Arc 4-3 Ch 10 - Memburuk ... untuk sesaat

161 20 12
                                    

seperti biasa, kalau ada yang mengganjal atau ada kesalahan ketik, silakan langsung comment. Kalau bagian mengganjal, selama tidak spoiler dengan story, akan Author jawab.

============================================================


"Aku pulang."

"Gin!"

Inanna menjemputku di pintu. Namun, dia tidak tampak bahagia, panik. Baru saja aku melepas sepatu, Inanna sudah menarikku.

"Ada apa?"

"Rina, Gin! Rina!"

"Ada apa dengan Rina?"

Inanna tidak memberi jawaban. Dia hanya menarikku tanpa jawaban. Kami masuk ke kamar di lantai satu. Di dalam, terlihat Emir yang berusaha merengkuh Rina, tapi gagal. Semua usaha digagalkan oleh Rina yang berontak.

"Tera! Tera!"

Namun, yang repot adalah, Rina tidak sadar, matanya terpejam. Ini adalah kasus histeris Rina yang paling parah sejak Tera tewas.

Aku masuk begitu Inanna melepas tanganku. Dengan paksa, aku menahan tangan kanan Rina dan langsung merengkuhnya, memeluknya erat.

"Tidak apa, Rina. Tidak apa."

Rina tidak langsung tenang. Dia masih berontak. Namun karena aku memiliki kekuatan fisik yang jauh lebih besar dari dirinya, Rina tidak bisa melepaskan diri. Perlahan, Rina semakin tenang. Setelah beberapa saat, akhirnya, Rina tidur dengan tenang. Dia kembali tertidur dengan pipi lembap, bekas tangisan.

Rina adalah inkompeten sehingga dia memiliki fisik yang lebih kuat dari orang normal. Ditambah lagi Rina juga mendapat latihan berat dari ibunya. Jadi, tidak heran kalau dia bisa menggagalkan usaha Inanna dan Emir untuk menenangkannya.

Aku menggendong Rina di depan badan, princess carry. Bersama Inanna dan Emir, kami pun keluar dari kamar. Angin segar akan lebih bermanfaat untuk Rina daripada ruang ber-AC.

Tanpa menunggu instruksi, Inanna dan Emir sudah bergerak. Sementara Inanna menyiapkan bantal di sofa, Emir membuka jendela.

"Bisa tolong jelaskan apa yang terjadi?"

"Tadi malam adalah giliranku menemani Rina." Emir menjawab. "Tadi malam, dia juga histeris. Namun, histerisnya seperti biasa, aku masih bisa menenangkannya. Pagi ini, dia tidak bangun awal seperti biasa. Aku kira mungkin dia kelelahan dan butuh tidur lebih. Jadi, aku tidak terlalu ambil pusing. Namun, saat aku dan Inanna memasak untuk sarapan, tiba-tiba kami mendengar suara Rina."

"Saat mendengarnya, kami langsung berhenti memasak. Awalnya aku mencoba menenangkannya, tapi gagal. Kemudian, Emir juga melakukannya, tapi gagal juga. Saat itulah kamu datang."

"Begitu ya..."

Repot juga. Kalau fase histeris Rina sudah sampai pada pergerakan fisik, otomatis, hanya aku yang bisa menenangkannya. Inanna dan Emir tidak akan bisa melakukan apa-apa.

"Tera ... Tera ..." Rina memanggil Tera dalam tidurnya.

Aku membelai rambut Rina dan mengusap punggungnya dengan lembut.

"Kalian bisa lanjutkan masak. Biar aku yang akan menangkannya."

"Tolong ya gin."

"Iya. Jujur, kami tidak tega melihatnya yang seperti ini."

Emir dan Inanna mengungkapkan kekhawatiran mereka sebelum pergi ke dapur. Aku ingin membantu, tapi Rina membutuhkan perhatian lebih saat ini.

Di lain pihak, tiba-tiba saja sebuah ingatan melintas di benakku. Belum ada setahun yang lalu, aku mengajari Emir memasak. Aku teringat ketika dia menangis saat memotong bawang, atau bagaimana jarinya penuh luka gara-gara tidak piawai memotong.

I am No KingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang