.
.
.
Di sambut hangat oleh Mama, membuatku betah di rumah ini. Mama, aku dipaksa memanggilnya begitu. Katanya, aku ini putrinya. Tentu saja, setelah kehilangan putranya, aku diharapkan bisa menjadi pelipur untuknya.
Terlihat dari rautnya, ibu satu anak ini mencoba sekuat tenaga untuk tidak hanyut dalam kesedihan. Bibirnya selalu dilengkungkan, menunjukkan pada siapapun bahwa ia adalah wanita tangguh.
Berada di sini dari tadi pagi, aku sama sekali belum menyinggung perihal Mas Rayyan. Aku hanya tak tega harus menguak luka Mama yang mungkin saat ini mulai menutup. Aku mengikuti ajakannya untuk berkutat di dapur. Membuat cireng, dilengkapi sambal rujaknya. Aku tak pernah bosan berada di ruang yang diisi seperangkat alat masak ini. Dari remaja, aku suka sekali membuat makanan. Yah, meskipun banyak gagalnya sih. Tapi, makan ke sini sepertinya kemampuanku lumayan lah dibanding jaman SMP dulu.
Ternyata bukan hanya cireng, Mama mengajakku untuk membuat semur ayam. Ah, tak hanya itu saja. Sebelum aku datang, beliau sudah rampung menyiapkan makanan di meja makan. Tahu goreng, tempe goreng, tumis kangkung, dan kerupuk ikan yang rapi di dalam toples.
“Dah, siap. Tinggal nunggu tamunya,” katanya. Oh, mungkin untuk menyambut Om Rudi dari kerja. Wah, Mama romantis juga ternyata.
“Kita shalat dzuhur dulu, nanti tamunya dateng langsung santap siang.” Aku menuruti perintahnya. Segera wudhu, dan mengikutinya ke sebuah ruang untuk shalat keluarga.
“Wah, tamu agung sudah datang.” Aku mendengar suara Mama menyambut tamu. Selepas memakai kerudung, aku langsung keluar. Tentu saja untuk menemui Om Rudi.
Senyum yang sengaja kucipta untuk Om Rudi menjadi kaku, perlahan terhempas oleh wajah terkejut.
“Hai, Ustadzah!” Dugaanku salah, kukira tamu yang dimaksud adalah Om Rudi. Ah, aneh juga rasanya menyebut suami sendiri sebagai tamu.
“Ma, dia ini nih cinta sejatinya Rayyan,” katanya fokus pada semur ayam di hadapannya. Aku mendengus, lalu duduk di samping Mama.
“Cinta sejati sampai akhir hayat.” Sontak aku menoleh pada Mama. Sepertinya tak mungkin Mama bisa berbicara dengan nada enteng lalu dibarengi ketawa. Apalagi, ini menyangkut putranya.
“Cuti sampai kapan, Nak?” Aku melongo. Jadi, lelaki ini anak Mama? Eh, tapi dia bilang dia ini adalah sahabatnya Mas Rayyan.
“Sampai 02 Januari, Ma.”
“Wah, sepuluh hari. Cuti terbanyak ya?”
“Iya, pulang dari PNG dapet bonus. Eh, ini enak semurnya.” Aku langsung menoleh ke arahnya yang sedang mencentong nasi. Banyak juga porsi makannya. Tiga kali lipat dari milikku. Eh, mungkin lima.
“Itu dibantuin Risel. Pinter masak ternyata. Bisa dibilang benar-benar menantu idaman, Lho.” Aku berdehem, tak nyaman membahas seperti ini. Sama saja mengingatkanku pada Mas Rayyan yang ternyata mencintaiku juga.
“Nah, cireng. Kamu suka cireng dari dulu. Makanlah, buatan gadis Bandung.” Lalu, lelaki itu mencomot cireng buatanku dan mencocol pada sambal. Gila, baru selesai makan nambah dua porsi pula, dia masih makan cireng dengan lahap.
“Bener, enak buatannya. Pantes aja Rayyan cinta banget.” Mama tertawa renyah mendengarnya. Sedangkab aju, memilih membawa piring kotor dan langsung mencucinya.
Aku dihanui rasa penasaran. Siapa lelaki itu? Benarkah sahabat Mas Rayyan? Tapi, dia sepertinya dekat sekali dengan Mama. Bahkab berani membicarakan kepergian Mas Rayyan di hadapan Mama.
“Dia sahabatnya Rayyan, udah Mama anggap sebagai anak. Dulu dia itu sering nginep di sini. Jadi Rayyan berasa punya saudarah.” Aku dikagetkan oleh suaranya. Mama meletakkan piring kotor bekas cireng di wastafel, dan langsung kucuci detik itu juga. Hah, cirengnya habis?
“Semua sahabat Rayyan manggil saya Mama. Kecuali Mira, dia lebih nyaman memanggil ‘Ibu’.” Aku hanya mmenanggapi dengan senyum, lalu mengelap tanganku yang basah.
“Abid ini nggak punya orang tua, makanya dia kalau libur pulangnya sering ke sini.” Baru saja aku ingin melangkah ke depan, tapi langsung dijegal oleh ucapan Mama. Akhirnya, kita saling menyandari di meja kabinet.
“Rumahnya nggak jauh, lima menit sampe. Katanya, di rumah sepi jadi dia datang ke sini. Cuma tiga tahun ini dia nggak pernah pulang, kepentok pekerjaan.”
“Ngomongin Abid ya, Ma?” Tiba-tiba dia muncul. Oh, sudah ganti baju. Pakai kaos hitam dengan celana selutut.
“Ini Risel, Bid. Sahabatnya Rayyan.”
Abid tersenyum, “Rayyan udah cerita semua, sampai Abid Bosan. Cintanya Rayyan dia.” Mama mengikuti tawanya Abid. Aku hanya diam, sesekali melirik lantai.
“Udah tau siapa saya?” tanya lelaki bernama Abid ini setelah Mama izin ke halaman belakang. Aku hanya mengangkat alis, sebagai simbol jawaban ‘ya’.
“Lebih dari sekedar itu.” Dia membasuk tangan di wastafel. “Seseorang tak mudah menganal Abid yang seseungguhnya. Bahkan, perempuan yang saya cintai saja tak paham tentang saya.”
“Ya gimana mau paham kalau orang yang kamu cintai itu nggak mencintai kamu?” kataku sarkasme.
“Kok tau? Mama nggak tau tentang ini padahal.”
“Nggak perlu tau, kalimatmu barusan udah menjelaskan. Makna tersirat.”
“Ya, lebih dari itu. Semuanya rumit, sulit ditata kembali.” Dia duduk di meja makan, berjarak 200 meter dariku yang masih bersandar pada meja kabinet. “Mungkin, kita bisa mencoba mengenal?”
“Buat apa?”
“Saling mengobati. Kamu nggak tahu ya, orang asing bisa saja mengobati lukamu.”
“Tapi sayangnya aku nggak terluka.”
“Ck! Siapa yang nggak terluka melihat orang yang kita cintai akan menikahi wanita lain? Yah meskipun pada akhirnya tak ada yang berhasil memilikinya.”
“Nggak usah sok tahu, kamu!” Aku semakin jengkel dengan lelaki ini.
“Yasudah, biar kita saling mengenal karena kita pernah di posisi yang sama; sedang tidak baik-baik saja.”
“Kamu sok tau tentang aku, bahkan nggak saling kenal. Kadang, pertemuan aneh itu memang nyata.”
“Makanya, mari mencoba untuk saling mengenal! Saya Cuma ingin mengenalmu, melaksanakan amanah dari Rayyan. Kalau kita sudah berteman, saya mudah menjaga kamu sebagai teman saya juga. Bukan menjaga, Cuma melihat siapa orang yang berhasil membuatmu lupa dengan kisah Rayyan.”
“Terima kasih, silahkan lakukan apa yang kamu mau. Terserah, tapi kamu punya hutang untum menceritakan siapa sebenarnya diri kamu! Sampai Rayyan memberi amanah padamu.”
Dia menarik ujung bibirnya, “Oke, mulaai perkenalan. Izin, nama saya Abidakarsa Abdullah. Panggilan Abid, suka memotret, suka makab untuk mengisi energi, suka berpetualang sampai lupa jalan pulang.” Aku tertawa kecil. “Jangan panggil saya Abid karena saya lebig tua dar anda!”
Aku tertawa, membuatnya menatap heran. “Oke, Om?” Dia menjerling. “Fi, Kak Abid.”
“Hm, panggil Mas!”
“Oh, big no! Anda siapa?”
“Rayyan saja seumuran dengan saya kamu panggil Mas.”
“Beda lah.”
“Sepertinya anti sekali panggil saya ‘Mas’”
“Itu hak saya, Kak Abidakarsa anaknya Mama Ani.”Update 2 part sekaligus pagi ini. Selamat membaca:)
Semangat beraktivitas di hari senin;)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sersan, kau kembali(Completed)
Roman d'amour"Aku pengen jadi pejuang, pembela, dan pahlawan." ~Azzam Ar-Rayyan~ "Kalo aku pengen jadi guru, Mas. Keren gak?" "Kerenan tentara lah. Kamu tau Pak Imron yang pernah ke balai desa gak? Tentara tu kayak dia itu. Dia suka membantu orang-orang. Tenta...