40ー Haven

226 32 70
                                    

ⓐⓣⓔⓛⓔⓘⓐ



























































"Hayden turut berduka, Bunda. Semoga Eyang ditempatkan di tempat terbaik di sisi-Nya ya?"

Bunda mengamini, tersenyum menatap Hayden yang baru saja datang. Lengkap dengan pakaian gelap tanda sedang berduka.

Wanita itu mengobrol sedikit dengan Hayden. Meminta maaf karena tidak memberi kabar kepada pemuda itu sehingga ia kepalang khawatir dan memutuskan untuk menyusul Ryena sampai ke sini.

Hayden membalasnya dengan ucapan maaf juga karena ia baru datang sehari setelah Eyang dikebumikan—juga mengirimkan titipan salam turut berduka dari ayah, Yeira, juga teman-temannya.  Setelahnya ia melangkah menuju sebuah ruangan yang ditunjuk Bunda, katanya Ryena sedang berada di sana sejak sepulang dari pemakaman Eyang.

Mengetuk pintu dua kali, kemudian memutuskan untuk membukanya perlahan, berharap tak menimbulkan sedikitpun suara. Tetapi, ternyata tidak sesuai harapan, pintu jati tua itu malah berderit karena ada sesuatu yang mengganjal di bawahnya. Kontan, seseorang yang sedang berada di dalam menoleh, matanya langsung bertatapan dengan pemilik mata yang lebih tua. Melebar beberapa saat, untuk kemudian sedikit melengkung, seiring dengan senyum tipis yang tersungging di bibir pucatnya.

"Kok bisa sampai sini, sih?" kekeh Ryena hambar, mengalihkan pandangan menuju foto Eyang bertahun-tahun silam yang diletakkan di atas nakas. Ranjang yang ia duduki bergerak, Hayden duduk di sebelahnya. Lelaki itu ikut menatap foto lawas wanita muda yang tersenyum menghadap kamera.

"Ini Eyang?"

Ryena mengangguk tanpa suara. Ia mengalihkan pandangan sejenak untuk mengusap air mata yang mendadak menetes ketika mendengar Hayden menyebutkan nama yang ada di bagian bawah foto itu. Tangannya bergerak, memeluk lutut, melingkari kedua kaki yang diangkatnya ke atas. "Eyang sakit."

Hayden berdeham tanpa menoleh, ia entah mengapa mendadak gugup. Dalam diam bersiap mendengarkan apapun kata yang akan diucapkan Ryena.

"Selama beberapa bulan terakhir jarang telpon gue—eh, biasanya gue yang telpon sih," kekeh si gadis hambar. "Tapi nggak sejarang itu. Minimal dua hari sekali, atau nggak malah sehari beberapa kali. Dan gue sadar ini baru dua minggu yang lalu... video call terakhir gue sama almarhum.

"Gue nggak sadar kalau Eyang yang biasanya agak berisi, sekarang jadi tambah kurus. Harusnya gue lebih perhatian, jadi gue bisa lebih banyak nanya ke Eyang, jadi gue bisa punya lebih banyak waktu sama Eyang.

"Gue jadi kayak cucu durhaka nggak sih? Eyangnya kurusan aja nggak sadar, apalagi sakit sampai separah ini?"

Mata setajam pisau itu melemah, pemiliknya segera mendekap sang gadis yang mulai terisak, terus mengatakan kesalahan-kesalahannya.

"Harusnya gue sadar waktu itu... harusnya gue nggak cuek aja... harusnya gue—"

"Ssstttt... udah... "

"Harusnya gue tahu dari awal... Eyang sakit selama ini. Hiks, Hayden... " Ryena menyerah, tangisnya tumpah dengan deras kali ini. Tubuhnya yang semula kuat walau tak mengisi perut kecuali air beberapa teguk selama dua hari terakhir, akhirnya tumbang juga. Tubuhnya yang lemas, dingin, dan pucat menghambur ke pelukan hangat lelakinya, yang langsung mendekapnya dengan erat kemudian.

Hayden memejamkan matanya. Jemari besar lelaki itu mengusap lembut rambut si gadis yang tak rapi. Hatinya seolah teriris mendegar isakan demi isakan dari bibir gadisnya yang terus melelehkan air mata. Ia dapat merasakannya. Ia dapat merasakan betapa sakitnya. Ia dapat menggambarkan rasanya ditinggalkan oleh orang tercinta.

[ ✔ ] ATÉLEIA  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang