21ー Revealed

247 36 34
                                    

ⓐⓣⓔⓛⓔⓘⓐ












































































































Seminggu berlalu begitu cepat. Sudah cukup waktu kangen-kangenan antara aku dan Mas Eno, karena dia sekarang sudah kembali seperti Reino yang biasanya. Jika waktu awal pulang kemarin, dia selalu kemana-mana mengajakku, atau mengikutiku kemana aku pergi. Lain dengan sekarang.

Dia sudah mulai sibuk dengan dirinya sendiri. Entah itu jadi sering pergi ke luar untuk bertemu penghuni kompleks yang seumuran dengannya, entah itu untuk bertemu teman sekampus yang katanya kemarin datang ke sini bersamanya, atau mungkin bermain dengan tiga kucingnya dan jadi mengabaikanku.

Hell, sudah biasa seperti ini sih. Tetapi, ternyata mengesalkan juga ya?

"Mas Eno, ih!" panggilku kesekian kalinya, membuka-tutup pintu kamar kakakku itu.

Dia bergeming, masih sibuk memegangi mainan kucing membuat kucingnya yang paling tua-Suniyanto- berlari-lari dengan lincahnya. Iya, jadi selain Wulan dan Lintang, masih ada Suniyanto, Dungie- untung bukan Dungu atau hanya Dung saja-, dan Dori, kucing ningrat yang hierarkinya sejajar dengan kami para pemiliknya.
Ya... bukan sejajar, sih.

Iya, pokoknya begitu.

Kembali lagi kepada Mas Eno dan tiga anaknya. Pemuda itu hanya menggumam, kemudian terbahak ketika Suniyanto tak sengaja menabrakkan kepalanya ke kaki ranjang karena terlalu bersemangat mengejar mainan yang dibawa Mas Eno. Kemudian, seperti ayah kepada anaknya, tangan Mas Eno memeluk dan menepuk-nepuk pelan kepala kucing oranye itu sambil bergumam menenangkan.

Aku mencibir karenanya.

Kulangkahkan kakiku mendekat, duduk bersila di ranjang Mas Eno. Mendekap Dori- si hitam bungsu- yang sedang tidur, membuatnya terbangun dan refleks mendengkur menikmati perlakuan tanganku yang mulai mengelusi kepalanya.

"Na, kenal Bang Chan nggak?" tanya Mas Eno tiba-tiba.

Aku menoleh, "hah?"

"Bang Chandra, kenal nggak?" ulangnya memperjelas.

Aku mengangguk, "iya, kenapa?"

Mas Eno tidak menjawab, hanya menggelengkan kepalanya, kemudian meletakkan Suniyati di sebelahku dan meraih Dungie yang sedang tidur di karpet. Dia meniup-niup telinga kucing itu menggoda, terus dia lakukan walau si kucing sudah tampak terganggu dan ingin menerkam.

Tapi, ya seperti kata orang; jangan coba-coba membangunkan kucing tidur.

Dungie yang sudah dianggap menjadi anak kedua Mas Eno itu mencakar wajah tampannya karena kesal. Membuat pemuda itu langsung terjengkang ke belakang, memekik dramatis sembari menutupi bagian sekitar hidungnya yang habis dicakar.

Aku terbahak. Menepuk-nepuk kedua tanganku riuh setelah meletakkan Dori ke atas ranjang. Sementara aku masih tertawa, Mas Eno mencibir dan berusaha mengipasi area hidungnya yang terasa panas.

"Na, apaan sih malah ketawa!" protesnya, "Ambilin es batu kek!"

Aku masih terkikik, malah semakin menjadi ketika melihat bagian hidungnya yang tergores lumayan.

"Kayak abis motong bawang tapi di hidung, HAHAHAHA!"

Aku tidak tahu apa yang salah dengan diriku, karena... hey, apa hubungannya?!

[ ✔ ] ATÉLEIA  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang