Siapa yang Salah?

3.7K 334 16
                                    


Nepatin janji, next part😁


Acara pernikahan kami sangat mendadak. Pagi setelah resepsi, kami pulang ke Rumah Ibu untuk menyiapkan barang-barangku. Abid akan membawaku ke Magelang di awal januari. Sebagai istri, aku mengikutinya kemanapun ia pergi.

Aku memang sering berpamitan dengan Ayah atau Ibu ketika hendak pergi keluar pulau. Bedanya, saat ini aku izin pergi dengan lelaki yang bergelar suami. Jika dulu aku pergi ke Bandung, bebas kapan pulang Ke Lampung sesuai jadwal libur, beda dengan sekarang yang harus menyesuaikan dengan kesibukan Abid. Berbicara tentang Bandung, dengan pikir panjang aku melepas pekerjaan yang baru saja beberapa bulan kujalani. Terkesan labil memang aku ini sering melepas pekerjaan. Tapi semua ini karena keadaan. Mau gimana lagi?

Kali ini perjalanan menuju Magelang lebih santai dari perjalanan Semarang-Lampung kala itu. Abid sesekali membuka obrolan tentang kita.
“Kak Abid, kenapa nggak sewa sopir aja? Emang nggak capek semalem baru selesai resepsi, paginya langsung nyopir.” Dia menoleh ke arahku, “Kalau ada sopir, suasananya beda.” Dia memberikan e-money pada petugas tiket kapal. Lalu melajukan mobilnya, berderet rapi masuk ke dalam kapal.

Aku mengambil tas jinjingku, juga plastik camilan yang dibawakan oleh Ibu. Kami keluar dari mobil, naik ke atas menuju tempat duduk. Abid mengajakku untuk masuk ke kelas VIP.
“Sini, duduk,” katanya menepuk sofa di sampingnya. Aku langsung duduk di sebelahnya, lalu meletakkan plastik camilan itu di tengah-tengah kami.

“Ini kapal jalan lumayan cepat, 2 jam udah bisa nyender.” Aku hanya ber-oh ria saja. Dia membuka plastik, lalu mengambil satu bungkus keripik pisang cokelat. Aku melihatnya mengunyah dengan sangat nikmat. “Katanya, keripik pisang cokelat ini khas Lampung ya?” tanyanya disela mencomot keripik di bungkusnya. “Iya. Banyak varian sih, nggak Cuma cokelat aja. Ada balado, keju, asam manis, matcha.”

“Enak,” katanya setelah menghabiskan setengah keripik cokelat kemasan 100 gr.

“Kamu nggak nyesel nikah sama aku?” Aku langsung menatapnya, “Kenapa nanya gitu?”

“Siapa tau kamu nyesel. Waktu selesai pengajuan kamu aja ngeluh, kayak sebal gitu sama aku.” Aku tertawa kecil, “Emang capek banget  waktu itu. Aku Cuma heran, kok prosesnya cepet ya?”

“Karena aku ini anggota kesayangan,” jawabnya sambil senyum sombong. “Karena aku udah urus sebelumnya, biasanya lama karena harus bertahap prosesnya. Kalau kita kan udah aku urusinmulai dari koramil, jadi tinggal ke komandan aja.” Aku mengangguk paham.

Aku dan Abid memilih tidur, saling menyender satu sama lain. Ini benar-benar seperti bukan Abid. Aku merasa seperti berada di dekat Mas Rayyan. Segala yang ada pada Abid, selalu membuatku menganggap jika Abid ini  adalah Mas Rayyan kedua.

“Bangun yuk, kita lihat suasana luar. Ngerasain angin laut,” katanya setelah aku membuka mata. “Dua puluh menit lagi nyender kapalnya,” lanjutnya.

Aku jalan di samping Abid, menuju luar ruangan. Kami menginjakkan kaki di bagian paling belakang kapal. Di ini, wajah kita sambut oleh terpaan angin laut yang menenangkan. Abid menuntunku untuk berdiri di tepi kapal, menyender ke pagar besi. Dari sini, angin semakin terasa. Menerbangkan ujung khimar yang kupakai. Aku menatap wajah Abid. Ada yang beda. Kacamata hitam yang bertengger itu menambah kesan tampan. Baru kali ini aku memerhatikan wajahnya.

“Jangan terlalu fokus liat air, pusing nanti,” katanya. Padahal daritadi aku hanya memerhatikan wajahnya, tidak sama sekali memerhatikan air laut yang membentuk buih.

“Nggak liat air laut kok.” Dia melengkungkan bibirnya, “Terus fokus kemana?” Aku hanya diam menahan malu. Ternyata dia sengaja menjebakku dengan berkata begitu.

Sersan, kau kembali(Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang