33ー That Day

231 27 155
                                    

ⓐⓣⓔⓛⓔⓘⓐ




























































































































Aku tidak tahu. Ah, bahkan tidak paham lagi. Bagaimana bisa satu sekolah bisa dihuni sebegitu banyaknya manusia blasteran surga di mana 69% nya adalah makhluk berkromosom XY. Yang sayangnya bisa membuatku oleng kapan saja mendapat lemparan senyum atau bahkan hanya tatapan mata. Katakan aku lebay, karena nyatanya virus mematikan Edelyn sudah sampai ke DNA milikku.

Salah satu contohnya adalah saat ini. Di depanku, Hayden yang duduk dengan semangkuk bakso di mejanya sedang mengobrol dengan Kak Shahim di sampingnya. Lalu ada Kak Javier, Kak Sanan, Kak Bimo, dan Kak Eric yang sesekali menimpali perbincangan mereka. Aku yang perempuan sendiri dan yang sejak tadi menyimak berasa kambing conge karena tidak tahu sedikitpun apa yang mereka bicarakan.

"Hahaha, terserah lo. Udah lah, sana Yeci suruh makan- lagi kedapetan tamu dia. Hati-hati btw, lagi aktif mode maungnya."

Hayden mengakhiri perbincangannya dengan Kak Shahim. Lelaki bergaris wajah lembut sekaligus tampan dan mirip anak anjing saking imutnya itu menyengir lantas mengangguk dan mengacungkan ibu jarinya kepada si lawan bicara.

"Siap, duluan ye Bang!"

Hayden tertawa lagi menanggapi panggilan Kak Shahim untuknya. Kemudian tiga lelaki blasteran surga yang sejak tadi ikut bersama Kak Shahim ikutan berpamitan dan berpencar ke tujuan mereka masing-masing. Dia perlahan menoleh- setelah melambai kepada Kak Eric yang tiba-tiba melambai sambil tersenyum lebar macam anak kecil sambil melirikku- tanpa melunturkan senyuman di bibirnya yang juga ada di matanya.

Bibirnya tersenyum, matanya ikut tersenyum, hatiku menangis karena tidak sanggup menahan reaksi atas keimutannya. Aku mau resign jadi perempuan saja lah, biar tidak mudah baper ditatap lelaki seperti itu.

Walau mungkin kalau menjadi lelaki bisa jadi bisa baper sih.

Iya saja, tolong.

"Ngapain lu? Sakit?" tanyaku sedikit sarkas karena bibir berlebihan milik Hayden yang sejak tadi masih tersenyum. Heran, apa tidak pegal ya otot wajahnya?

"Nggak. Suka aja ngeliatin bidadari."

Seketika aku menunjukkan ekspresi ingin muntah yang berlebihan dan lantas mendapati dirinya meringis.

Hayden tertawa kemudian. "Iya, iya, udah nggak diulangin. Gelian banget sih, terus gimana gue gombalannya kalau dikit aja udah kena tonjok?"

Ah iya, ngomong-ngomong tentang tinjuan lengan... mari kita flashback ke dua hari yang lalu. Ketika...

"Jadi pacar gue ya?"

Hening.

Hayden berdeham beberapa kali. Mengalihkan pandangannya ke arah lain sejenak, kemudian kembali menatapku yang sejak di mana lelaki itu mengatakan empat kata mengejutkan itu lebih memilih menatap kakiku yang dibalut sepatu kets putih dari pada wajah tampannya.

"Gue... salah kalimat nggak sih?"

Aku langsung saja mendongak. Ingin melempar tatapan yang seolah meneriakkan 'Lah, gimana sih, goblok?!' tetapi itu hanyalah rencana, karena setelahnya aku buru-buru menunduk.

Sialan, Hayden. Wajahku memanas sekarang.

Apa gunanya sifat angkuh dan gengsi yang selama ini bisa kusombongkan kepadanya kalau setelah ini... hanya karena ini... akan hilang begitu saja?

[ ✔ ] ATÉLEIA  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang