Sejujurnya Aira tak ingin berbohong dengan mamanya. Pikirannya kacau, hatinya kalut ingin sekali mengobrak abrik yang ada didepannya. "huft, kenapa si mulut netijen pedes banget, gak adab ngomongin kejelekan orang didepan umum. Apasi untungnya ? gak manfaat banget hidup Cuma jadi sampah masyarakat mending mati aja," grutu Aira di Gazebo taman.
Orang – orang yang lalu lintas disekitar Aira melihat kearahnya aneh, berbicara sendiri, kesel sendiri persis seperti orang gila. Aira menedang – nendang tak jelas, emosinya tak dapat dikontrol apalagi terlintas mengingat wajah ibu itu. "sial."
"cantik – cantik sendirian, ngomel – ngomel lagi," ucap seseorang.
Aira menoleh kaget melihat Sea dihadapannya "ngapain lo ?"
"dih, suka – suka lah tempat umum, emang ada yang larang ?" timpal Sea.
"apaan si gak jelas, pergi lo." Sea malah duduk disamping Aira.
"jangan marah – marah mulu, ntar cepet kriput. Sayang, skincare." Sea terkekeh melihat Aira cemberut.
"brisik lo." Aira meninggalkan Sea.
Sea mengikuti Aira dari belakang "ngapain si ngikutin."
Sea hanya berhenti menatap langit dengan tangan didada serta mulut bersiul. "ish." Aira menghentakkan kakinya.
"Ai," panggil Sea.
"apasi bacot banget," saut Aira jengah.
"lo tuh yang apaan, sok sok kaya orang depresi lemah, tau gak ?" ledek Sea.
Aira berlari tanpa menoleh Sea mengejar karena langkahnya yang besar itu ia dapat lebih mudah mengejarnya. "lo kenapa si ?" tanya Sea saat berhasil menahan Aira.
"gak perlu tau mending lo pergi sekarang, jangan ikuti gue." Aira kembali berlari sampai akhirnya tiba di depan rumah yang minimalis itu.
Sebuah mobil Alphard berwarna hitam legam terparkir digarasi rumahnya. Dahi Aira menyatu dengan tatapan yang sulit diartikan. Aira melangkah dengan gusar, emosinya sudah tidak dapat ditahan lagi. "maaf, anda ada urusan apa ?" tanya Aira dingin.
"kamu Aira ? anak papa sudah sebesar ini rupanya." Aira menepis kasar tangan kekar yang berada dilengannya.
"don't touch my body." Aira mundur beberapa langkah.
Lestari keluar dari dapur dengan membawa senampan cemilan serta minuman. "tumben mas, ada apa ?" tanya Lestari.
"jadi saya kesini ingin membawa Aira hidup Bersama saya." Aira terbelalak kaget.
"Saya gak mau tinggal sama orang yang sudah ninggalin saya. Bukankah anda malu punya anak penyakitan seperti saya ?" sarkas Aira.
"Saya ingin menjodohkan Aira dengan teman perusahaan perusahaan," saut laki – laki itu.
"Oh, jadi anda datang Cuma ada perlunya saja ? lebih baik anda keluar dari rumah ibu saya." Aira menunjukan pintu keluar rumahnya. Matanya sudah seperti silet pandangannya tidak ramah lagi.
"kamu jangan jadi anak durhaka ya, saya ini papa kamu. SPP mu saja tiap bulan masih saya yang tanggung, beraninya kamu ngusir saya dari rumah saya ini ?" ucapnya dengan nada tinggi.
"saya tidak sudi menggangap anda sebagai papa saya. Papa saya tidak pernah meninggalkan saya saat saya masa kritis di rumah sakit. Dan anda hanyanya laki – laki keji yang pergi tanpa rasa tanggung jawab." Aira meninggalkan ruang tamu. Air matanya sudah tak dapat dibendung lagi. Setibanya di kamar semua pertahanannya hancur. Maafin Aira, pa ucap Aira dalam hati.
"saya tidak akan pernah setuju jika Aira kamu jodohkan demi kepentingan perusahaanmu, saya lebih baik pergi dari rumah ini, saya tidak akan menjual anak saya. Silahkan kamu angkat kaki." Lestari ikut mengusir mantan suaminya itu.
"ibu sama anak tak tau diuntung, silahkan kosongkan rumah ini. Saya akan kembali dalam waktu dua hari, jika belum kosong berarti kalian menerima tawaran saja. Permisi," ucap Setyo—papa Aira.
Setyo melangkah dengan cepat, emosinya terbakar. Pasalnya ia sudah menjatuhkan harga dirinya demi dating kembali ke rumah itu. Namun, semua itu terlihat sia – sia. "tidak ada yang bisa membantahku," gumam Setyo.
Lestari mengetuk pintu kamar Aira. "Ai," panggilnya dengan lembut.
"masuk aja mah, gak dikunci," Saut Aira dari dalam.
Hal pertama yang dilihat Lestari saat membuka pintu adalah anaknya yang terkulai lemas, mata sembab serta napas yang tak beraturan. Lestari duduk ditepi Kasur, tangannya terulur untuk mengusap rambut putri kecilnya.
"Ai, siap – siap ya." Aira membalikkan badannya menghadap sang ibu.
"mau kemana, mah ?" tanya Aira.
"kamu gak mau dijodohin kan, Ai ? jadi kita harus pindah dari rumah ini," jelas Lestari dengan lembut.
"ta...tapi kenapa harus gitu, mah ?" tanya Aira bingung.
"iya, karena papamu tidak lagi memfasilitasi." Lestari tersenyum hangat.
"Baik, buktiin ke dia kalua kita bisa hidup tanpa bergantung dengannya." Aira langsung bangkit dari Kasur mengambil koper besarnya diatas lemari.
"malam, kita sudah keluar dari rumah ini, pastikan tidak ada yang tertinggal ya, Ai." Lestari keluar dari kamar.
Pakaian yang ada didalam lemari Aira masukkan kedalam koper, peralatan sekolah ia masukkan ke tas sekolah dan sisanya ia letakkan dalam kardus. Mengingat pria tua itu perasaan Aira campur aduk sedih, kesal, kecewa rasa itu menyelimuti dirinya. "Tuhan, lindungin kami dari orang brengsek seperti itu."
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
*hargailah karya seseorang dengan tidak menjiplak ceritanya serta jangan lupa tinggalkan jejak kalian. terimakasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekolah Militer
Teen FictionSekolah dengan peraturan super ketat, guru super killer dan olahraga yang tak ada hentinya. selain itu, murid disana harus kuat fisik maupun mental. sekolah itu terlihat biasa saja. Namun, begitu mencengkeram jika terjadi sebuah kesalahan. peraturan...