.
Setiap manusia berhak memilih. Tapi, tak semua mampu menerima konsekuensi dari pilihannya. Sama sepertiku. Dulu aku berhak memilih, antara menerima atau menolak. Jawaban dari istikharahku adalah menerima. Hingga akhirnya aku harus menerima konsekuensi dari sebuah pilihan.
Bertahan dengan seseorang yang tak mencintai kita. Terlihat menyakitkan, bukan? Lagi-lagi ini sebuah konsekuensi yang harus kujalani dengan ikhlas.
Mas Abid semakin menjadi. Dia mendiamkanku selama seminggu ini. Aku tak menyangka, perdebatan kala itu membuatnya sangat marah. Memang, dia tak lagi membentakku. Tapi diabaikan olehnya itu semakin membuatku terluka.
Aku sering meringkuk, menumpahkan tangis di atas bantal saat Mas Abid pulang larut malam. Aku merasa menjadi istri yang paling durhaka. Semua ilmu yang kuterima masa-masa halaqoh dulu meluap entah kemana.
Aku tau kita sama-sama salah. Tapi, aku lebih berdosa jika membuat suamiku marah padaku sampai seminggu lamanya. Aku bersimpuh, memohon ampun pada Allah. Pernikahan adalah ibadah yang paling lama durasinya. Dan di awal pernikahan ini, aku telah menodainya dengan sebuah amarah. Astagfirullah, Ampuni Hamba Ya Allah.
Biasanya aku akan tidur duluan ketika Mas Abid belum pulang juga. Entah apa yang kegiatannya sampai pulang larut. Ketika ditanya, dia hanya diam saja. Membuatku takut untuk mencari tahu. Makanan di meja makan disantap tanpa komentar. Semua baju yang kusiapkan dipakai tanpa ucapan terima kasih. Sepatunya ia semir sendiri sebelum aku sempat menyemirnya.
Kadang aku berpikir apakah aku harus berakhir dengannya? Tapi akal sehatku cepat menyadarkanku. Ini sebuah pernikahan, banyak harapku dalam ikatan suci ini. Aku tak mau pulang membuat Ayah dan Ibu merasa gagal mendidikku. Tidak, aku harus tetap di sini apapun kondisinya.
Kulirik jam di dinding, pukul 23.00. Dari habis maghrib, Mas Abid belum pulang. Aku tak tau dia biasa pulang jam berapa karena aku sudah lelap dalam tidur ketika dia pulang. Malam ini aku akan menunggunya pulang, sampai jam berapapun.
Aku duduk di sofa ruang tamu sambil menulis puisi di buku bersampul hitam milikku. Di dalam buku ini, semua kenangan bersama Mas Rayyan kurangkum dalam bait puisi. Juga tentang Mas Abid, semua kutulis dalam bentuk puisi.
Dua jam berlalu, jam mulai masuk dini hari. Mas Abid juga belum pulang. Kemana dia? Apa biasanya dia pulang lebih dari ini? Ah tidak. Saat aku bangun untuk menunaikan shalat tahajud, dia sudah terlelap di sampingku.
Klek ... Aku langsung berdiri begitu terdengar suara seseorang membuka pintu. Aku yakin, ini pasti Mas Abid. Dia terkejut ketika aku ada di belakang pintu. Diia tetap mengabaikanku. Dia menaruh sepatunya di rak, lalu masuk kamar.
Aku mengikutinya ke kamar, melihatnya di depan lemari mencari baju ganti. “Mas, maafin Risel,” pintaku. Dia diam saja, meraih handuk lalu berlalu ke kamar mandi.
“Mas, aku harus apa? Biar kamu maafin aku,” kataku begitu dia keluar dari kamar mandi. Dia masih setia dengan diamnya. “Mas apa yang kamu mau? Jawablah, Mas! Aku nggak bisa kamu diemin terus. Aku punya hati,” kataku sambil mengelap air mata. Dia membalikkan badan, memilih dudu di sofa ruang tamu.
“Mas, aku siapin makan ya? Kamu makan, ya. Aku mau nemenin kamu makan.”
“Nggak usah,” katanya tanpa menatapku. Dia sibuk memainkan ponselnya. Aku duduk di sampingnya, menyentuh lembut lengannya. “Mas, aku benar-benar minta maaf. Aku berdosa sama kamu, tolong maafkan aku. Aku harus apa, Mas?” Dia mematikan layar ponselnya, lalu menatapku. “Tidur!”
Aku mengangkat jemariku, kusejajarkan dengan dadanya. “Mas, ini tanganku di atas tanganmu. Mataku tidak akan terpejam sebelum engkau Ridho.”
Dia menatapku lembut kali ini. “Tidurlah, aku ridho.”
“Maafkan aku?” Dia diam. “Kalau Mas belum maafin, aku nggak akan terpejam. Aku nggak bisa tidur kalau aku banyak dosa sama suamiku,” lanjutku dengan isak tangis.
“Aku nggak marah.”
“Mas marah, seminggu mengabaikan aku. Sakit, Mas.” Dia menarikku dalam peluknya. “Aku kalut. Aku kecewa sama ucapanmu waktu itu.”
“Mas, aku akan coba bertahan. Aku akan ikhlas menjalani sebagai istri, meskipun cintamu itu nggak ada untukku.”
“Bukan begitu. Bukan aku nggak mencintaimu, tapi aku sedang mencoba. Untuk apa aku menikahimu jika aku tidak ingin hidup selamanya denganmu? Dan jika ingin hidup bahagia selamanya denganmu, maka aku akan mencintaimu. Ini bukan sekadar tentang pesan Rayyan. Lebih dari itu.” Aku melepas pelukan, kutatap matanya. Tidak ada sandiwara di sana.
“Percayalah, aku sedang berusaha. Aku tidak menyembunyikan kebohongan. Aku menikahimu bukan murni karna Rayyan. Tapi aku memang telah mantap memilihmu. Bukankah aku pernah memintamu untuk menyembuhkan lukaku? Juga aku yang bersedia menyembuhkan lukamu?”
Dia menyeka air mataku, membuatku semakin bingung dengannya. “Pernikahan ini suci. Tak ada sedikit pun niat untuk bermain-main dalam pernikahan ini. Kamu berkata seenakmu saja, mengatakan kalau aku memainkan ini semua.”
“Maaf,” kataku lirih.
“Satu lukaku sudah sembuh. Aku berhasil berdamai dengan Mbak Retno. Dan kamu tahu? Satu lukaku hampir sembuh, tapi malah menjadi lebar karena ini. Kamu tau luka yang mana? Luka dari mencintai Mira. Luka itu sudah hampir hilang. Rasa cinta pada Mira sudah enyah.”
“Tapi kamu malah menganggapku memainkan ini semua. Karenamu, aku bisa melupakan Mira. Kamu tau apa alasanku bisa melupakan cinta pertamaku itu? Karena hatiku sudah terbuka untukmu, untuk menerima wanita selain Mira.”
Aku memeluknya erat sekali. Benarkah apa yang dia katakan? “Mulai sekarang, jangan kau bilang aku mempermainkan pernikahan ini. Mari kita tata ulang, kita sama-sama menjalaninya untuk menggapai Ridho Allah. Aku ingin hidup damai, bersamamu. Kamu sudah berhasil menyatukan hubunganku dengan Kakakku. Maka dari itu, mari kita perbaiki hubungan ini. Kamu mencintaiku?”
Aku mengangguk, “InsyaAllah, aku mencintaimu karena Allah, Mas. Aku bahkan tetap ikhlas jikalau kamu belum mencintaiku. Tapi setidaknya izinkan aku berbakti padamu untuk menggapai Ridho Allah.”
Dia mendekat ke telingaku, lalu berbisik, “Sepertinya aku sudah jatuh cinta ke kamu. Setelah kamu mengorbankan kehidupanmu untuk hidup bersamaku di tempat ini.”
Aku mengerjapkan mataku, menyadarkanku dari lamunan. Ah, ini benar. Dia benar-benar mengatakan itu padaku.
“Temani aku sampai maut menjemput.” Aku mengangguk setelah mengusap air mataku. “Dengan izin Allah, untuk menggapai RidhoNya, aku akan selalu di sampingmu. Mendukung setiap langkahmu, melepasmu dalam menjalankan tugas untuk mengabdi pada pertiwi. Satu pintaku padamu, Mas.” Dia menatapku dalam, “Apa, Sayang?”
“Lakukan semua karena Allah. Berjuanglah, tunaikan tugasmu karena Allah. InsyaAllah, Allah akan mmengiringi langkahmu, akan mempermudah segala urusanmu.”
“Pasti. Aku akan selalu mengingat ucapanmu. Tidur? Kamu pasti ngantuk,” katanya mengelus puncak kepalaku. “Iya. Aku nahan nggak tidur buat nunggu kamu pulang. Mas selalu pulang jam segini seminggu ini?”
“Tidak, baru malam ini. Kamu aneh, lain kali kalau Mas piket malam jangan ditunggu.”
“Jadi Mas piket?”
“Iyalah, kamu kira kemana?” Aku menggeleng, “Nggak tau. Mas nggak bilang ke istrinya.”
“Maaf, Mas janji nggak ngulangin lagi.” Aku mengangguk senyum.Ya Allah, jangan kau timpakan masalah dalam rumah tangga Hamba. Ridhoilah pernikahan kami, jadikanlah kami sepasang seuami istri yang senantiasa mengingatMu dalam segala kondisi.
Menuju ending
KAMU SEDANG MEMBACA
Sersan, kau kembali(Completed)
Romance"Aku pengen jadi pejuang, pembela, dan pahlawan." ~Azzam Ar-Rayyan~ "Kalo aku pengen jadi guru, Mas. Keren gak?" "Kerenan tentara lah. Kamu tau Pak Imron yang pernah ke balai desa gak? Tentara tu kayak dia itu. Dia suka membantu orang-orang. Tenta...