ⓐⓣⓔⓛⓔⓘⓐ
"IYAAAAANNNNNNN!!!!!"
Bel pulang baru saja berbunyi tak lebih dari lima menit yang lalu, tapi tiga manusia berjenis laki-laki yang diduga sahabat Jeje sudah berlari mendekat kepadanya. Kak tup- Jiro dengan tas yang baru setengah tertutup, Kak Shahim yang dengan santainya menggeplak kepala belakang sahabatnya yang berisik itu setelah menyugar rambut dan memamerkan jidatnya yang mulus dan kinclong seperti habis dibilas sabun srengenge light. Lalu terakhir ada Kak Felix yang sedang sibuk dengan ponselnya di depan pintu kelas.
"Adoh, sakit anjing!" seru Jiro mengelus kepalanya.
"Guk!" balas Kak Shahim menirukan suara anjing dan memposisikan kedua tangannya seperti puppy's paw. Astaga, imut sekali. Ingin kufoto dan kujadikan pajangan di stand besok kalau aku tidak ingat masih punya rasa malu.
Jeje yang dijemput sahabatnya malah sibuk sendiri dengan anaknya. Buku-buku pelajaran terakhir masih bertebaran di mejanya. Dia tampaknya enggan sekali diganggu, padahal hanya sibuk menyentuh pinggiran layar agar mobil anaknya bergerak dan meraih poin serta waktu tambahan. Tak perlu diceritakan lebih jelas bukan? semua mantan bocah juga tahu ini.
Jiro menggeleng, menarik kursi dan duduk di sebelah Jeje dengan kesal. Sedangkan Kak Shahim duduk di meja dan mulai memainkan ponselnya. Kalau dari cara memegangnya sih, sepertinya sedang bertukar pesan. Dengan siapa ya? Kak Yeira? Ah kepo sekali aku ini.
Lalu, kenapa aku masih disini sejak tadi? Salahkan Edelyn yang pergi ke ruang guru untuk memenuhi panggilan dari Bu Suzy dan menolak untuk kutemani. Dia meminta agar aku menunggu di kelas, lalu akan kembali tidak sampai sepuluh menit kemudian sambil membawa Thai Tea yang dijual di kantin dekat ruang guru. Lagi-lagi Edelyn penyebabnya. Ckckck.
"Itu temen lu kan Je? Yang kita bajak rumahnya semalem?" tanya Kak Shahim sesaat setelah bertatapan dengan mataku.
Jeje mengangguk, tapi masih fokus dengan anaknya. "Iye Bang, namanya Ryena. Panggil aja anjing."
"Anjing." Aku refleks mengumpat. Dan sialnya lumayan terdengar keras karena kondisi kelas sudah hening, hanya kami berempat di ruangan ini. Ah, berlima karena Kak Felix baru saja masuk dan terlihat agak tersentak mendengar kata sialan yang keluar dari mulutku. Astagfirullah astagfirullah astagfirullah. Istighfar lima puluh juta koma tiga ratus lima puluh dua koma tiga tujuh ribu triliun kali.
"Nah, malah manggil diri sendiri." Kata Jeje dengan kurang ajarnya. Terkikik pelan diatas penderitaanku yang menahan malu mati-matian di depan mas doi.
"Gabung sini kek, Na. Kek anak ilang aja lu." Kata Jeje akhirnya menoleh, tapi langsung fokus kepada anaknya lagi. Kak Jiro mengangguk, menepuk kursi di sebelah kanan Jeje melewati bagian atas ponsel si lelaki rubah dan berhasil membuatnya mengumpat. "Duduk sini, Dek." Katanya tersenyum. Tapi langsung luntur begitu Kak Shahim membuka mulutnya, "jangan terpengaruh, senyumnya Jiro penuh tipu muslihat. Bisa-bisa pas pulang nanti lo udah ada di depan warkop langganannya terus disamperin buat bayar jajannya dia. Jangan terpengaruh."
Nadanya datar, wajahnya juga datar dan kata-katanya terkesan menjengkelkan. Tapi aku tertawa, kemudian beranjak sambil membawa tasku. Aku duduk di sebelah Jeje, memanjangkan leherku untuk kemudian mendecih melihat anak Jeje yang penuh dengan tai, matanya berubah jadi kelihatan berair dan bergetar. Perutnya juga jadi berlipat. Air muka Jeje perlahan panik.
KAMU SEDANG MEMBACA
[ ✔ ] ATÉLEIA
Teen Fiction[ hwangshin ] Bukan soal badboy, badgirl, softboy, ataupun softgirl. Hanya tentang Hayden, Ryena, kecacatan, serta ketidaksempurnaan mereka. ❝We're different, totally different. Then, what's the similarity do we have? Imperfection? ❝Yes, imperfe...