18ー Words

236 38 65
                                    

ⓐⓣⓔⓛⓔⓘⓐ
















































































Hari ini hari Rabu. Pagi tadi Hayden dengan random mengirim pesan kepadaku kalau ia sedang dalam perjalanan menuju ke rumah. Tiba-tiba menyuruhku untuk bersiap pergi makan siang. Aku langsung bersiap secepat mungkin. Karena, ya... kalian tentu tahu, Hayden kan kadang tidak terduga.

Langit berwarna biru polos. Matahari bersinar terik. Dan bodohnya, Hayden malah mengajakku makan-makanan pedas di siang bolong begini. Tadinya sih, mau memprotes. Tetapi, begitu ingat kalau aku ditraktir, akhirnya tidak jadi. Kan, jadi seperti tidak tahu diri.

Hayden meminum es tehnya hingga tandas. Sedangkan aku sedang mengunyah es batu di mulutku, menatapnya yang kembali meminum air dari es yang cair- seperti model iklan minuman di mataku.

"Ini cuma gua doang yang ngerasa atau emang betulan kalau muka lu se-glowing ini?"

Hayden menatapku. Sedetik kemudian alisnya mengernyit. "Ngomong apaan sih?" balasnya membuatku memutar bola mata. Salahkan lidahku yang jadi berbelit-belit saat mengatakan sesuatu.

"Gue kadang jerawatan, sering malahan. Temen-temen lo kek Jeje, Kak Jiro, Kak Hanin, kadang gue liat di jidat atau di pipi mereka ada jerawatnya. Sedangkan selama gua ngeliatin jidat lu, mana pernah ada jerawat yang nongkrong?"

"Hm. Gue punya Yeci."

Aku kali ini mengernyit. "Hm?"

"Dia yang ngajarin gue dari SMP- dari pertama kalinya gue ngerasa nggak ganteng dan jadi kebiasaan sampai sekarang buat minum 8 sampai 10 gelas air putih tiap hari. Iya jangan ketawa, emang kayak cewek dah," ujarnya, dengan nada akhir yang sedikit menyindirku karena diam-diam tertawa geli.

"Dia juga yang tiap malem tiap dua kali seminggu maksa gua buat pake masker punyanya dia. Pertamanya sih cuma buat nemenin doang, terus diajak selfie biar kayak twins goals gitu katanya. Tapi lama-lama jadi kebiasaan. Yaudahlah." Dia mengakhiri cerita dengan mengangkat bahu.

Aku mengangguk-angguk. "Tapi bagus juga sih kebiasaan lu. Makanya sampe sekarang gua nggak pernah liat muka lu butek, anjay bahasa Indonesia-nya butek apaan sih," gumamku kemudian menyengir, membuatnya tersenyum tipis lalu mengulurkan tangannya untuk mengusak ujung kepalaku.

Tindakan klise novel teenlit yang ternyata rasanya se-mendebarkan ini.

Aku menunduk, berpura-pura membenarkan rambut setelah sempat berdecak kesal dan melotot padanya. Padahal mah...

"Ngapain? Ambyar ya?" Dia menunduk. Kali ini tertawa sedikit lebih lebar diakhiri cengiran khasnya yang meyebalkan.

Aku ingin mengumpat, boleh tidak sih?





































Selepas kejadian ambyar yang menggelikan itu, kami melanjutkan perjalanan. Kenyang dengan makanan, Hayden memutuskan untuk mengisi perut karetnya lagi dengan es krim sambil beristirahat dan berteduh sejenak menghindari derasnya hujan yang tiba-tiba datang. Aku? Oh tentu saja ikut makan lagi. Namanya saja Ryena, mana mungkin bisa mengabaikan makanan.

Kami di sini sekarang. Di depan Inggrisapril, duduk berhadapan dengan meja kecil di tengah-tengah. Di atas meja ada dua botol minuman isotonik, dua bungkus cemilan kacang, ponsel kami, jaket Hayden, dan tangan Hayden yang bergetar kedinginan. Berkali-kali dia meniupnya dengan napas hangat dari mulutnya, lalu menggesek telapak tangannya kemudian ditempel di pipi, begitu terus sampai aku jengah.

[ ✔ ] ATÉLEIA  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang