02ー Sepatu

773 186 74
                                    

ⓐⓣⓔⓛⓔⓘⓐ














































































"Del, udah dijemput belum lo?" tanyaku pada Edelyn yang sedang menatap layar ponselnya dengan mata menyipit. Matanya yang lumayan besar membuatnya tampak aneh jika sedang seperti itu. Tapi entahlah.

"Belum, dibaca aja belum. Tai emang!" balasnya beberapa detik kemudian setelah dengan emosional mengetik sesuatu di layar. Aku tertawa kecil, mengingat ceritanya yang katanya sering bertengkar dengan dua saudara perempuannya. Bahkan yang paling parah Edelyn dan satu kakaknya pernah tidak berbicara maupun bertatap muka selama dua bulan. Dan baru berbaikan ketika lebaran Idul Fitri.

Aku menatap langit. Awan berubah jadi abu-abu gelap, jauh berbeda dengan keadaan tadi pagi yang sangat cerah hingga membuatku yang hanya berlari kecil dari gerbang sampai koridor kelas saja berkeringat hingga bagian punggungku sedikit basah. Untung tidak sampai menjiplak. Ya... kalian tahu lah.

"Yah, ujan." Edelyn menggumam, menengadahkan tangan kirinya. Menyambut gerimis yang dengan cepat mulai menderas.

Kami berada di halte depan sekolah sekarang. Bukan benar-benar halte sih, karena hanya digunakan sebagai tempat menunggu jemputan. Dan karena bentuknya mirip dengan halte di drama Korea, jadi kebanyakan menyebutnya halte. Oke, mungkin ini tidak terlalu penting. Tapi... Rupanya saja boleh ala-ala halte Korea, tapi.. ya jangan hanya dibuat satu dong. Setidaknya kalau hanya ada satu kan luasnya harus sesuai.

Tapi ini? Sudah hanya ada satu, hanya muat untuk beberapa orang. Dan aku yang memang sejak tadi berdiri bersebelahan dengan Edelyn di bagian ujung jadi terdorong oleh siswa lain yang semakin banyak saja jumlahnya. Mengapa harus di sini sih? Tempat lainnya kan ada!

Awas saja sampai sepatu putihku yang baru ku cuci kemarin sore dan kering kilat berkat bagian belakang kulkas sampai kotor terkena air hujan. Mencuci sepatu putih itu tidak cukup dengan sikat dan sabun colek, cuy! Layaknya wajah cerah, sepatu putih juga butuh perawatan. Kalian tentu tidak tahu kerja keras ku mencucinya sambil diomeli Bunda kemarin.

Rasanya telinga dan tanganku panas bersamaan.

Edelyn tiba-tiba tampak sumringah seiring dengan mendekatnya sebuah mobil hitam menuju halte. Jendela terbuka sedikit, memperlihatkan mata bulat seseorang. "Cepetan masuk, woi!" Sudah bisa ditebak kalau itu adalah kakaknya. Kemudian gadis itu menyengir padaku, melambai sekilas dan masuk mobil setelah berseru, "Gue duluan ya!" dan menepuk pundakku dia kali.

Aku hanya ikut meringis sampai mobil itu perlahan menghilang di ujung jalan, lalu ringisanku hilang begitu saja. Aku menghela napas. Jangan bilang di rumah tidak ada orang, dan aku disuruh pulang sendiri lagi? Hadeh. Ingin pesan ojol juga sepertinya tidak memungkinkan uang di tasku hanya tersisa 5000 rupiah. Mana ponselku mati, lagi. Sedih sekali.

Hujan perlahan mereda. Sudah banyak yang akhirnya pergi dari halte. Tak sedikit juga yang langsung pergi karena saat aku baru melangkah beberapa meter dari halte, di belakangku banyak sekali motor bersahutan klakson. Dan aku berjalan seperti anak hilang di sini sendirian. Mana setengah tubuhku sudah basah gara-gara orang-orang tidak berperikemanusiaan di halte tadi pula.

Ya sudah lah. Sial part 1.

Ku lanjutkan jalanku. Mataku semakin disiksa lagi dengan banyaknya orang yang mampir di tempat-tempat yang aku lewati untuk sekedar menghangatkan badan mereka dengan meminum minuman hangat. Beberapa juga memperhatikanku, yang langsung aku tanggapi dengan lengosan. Memangnya aku secantik itu ya, sampai kalian memperhatikan ku begini? Terima kasih loh.

[ ✔ ] ATÉLEIA  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang