Arc 4 Ch 11 - Tidak Ada Pilihan Lain

176 22 2
                                    

Seperti biasa, kalau ada yang mengganjal atau ada kesalahan ketik, silakan langsung comment. Kalau bagian mengganjal, selama tidak spoiler dengan story, akan Author jawab.

============================================================


"Bagaimana Inanna?"

"Lukanya tidak terlalu parah. Pembedahan untuk mengeluarkan proyektil dan pecahan roket yang masuk ke tubuhnya juga sudah selesai. Tapi....."

"Tapi?"

Beberapa saat setelah Rina dan adiknya pergi, Yuan menjemputku dan Mulisu. Dia melakukannya ketika mendapat kabar dari Ibla kalau aku menyerang Apollo. Sebenarnya aku sedikit meragukan keputusannya. Kalau dia diserang di tengah jalan bagaimana? Yang ada justru aku harus membuat operasi penyelamatan. Untung saja hal itu tidak terjadi. Namun, percuma saja aku berpikir seperti itu. Aku hanya bisa percaya pada Yuan.

Yuan tidak mengantar kami ke rumahku, tapi langsung ke rumah sakit. Dan bukan sekedar rumah sakit. Yuan mengantarkan kami ke rumah sakit milik ayah, tempat aku dirawat sebelumnya. Yuan memutuskan memasukkan Inanna ke rumah sakit yang dikelola ayah karena musuh di tempat itu pastilah lebih sedikit dari tempat lain. Dan, aku setuju.

Aku dan Mulisu langsung menuju lantai 4 sementara Yuan mampir ke apotek. Meski penasaran kenapa dia pergi ke apotek, aku mengabaikannya.

Dalam waktu singkat aku sudah sampai di kamar yang dimaksud. Ruangan ini berbeda dengan ruang yang sebelumnya digunakan untuk merawatku. Kamar yang ditempati Inanna adalah kamar rawat inap normal dengan 1 jendela mengarah keluar gedung.

Namun, saat aku akan masuk, Emir berdiri di depan pintu, mencegahku.

"Tapi apa, Emir?"

"Gi-Gin...." Emir menurunkan pandangan. "Maafkan aku, Gin. Aku tidak mampu menolong atau membantu Inanna. Kalau kamu ingin membenci seseorang. Benci aku. Jangan membenci Inanna. Kumohon. Aku...."

"Emir." Aku meletakkan tangan di pundak Emir. "Itu bukan salahmu. Itu bukan salah siapa pun. Kamu tidak perlu menyalahkan dirimu sendiri."

"Tapi.... tapi.... gara-gara aku..... Inanna....."

Dengan penuh isak, Emir berusaha menjawab. Namun, dia tidak mampu menyelesaikan ucapannya.

Kalau mendengar laporan dari Emir yaitu pembedahan sudah selesai, dan dari rekaman tadi, aku sudah bisa memperkirakan apa yang terjadi pada Inanna.

Aku mengalihkan pandangan ke Mulisu. "Mulisu, tolong tenangkan Emir. Aku mau masuk dulu."

"Baik."

Mulisu menurut dan menarik Emir menjauh dari pintu. Dia memeluk Emir, membenamkannya ke dada.

Di lain pihak, aku masuk ke dalam ruang rawat. Seperti ruang rawat lainnya, ruangan ini memiliki kamar mandi di dekat pintu masuk, kasur pasien di tengah, sofa di ujung dekat jendela, dan balkon. Meskipun siang, korden di jendela tertutup, membuat pencahayaan bergantung pada lampu.

Di atas ranjang, terlihat sosok perempuan yang terbaring dengan infus di tangan kiri. Sebagian badannya tertutupi selimut, dari dada ke bawah. Tangan dan bagian dada ke atas tidak tertutup oleh selimut.

Di atas selimut, terlihat kulit Inanna tidak sepenuhnya putih lagi. Di sebelah kiri bagian wajah, leher, dan mungkin hingga ke dalam bahu, terlihat kulitnya berwarna merah. Bahkan, aku tidak yakin apakah kulitnya masih menempel. Terlihat serat otot di sebagian tubuhnya. Selain luka bakar di sebelah kiri wajah, rambut dan alis kirinya pun tidak ada lagi.

Pandanganku beralih pada dada Inanna. Dadanya masih naik turun dengan normal dan Nafasnya tidak terdengar aneh. Aku sedikit bernafas lega karena masalah yang dialami oleh Inanna hanyalah penampilan. Namun, tentu saja, aku tidak akan mengatakan hal ini terang-terangan.

I am No KingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang