjem kamu, sebelum Sepupuku yang ambil.”

“Ri, mau pisah sama kamu kok biasa aja ya?”

“Emang kamu mah nggak ada sayangnya sama sekali ke aku,” katanya dengan muka sok disedihkan.

“bodoamat! Kamu jaga diri, ya. Sama-sama doa biar dilindungi,” kataku. Riri menatap atap kamar, “Aamiin.” Lalu matanya terpejam tanpa dikomando. Mungkin dia lelah, mengemasi barang-barangnya. Meskipun hanya seransel, tidak menutup kemungkinan jika barangnya yang seabreg itu sudah dikemas rapi tinggal menunggu sepupunya yang menjemput.


Sersan, kau kembali(Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang