29ー Hadinatas

203 27 98
                                    

ⓐⓣⓔⓛⓔⓘⓐ




















































































"Lucy?"

Gadis jangkung yang dipanggil Lucy itu menoleh, tersenyum hangat kepada sang Papa yang baru saja menyebut namanya. "Pagi, Pa!"

Mizan Hadinata, seorang pria yang belum lama menjejaki kepala empat, sosok single parent yang membesarkan dua putra-putri kembarnya tanpa sang istri tercinta sejak tiga tahun silam.

Tuksedo biru tua yang menjadi pilihannya pagi ini ia sampirkan di bahunya yang kokoh menampung segala beban keluarganya tiga tahun terakhir. Senyum di wajahnya yang tegar terlukis, membalas sang putri yang kini tampak cantik- seperti biasa dengan rambutnya yang diikat tinggi.

Ia mengulurkan tangannya, merangkul bahu sang putri dan memajukan sedikit wajah untuk mengecup pipi yang lebih muda sekilas. Sudah menjadi kebiasaannya sejak mendiang istrinya mengajarkannya untuk melakukan hal simpel yang manis ini setiap pagi.

Keduanya melangkah bersama, bergabung dengan si sulung yang sedang sibuk berkaca di ponselnya.

Menyadari dua anggota keluarganya mendekat, Sam mengalihkan wajahnya dari layar ponsel yang menunjukkan pantulan dirinya oleh kamera depan. Senyum di bibir tebalnya terlukis hangat menyambut mereka.

Mizan balas tersenyum hampir saja mendekat dan menghadiahi sebuah kecupan di pipi anak sulungnya sebelum pemuda itu buru-buru menghindar dan memasang ekspresi geli.

"Pa! Jangan gitu, ih! Geli tau!" sungut pemuda itu, baru mendudukkan dirinya setelah sang Papa tertawa puas lantas mendudukkan dirinya dengan nyaman di kursi meja makan.

Lucy terkekeh di kursinya, menuangkan lanjut meratakan madu di permukaan pancake yang berhasil ia buat satu jam yang lalu. Dua tangannya mengoper sepiring pancake yang sudah dihiasi madu dan beberapa buah stroberi kepada saudara dan Papanya yang masih berdebat soal ciuman di pipi tadi.

Sampai akhirnya dering telepon di ponsel Mizan membuat Sam spontan mengatupkan bibir, lalu mulai memakan sarapannya dengan tenang.

Mizan menggelengkan kepalanya pelan menanggapi reaksi putranya, kemudian menempelkan ponselnya di telinga kiri dengan tangan kanan yang mencuil pancake dan lanjut menyuapnya.

"Halo, Mbak Fani?"

Sam dan Lucy kompak menatap sang Papa yang menyapa dengan nada antusias. Sudah sejak lama mereka tak mendengar sapaan itu mengingat seseorang yang dipanggil Mbak Fani-kakak perempuan dari ayah mereka-sibuk dengan usaha butiknya. Pun dengan sang Papa yang belakangan ini mulai banyak menghabiskan waktu di tempat kerja dibanding rumahnya sendiri.

"Alhamdulillah, sehat. Sam sana Lucy juga. Mbak Fani gimana? Si ganteng?"

"... "

Mizan terkekeh pelan, meletakkan ponselnya di meja makan setelah menekan pilihan loudspeaker agar kedua anaknya mendengar suara Bude- kakak dari Papa mereka.

"Selamat pagi, ganteng dan cantiknya Bude!"

Sam dan Lucy tersentak kompak. Suara Bude mereka begitu menggelegar dan menggema di ruangan itu. Sedangkan sang Papa hanya meringis, menyesal telah menyetel volume ponsel pintarnya terlalu keras.

[ ✔ ] ATÉLEIA  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang