Baghdad, Irak

251 26 0
                                    

Ayman menatap sendu Nasyla, gadis itu terus saja menundukkan kepalanya. 10 menit sudah berlalu namun tak ada aktivitas yang terjadi, hanya hembusan angin menerpa keduanya. "Lo mau pulang ?" tanya Ayman dengan ragu.

"Gue takut pulang, man." Nasyla menghelai napas Panjang.

"Gue temenin ketemu bokap lo, deh," tawar Ayman.

Nasyla memandang ragu, lalu dibalas dengan tatapan meyakinkan oleh Ayman. Pasalnya terakhir kali mereka bertemu dengan ayahnya Nasyla peristiwa buruk terjadi. Semua hal diluar kendali keduanya.

"Tenang aja, sekarang gue ini dokter, gak akan diusir, kok," jelas Ayman.

Bola mata yang teduh dapat meneguhkan hati Nasyla untuk pulang ke rumah.

Tepat didepan gerbang yang menjulang tinggi itu Nasyla bergetar. Kakinya seakan lumpuh sulit sekali untuk digerakan. Ayman menggenggam tangannya sangat erat, sekaligus menyalurkan energi kepadanya agar tetap kuat.

"Tenang aja, katakan apa yang sudah terjadi sejujur – jujurnya itu lebih baik." Ayman tersenyum tulus.

Gadis itu melangkah dengan mantap, kegelisahan didalam dirinya seolah – olah meluap begitu saja. Wajah datar kembali tercetak, mata indahnya memandang tajam. Ayman yang berada disampingnya merasa bangga dapat menghilangkan rasa kekhawatirannya.

Pintu tengah terbuka lebar, didalamnya terdapat dua pria laki – laki dengan baju casual. Nasyla masuk lebih dulu lalu diikuti oleh Ayman. "Ya ampun, Nasyla kamu dari mana aja ?" tanya Dayat---ayah gadis itu.

"Aku kerja, pah," sahut Nasyla kikuk.

"itu siapa ?" kini pandangannya beralih ke Ayman.

"Dia Ayman, pah." Ayman berniat menyalami pria itu tetapi Dayat menatap mengintimidasi.

"Kamu yang preman itu, kan ? ngapain deketin anak saya lagi ? kamu gak selevel dengan anak saya." Ayman geram.

"Saya dokter, bukan preman." Dayat tertawa renyah.

"Mana ada tampang kaya kamu jadi dokter." Sungguh, pria tua bangka ini menatap merendahkan membuat Ayman ingin menonjoknya.

Seorang pria sukses dituntut oleh seorang gadis yang bekerja di bar. Gadis itu mengaku telah dilecehkan, menurut kuasa hukum sang pria mengatakan bahwa gadis itu hanya ingin memeras hartanya dengan mengaku telah dilecehkan. Hingga saat ini gadis itu belum diketahui identitasnya.

"Apa itu kamu ?" tanya laki – laki yang sedang menonton acara tv tadi.

Nasyla meneguk salivanya.

"Aku tidak menyangka selama ini uang yang kamu hasilkan berasal dari pekerjaan kotor seperti itu. Kupikir dulu kamu menolakku karena preman ini, nyatanya kamu bermain dengan pria berduit. Miris sekali kamu, wanita murahan," ungkap pria itu.

Ayman tertegun.

Bagaimana bisa pria yang pernah ngamuk – ngamuk pagi itu menjadi seseram ini. Mana tahu dirinya jika calon istrinya itu Nasyla. Satu hal lagi mereka baru saja bertemu kemarin malam, dan kenapa dirinya terlibat dalam urusan orang yang tidak dikenalnya ?

Ayman menghelai napas Panjang, ia pusing menerka – nerka segala kejadian. "Kamu salah paham, aku tidak pernah main belakang dengan pria brengsek seperti itu, aku---" ucapan Nasyla terpotong.

"Iya kalau kamu tidak main belakang dengan pria brengsek itu, tapi kamu main belakang dengan mantanmu, iya kan ?" Ayman naik pitam.

"Kami baru saja bertemu tadi malam, saat itu kondisinya sangat mengenaskan. Apa anda tahu ? bisa – bisanya anda menyalahkan saya tanpa tahu faktanya," tangkas Ayman.

"Waw, waw. Kalian ini bersekongkol untuk menyerangku ya ?" ejeknya.

"Papa, aku memang dilecehkan oleh pria itu, aku tidak berniat untuk memeras hartanya, aku bahkan tidak mengenal siapa pria itu. Tolong aku, penjarakan pria brengsek itu," mohonnya.

"Kamu pikir aku siapa hingga bisa memenjarakan orang sekaya dia ?" sarkasnya.

"Aku membatalkan pernikahan ini, aku kecewa denganmu. Terlalu manis ucapanmu hingga aku muak dengan segalanya." Nasyla terkesima.

"Tapi ?" Nasyla tak dapat berkata lagi.

"Sekarang kalian semua pergi dari rumah ini, dan kamu Nasyla saya tidak akan menganggapmu anak lagi. Apa yang telah kamu lakukan membuat nama baik keluarga ini rusak. Silahkan pergi." Nasyla menggeleng kepala, menatap tidak percaya.

Ayman menariknya keluar dari rumah itu, menjauh dari dua pria tidak berperasaan. Ia membawa gadis itu kembali ke rumahnya, oh lebih tepatnya rumah neneknya.

***

Aira sudah tiba di kafe sesuai tempat yang disarankan oleh Zigo. Ia memesan minuman terlebih dulu lalu mengeluarkan laptopnya. Ia sangat gugup hari ini, banyak kekhawatiran terhadap karyanya. Ini pertama kali ia menawarkan tulisannya kepada penerbit.

Biasanya ia hanya berani mengupload ke wattpad, itu pun setelah pertimbangan Panjang. Takut hal negatif menimpa dirinya.

"Woy, ai," panggil seseorang.

Aira menoleh sekilas.

"Rajin banget lo udah nyampe aja."

"gue takut nih, gong. Gue udah revisi ini cerita sampe tiga kali si, takut gak memuaskan,"ucap Aira.

"Tenang aja si, Ridani gak galak, kalo gak suka paling dikomentarin sama mulut cabenya." Zigo mengeluarkan smirknya membuat Aira merinding.

"Gelo sia, bikin takut aja." Zigo hanya terkekeh kecil.

Pria yang ditunggu – tunggu datang, pakaian yang mencolok membuatnya menjadi pusat perhatian. Ya mereka memaklumi saja, dia orang sibuk pasti kemana – mana selalu pakai jas.

"Hai brouu, lama banget, gue udah nunggu lama nih. Tega banget bikin orang nunggu." Ridani tak menjawab ucapan Zigo.

"Yaudah langsung aja ya, gue ada rapat lagi nih ama yang punya kafe ini." Zigo berdecak kagum.

"sok sibuk," ejek Zigo.

"Jadi ini kak, karya aku ada tiga sebenernya, cuma aku ngerekomendasiin yang ini aja si." Ridani mengambil alih laptopnya. Ia membaca sinopsisnya dengan cermat sesekali dahinya mengernyit, lalu tersenyum tipis. Ekspresi itu membuat Aira dag dig dug, jantungnya berdegum begitu kencang.

"dari sinopsisnya bagus, nanti biar editor gue yang baca secara keseluruhan. Tunggu 2 – 3 minggu gue bakal kabarin lagi. Oh iya, yang dua itu kiriim email aja, kalau lolos langsung nerbitin 3 buku kan lumayan," komentar Ridani.

Aira tersenyum puas.

"Terima kasih banyak, kak." Disahut dengan anggukan.

"Anjay temen gue penulis," ledek Zigo.

"Napa si lo iri ?" sewot Aira.

"Yeuh, galak banget mbanya," timpalnya.

"BTW, kalian berdua pacaran ?" tanya Ridani.

"ENGGAK," jawabnya bersamaan.

"tapi cocok, loh," ledeknya.

"TIPI CICIK, LIH."

"tuh kan sehati banget."

"gak gitu bang, dia tuh buaya ogah banget gue," jawab Aira.

"suka – suka kalian aja deh, temen saya sudah datang. Saya pergi dulu," pamit Ridani.

Mata Aira dan Zigo mengikuti kepergian Ridani bersama temannya itu. Keduanya saling menatap lalu melirik kearahnya, berulang kali sampai Aira dan Zigo teriak histeris.

"DINO, YANG PUNYA NIH KAFE ?" 

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

*hargailah karya seseorang dengan tidak menjiplak ceritanya serta jangan lupa tinggalkan jejak kalian. terimakasih.

Sekolah MiliterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang