38ー Never Not

195 30 82
                                    

ⓐⓣⓔⓛⓔⓘⓐ





































































Suara dehaman terdengar. Membuat Ryena yang sedang menepuk bahu Jeandra layaknya seodang ibu yang bangga kepada anaknya menoleh, pun dengan sang an—Jeandra.

"Hm? Kenapa Bim?"

"Anu, gue pulang sekarang, ya? Nyokap ngajakin pergi, hahaha."

Jeandra mendengus geli. "Biasa juga cuman pamit doang langsung pergi lo, tumbenan amat pakai alasan?" tanyanya sembari menyeringai seperti '( ͡° ͜ʖ ͡°)'.

"Iya, serah lo aja." Bima mengedikkan bahu setengah kikuk, meraih jaket dan ponselnya yang diletakkan di meja, kemudian memakainya asal.

"Gue sekalian pulang deh," sahut si gadis kemudian beranjak. Menyesap milonya banyak-banyak hingga habis dan meletakkannya dengan tenaga lebih sembari sedikit bersendawa.

Untung saja, hanya dirinya yang bisa mendengar.

Dan Tuhan, tentu saja.

Bima terdiam sebentar, lantas mengangguk-angguk. "Yaudah, turunnya barengan?" tawarnya yang diangguki oleh Ryena. "Sip, gue pulang dulu, Yen."

"Habisin dulu milonya, gue nggak mau repot pas nyuci mugnya ntar." Jeandra menunjuk mug milo yang dibuat untuk Bima dengan dagunya.

Si lelaki yang katanya mendadak menjadi kalem itu mengiyakan, meneguk beberapa kali untuk kemudian meletakkannya kembali ke atas meja. "Udah."

"Perlu anter nggak? Sebenernya nggak juga nggak apa-apa sih, gue mager banget ini."

Ryena mendengus singkat sebelum menepuk dahi sahabatnya dengan kesal. "Bisa ae lu toren penguin."

"Anjir, toren penguin?" kekeh Bima puas menertawakan sang tuan rumah yang cemberut saja masih nyaman bermain dengan pounya.

"Bacot! Udah sana, pulang ya pulang. Gerbang dikunci lagi, jangan lupa."

"Ye, tuan rumah macam apa lo?" sahut Ryena memandang Jeandra sinis, kemudian ia mengucap pamit dengan ogah-ogahan dan mendorong Bima agar cepat turun ke lantai bawah.

Walaupun sempat memprotes, namun Ryena sebagai tetangga yang budiman tetap mengunci gerbang rumah Jeandra dengan benar. Ia baru berbalik dan akan berjalan ke rumahnya sendiri ketika Bima mendadak mematikan mesin motor dan menahan tangannya.

Sang gadis refleks menepis cekalan si pemuda dari pergelangan tangannya, kemudian tersenyum kikuk mendapati raut wajah Bima yang berubah karenanya. "Sori, refleks. Kenapa?"

Bima menggeleng seolah tidak mempermasalahkan hal barusan, tersenyum tipis kemudian. "Gue mau ngomong, bentaran aja. Lo nggak keberatan, kan?"

Alis si gadis terangkat sebelah, diam untuk berpikir sebentar dan kemudian mengangguk. "Boleh, nggak keberatan kok. Mau ngomong di mana?"

Lelaki berkaus putih yang dilapisi jaket hitam itu mengedarkan pandangannya. Mendapati kondisi kompleks yang lengang meskipun sudah sore, ia lantas mengedikkan dagunya. "Di sini aja."

"Di sini? Nggak mau ke teras aja?" kernyit Ryena.

"Iya, di sini aja." Bima menghela napas sedikit panjang. "Hng, jadi gimana plushie kemarin? Udah lo kasih ke Bang Hayden?"

Si gadis lagi-lagi mengernyit. Merasa heran karena teman sekelasnya ini malah membicarakan tentang plushie dari permainan capit kemarin daripada sesuatu yang penting. Tetapi ia tak berpikir jauh, hanya mengangguk sebagai balasan. "Udah, tadi siang. Kenapa?"

[ ✔ ] ATÉLEIA  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang