ⓐⓣⓔⓛⓔⓘⓐ
Tak terasa, tujuh hari penuh kesibukan itu habis. Kini tergantikan dengan meriahnya suasana lapangan oleh orang-orang yang berteriak di sana. Menyerukan nama jagoannya, menyemangati. Tepuk tangan ricuh kala sang jagoan mendapat kemenangan. Tepukan bahu sendu kala sang jagoan mendapat kekalahan.
Tetapi, rasa senang lebih mendominasi. Dibandingkan kecewa karena sang jagoan tidak memenangkan lomba, mereka tahu bahwa ini hanyalah permainan. Semua perasaan itu mereka curahkan pagi ini. Berteriak, menggeram, bersungut, tertawa, hingga tersedu.
Kaus kelas masing-masing yang dipadukan dengan celana training, menambah warna-warni di hari jadi sekolah ini. Dekorasi disusun sedemikian rupa. Jajanan, musik, pertunjukan, semua ada.
Para siswa tahun pertama yang sibuk melempar pertanyaan sembari memilah dan memilih berbagai macam jajanan dari sekitar delapan belas stand yang berdiri. Para siswa tahun kedua yang mengobrol sambil berlatih untuk penampilan mereka tak lama lagi. Dan para siswa tahun terakhir yang mengamati adik-adiknya sembari menyelesaikan lomba yang kini adalah giliran mereka.
"JIRO! JIRO! JIRO!"
Yang diserukan namanya memasang ekspresi penuh percaya diri. Ia yang merasa dipercaya oleh kelasnya melangkah dan memberhentikan tungkainya dengan pasti. Menatap lawan dengan tatapan garang yang dramatis. Kemudian beralih kepada teman se-timnya yang juga saling memandang dengan tatapan yang sama.
Lalu ketika peluit dibunyikan, langkah mereka bergerak kompak.
"Santai aja, anjeng! Dipas-in dulu di botol paling timur, baru diturunin!" Calista berteriak. Sudah kesal karena teman se-timnya terlihat terlalu tergesa-gesa melangkah sehingga pulpen yang dihubungkan dengan tubuh lima orang dengan tali rafia itu jadi bergerak tak tentu arah.
Benar, lomba memasukkan pulpen dalam botol.
"Anjir! Santai Bro, santai!" Ini Eric yang bersuara. Mengode kepada salah seorang temannya yang hampir terlalu banyak maju hingga pulpen menjauh dari bibir botol.
Ini baru botol pertama dan mereka sudah sefrustasi itu.
"Sekarang!" seru Jiro, menggerakkan tubuhnya agar pulpen yang sudah berada tepat diatas bibir botol itu bergerak turun, masuk dan diam beberapa saat di dalam, sebelum akhirnya kembali ditarik keluar setelah panitia memberikan kodenya.
"Pelan-pelan!"
Mereka kembali berhasil di botol kedua. Lanjut ke botol ketiga,
"Anjing! Banyak banget sih cobaannya!" keluh Calista menatap botol speart yang diberi semacam penghalang di bibirnya agar pulpen sulit untuk dimasukkan.
Eric membenarkan. Menatap fokus kepada pulpen yang menentukan nyawa mereka.
Tidak juga, sih.
Ujung pulpen sudah mengenai penghalang itu, hampir saja masuk melewati bibir botol jika saja satu sisi rafia tidak mendadak tertarik sehingga membuat pulpennya bergerak menjauh. Sorakan kesal lantas terdengar kompak. Tetapi itu tak berlangsung lama, karena kemudian mereka kembali fokus mengarahkan pulpennya.
Beralih ke tepian lapangan, di mana belasan stand didirikan dan ramai oleh pengunjung. Bima, lelaki yang sering dipanggil Bapak Presiden oleh teman sekelasnya itu sedang melayani seorang pembeli. Meski ia tak tahu betul makanan apa yang dimaksud si calon pembeli, tetapi untungnya Ryena-yang bertanggung jawab atas jajanan-sudah menamainya di kemasannya. Jadi, ia tak perlu merasa bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
[ ✔ ] ATÉLEIA
Teen Fiction[ hwangshin ] Bukan soal badboy, badgirl, softboy, ataupun softgirl. Hanya tentang Hayden, Ryena, kecacatan, serta ketidaksempurnaan mereka. ❝We're different, totally different. Then, what's the similarity do we have? Imperfection? ❝Yes, imperfe...