.
.
Selamat membaca:).
“Kita mampir tempat Abid dulu ya, Nduk. Mau ngasih nasi ke dia.” Aku mengangguk. Mataku masih menatap jalanan dari dalam mobil. Mama Mas Rayyan nekat menjemputku di Rumah Bude. Bukan seperti dijemput, tapi rasanya mirip sekali dengan penculikan. Aku dipaksa ikut dengannya, padahal aku sedang malas bepergian hari ini. Inginku, menikmati hari dengan mengobrol dengan keluarga Bude. Tiga hari di sini, aku selalu izin pergi pada Bude.
Mama datang ke Rumah Bude, sengaja untuk menjemput paksa diriku. Beliau mengemudikan mobilnya sendiri. Aku jadi kasihan melihatnya. Makanya, aku terpaksa menuruti keinginannya. Katanya, nanti malam ada acara pengajian komplek di rumahnya. Aku diboyong untuk menginap di rumahnya, sekaligus membantu acara pengajian.
“Yuk, kamu ikut masuk sekalian lihat Abid.” Begitu mobil terparkir di halaman depan Rumah Abid, Mama mengajakku untuk ikut masuk ke Rumah Abid. Lagi-lagi aku hanya mengikutinya.
Rumah Abid tidak sepi. Ada suara tv di dalam, dibarengi dengan suara bocah yang sedang berteriak-teriak riang. Mungkinkah di dalam ada Mbak Retno?
“Assalamualaikum,” sapa Mama. Tak selang lama, keluarlah wanita cantik dengan rambut tergerai anggun.
“Cari siapa ya, Bu?” katanya sambil senyum.
“Abid, saya cari Abid. Ada?”
“Oh, lagi mandi. Masuk dulu, Bu!”
Mama menarik tanganku untuk ikut masuk. Kami dipersilahkan duduk di ruang tamu. Wanita cantik itu kembali ke ruang tamu dengan membawa dua gelas teh manis. Aku sangat penasaran, apa dia adalah Mbak Retno? Tapi, dia terlihat baik sekali. Sangat ramah dalam menjamu tamu. “Silahkan diminum, Bu, Mbak,” tawarnya.
“Ada perlu apa ya, Bu sama Abid? Kalau buru-buru, saya bisa suruh Abid cepat-cepat mandinya.”
“Nggak apa, nggak terlalu penting kok. Jangan disuruh buru-buru juga nggak masalah,” ucap Mama. Mataku menangkap bocah perempuan berusia sekitar tiga tahun muncul dari pintu ruang keluarga. Ia langsung menggelendot pada wanita canti yang kurasa itu adalah ibunya. Aku memberi senyum untuk bocah itu, dia pun tanpa ragu membalasnya.
“Ada apa, Ma?” perhatianku pada bocah kecil itu teralihkan oleh suara Abid. Dia menemui kami dengan rambut yang masih basah. Handuk di lengannya ia gunakan untuk mmengeringkan rambut cepaknya itu.
“Nih, Mama bawa nasi. Mama dari jemput Risel, sekalian ngasih kamu semur ayam.” Abid langsung mengambil kotak nasi yang disodorkan oleh Mama. Tentu saja setelah mencium tangan Mama. Sementara, wanita cantik itu langsung menggendong anaknya masuk.
“Itu Mbakmu kapan kesininya, Bid?” tanya Mama pada Abid. Ah, ternyata benar itu adalah Mbak Retno. Abid mengalungkan handuknya, “Kemarin sore. Nginep mereka.”
“Sebenarnya Mbakmu itu baik loh, ramah aslinya,” jelas Mama dengan suara yang sangat pelan. Aku hanya menyimak obrolan mereka.
“Iya sebenarnya, tapi kalau sama Abid nggak ada sama sekali pedulinya. Dia kesini anaknya pengen tidur di sini, pengen liat kolam ikan di belakang.”
Aku benar-benar tak diajak ngobrol. Bahkan, Abid pun sama sekali tak melirikku. Dia sibuk menjelaskan pada Mama tentang Kakak perempuannya itu.
“Bid, nanti malam ke rumah Mama ya! Bantu makan, acara pengajian.” Abid yang mendengar kalimat terakhir Mama langsung tertawa keras. “Hahaha, tau aja bisanya bantu makan.”
“Tante,” Aku dikagetkan oleh bocah perempuan yang tak lain adalah anak Mbak Retno. Dia tiba-tiba menyentuh paha sebelah kananku. Lalu menampakkan deretan giginya. Aku membalas senyumnya, lalu kucubit pelan hidunya.
“Iya, Sayang?” Dia menggeleng. Alhasil, aku meraihnya untuk kubawa dalam pangkuanku. Dia mulai menyanyikan lagu balonku ada lima. Aku gemas dengan bocah imut ini.
“Eh, Ca ngapain?” Mbak Retno yang keluar dengan membawa semangkuk bubur ayam langsung kaget melihat anaknya berada di pangkuanku.
“Aca mau ama Tante,” pinta bocah yang menyebut dirinya Aca. Mbak Retno menatapku aneh, aku jadi salah tingkah ditatap demikian olehnya. “Maaf, ya. Aca emang suka gitu. Sini sayang, makan sama Mami.” Oh, kukira dia menatapku marah. “Nggak apa-apa, Mbak. Kalau boleh, saya saja yang menyuapi Aca?” Mbak Retno mengangguk, lalu mengulurkan mangkuk kepadaku. Aca yang tau akan disuapi olehku, ia langsung mengangkat kedua tangannya, berteriak hore dengan lantang.
“Aca, ikut Om yuk!” Aca menoleh pada Abid, mengabaikan suapan yang kulayangkan untuknya. “Mana, Om?”
“Ke rumah Nenek Ani. Yuk, sama Tante juga.”
“Mau ama Tante, Om.” Kulirik Abid menyunggingkan senyumnya. Lalu menghampiri Aca dan mencium gemas pipi keponakannya itu.
“Nggak marah kalau dibawa?” tanyaku padanya.
“Bodo amat, nggak peduli saya.” Jawabannya santai sekali. Seolah semuanya akan baik-baik saja.
“Sel, kalau udah nyuapinnya, kita pulang ya. Banyak yang belum disiapin.” Aku mengiyakan kata Mama. Lalu kugendong Aca untuk kuberikan pada Mbak Retno.
“Makasih, ya! Mau pulang langsung?” tanya Mbak Retno.
“Iya, Mbak. Pamit pulang ya. Assalamualaikum, Aca sayang.” Aca melambaikan tangannya dengam riang. Lucu sekali dia. Bocah cilik itu mudah sekali akrab dengan orang baru, dengan diriku saja langsung nempel seperti sudah kenal lama.
Setelah berpamitan, aku dan Mama melaju menuju rumah. Sepanjang perjalana, Mama menjelaskan setiap tempat yang kami lewati. Mulai dari toko buah langganannya, toko perlengkapan dapur yang dia gemari, sampai tempat biasa kumpul dengan teman-teman pengajiannya.
***
Sesuai perjanjian, malam ini aku menginap di rumah Mama. Sehabis maghrib, aku diajak Mama untuk ikut bergabung dalam lingkaran Ibu-Ibu pengajian. Banyak dari mereka menanyakan siapa diriku. “Anak angkatku,” jawab Mama asal-asalan. Setiap orang menatapku heran. Bagaimana tidak, mereka semua pasti merasa asing denganku.
Selesai pengajian, kami—Mama, Om Rudi, Abid, dan aku duduk di ruang keluarga sambil menikmati kue sisa pengajian tadi. Abid mengobrol banyak sekali dengan Om Rudi. Aku dan Mama hanya menyimak, sesekali nimbrung dalam obrolan mereka.
“Mau kopi nggak?” tawar Mama.
“Wah, boleh-boleh. Pantes seperti ada yang kurang, ternyata nggak ada kopi,” kata Abid bersemangat. Aku langsung berdiri menuju dapur untuk membuatkan dua gelas kopi. Tentu saja untuk Abid dan Om Rudi. Mama lebih memilih cokelat hangat ketimbang kopi.
“Kopi hitam, ya!” Hampir saja aku menyobek bungkus kopi instan. Ternyata selera Abid adalah kopi hitam. Aku membuka lemari makanan, mencari di mana letak kopi hitam. Oh, ternyata di daam toples kaca.
“Manis?” tanyaku pada Abid yang meneliti proses pembuatan kopi untuknya.
“Sedang. Nggak suka terlalu manis,” katanya. Aku langsung menyampurkan satu setengah sendok kopi dengan sesendok gula.
“Nih, bawa sendiri. Aku bawa punya Om Rudi sama Mama.”
“Punyamu?”
“Lagi nggak pengen, Cuma mau air dingin aja.”
Aku meletakkan kopi panas di meja depan Om Rudi. Beliau mengucap makasih, lalu kubalas senyum. Sungguh, aroma kopi itu selalu membuatku candu. Nikmat dan menenangkan. Kulihaf Om Rudi menyeruput kopi miliknya dengan sangat nikmat. Begitu juga dengan Abid, menyeruput kopi sampai merem-merem.“Bid, kenapa Om suka kopi?” kata Om Rudi. Abid tersenyum, lalu menjawab pertanyaan Om Rudi, “Aromanya nikmat, Om. Selain itu, secangkir kopi mempunya filosofi bagi penikmatnya. Bebas mau bagaimana si penikmat memaknai filosopi kopi yang ia seruput sendiri.” Om Rudi tertawa, “Dasar anak muda pecandu kopi. Om suka kopi karena bisa buat melek. Sederhana, kan?”
“Ah, Om nggak seru. Harus ada filosofinya dong!” kataku.
“Abid aja, gimana menurutmu?”Abid menyeruput sekali lagi kopinya, kali ini tidak sambil merem-merem. “Kopi itu hitam pekat. Sedangkan kehidupan itu berwarna. Kopi itu pahit, sedangkan kehidupan itu tidak selamanya pahit. Kalau dipikir, kopi itu pahit, hitam, berampas, tapi kenapa saya sangat menyukainya? Itu semua karena tergantung bagaimana kita menikmatinya. Sama seperti kehidupan, Om. Pahit, sesak, gelap, tapi kalau kita punya cara untuk menikmatinya, pasti akan terasa nikmatnya. Cara menikmati kehidupan yang terbaik adalah dengan menyukuri atas apa yang diberikan kepada kita.”
“Wah, mantap sekali jawaban Danton ini!” Om Rudi tertawa sambil menepuki pundak Abid. Aku dan Mama pun tersentrum tawa mereka. Ruang ini terisi oleh tawa 4 manusia, menjadikan ruang ini semakin hangat.
Mau lanjut?
![](https://img.wattpad.com/cover/206149055-288-k879337.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sersan, kau kembali(Completed)
Romance"Aku pengen jadi pejuang, pembela, dan pahlawan." ~Azzam Ar-Rayyan~ "Kalo aku pengen jadi guru, Mas. Keren gak?" "Kerenan tentara lah. Kamu tau Pak Imron yang pernah ke balai desa gak? Tentara tu kayak dia itu. Dia suka membantu orang-orang. Tenta...