Alra turun dari mobil dengan perasaan tak karuan. Tanpa mengatakan apapun pada Diyo, dia lantas berlari menuju sekolah. Dan Diyo hanya menghela nafas melihat tingkah isterinya itu.
Alra masih berlari sampai akhirnya dia tak sengaja melihat Daniel yang berjalan dengan santai ke arahnya. Alra pun memperlambat larinya. Dengan nafas ngos-ngosan Alra berusaha tersenyum pada Daniel.
"Kok lari? Padahal belum telat," tanya Daniel.
Alra hanya menggeleng. "Aku duluan," pamitnya kemudian.
Tapi, saat ia akan melanjutkan langkahnya, Daniel mencekal tangannya membuat Alra gelagapan. Jantungnya lagi-lagi tak terkontrol. "Apa?" tanya Alra lemah.
"Lo ada masalah?"
"Nggak ada"
Daniel menatap Alra lembut namun serasa mengintimidasi. Hal itu membuat Alra tidak tahan untuk menatap mata coklat terang itu lebih lama lagi. "Tuh kan bohong," ucap Daniel lagi.
"Serius nggak papa. Aku pengen ke kelas," ujar Alra lemah. Daniel yang melihat itu lantas melepaskan cekalannya. Alra hanya melempar senyum sekilas, lalu kembali melanjutkan langkah. Hari ini, dia benar-benar malas melakukan apapun.
***
"Makan-makan!" suruh Marta pada dua temannya. Saat ini mereka tengah duduk di kantin. Mereka juga telah memesan makanan mereka.
Marta dan Elis begitu lahap memakan makanan di depan mereka. Berbanding terbalik dengan Alra yang menatap makanan di depannya tanpa minat. Hal itu justru membuat kedua temannya itu heran.
"Lo kenapa lagi? Nggak dikasih uang jajan sama suami?" canda Elis. Begitulah sifat Elis. Berbicara tanpa melihat situasi.
Sedangkan Alra menatap Elis kesal. "Bukan itu. Lo lagi ngehina gue karna gue udah nikah? Karna gue udah jadi istri orang?" oceh Alra dengan nada marah. Suaranya tertahan agar tidak memancing telinga para tukang gosip. Marta yang melihat itu pun angkat bicara. "Kenapa jadi pada berantem?"
"Tau tuh," ucap Elis cuek. Dia seolah tak peduli akan wajah Alra yang menatapnya garang. Dia masih asik menyantap makanannya.
"Orang tua gue mau ninggalin gue. Lama banget. Lo pikir gue nggak sedih?" ucap Alra lemah.
"Berapa lama?" tanya Marta. "2 atau 3 tahun gitu," jawabnya kemudian.
Marta manggut-manggut mengerti. Dia jelas paham bagaimana perasaan Alra sekarang. Apalagi Alra itu termasuk dalam kategori manja.
"Mereka pergi juga buat kerja. Lo nggak harus mewek gini. Kita udah dewasa, Ra. Bukan anak kecil yang kalo ditinggal nangis-nangis alay," tutur Elis.
Alra menghela nafas. Benar. Dia udah dewasa. Dia tidak harus bergantung pada orang tuanya. Dia kan sudah 17 tahun.
***
"Kita berangkat ya. Jagain Alra. Ajak ngomong juga. Dia emang cerewet," ujar Diah menatap Diyo lembut. "Bunda percaya sama kamu."
"Jangan 'itu' dulu," ucap Beri mengingatkan seraya menekankan kata 'itu'. Diyo hanya mendengus. Bagus, sekarang dia harus mendengar ocehan para orang tua di depannya untuk tidak melakukan hubungan lebih dengan Alra. Lagipula siapa yang akan melakukan hal semacam itu dengan gadis belia? Apakah orang tua di depannya ini berpikir bahwa dia adalah pedofil? Menyebalkan.
"Oke. Saya juga mengerti itu. Kalian lebih baik segera pergi," pasrah Diyo.
Kedua pasutri itu tersenyum sebelum akhirnya melangkah menjauh. Tapi, Rian tak kunjung melangkah. Dia menatap Diyo penuh harap. "Jaga dia. Pernikahan kalian bukan semata-mata karena bisnis".
Setelah mengucapkan kalimat yang sedikit membingungkan Diyo itu, Rian lantas berjalan pergi. Diyo tidak mengerti. Pernikahan ini terjadi hanya karena kedua pihak saling diuntungkan. Bukankah itu sama saja dengan bisnis? Tapi, sudahlah. Diyo tak ingin terlalu memikirkan itu. Lebih baik dia segera pergi ke kantor dan melakukan pekerjaannya.
***
Alra berjalan gontai. Mengingat dia akan ditinggal oleh orang tuanya tetap saja membuatnya sedih. Padahal dia sudah berusaha untuk tegar. Namun, tetap saja. Kehidupannya yang selalu dipenuhi oleh ayah bundanya, membuatnya begitu dekat dengan mereka. Bukan hanya sebagai oranh tua tapi juga sahabat.
Tanpa sadar air mata Alra menetes. Alra kesal pada dirinya sendiri yang terlalu mudah untuk menangis. "Kenapa cengeng banget sih," ucap Alra di sela tangisnya seraya menghapus air matanya kasar.
Saat membuka mata, Alra melihat sebuah sapu tangan yang disodorkan padanya. Alra mendongak. Dan cukup terkejut melihat Diyo tengah berdiri di depannya dengan tatapan remeh ke arahnya. "Dasar cengeng," ejek Diyo.
Seketika wajah Alra kesal. "Om itu niat nggak sih ngasih sapu tangannya? Kalo nggak ya nggak usah!"
Diyo akhirnya kembali memasukkan sapu tangan itu ke dalam sakunya yang tentu saja membuat kadar kekesalan Alra semakin tinggi. "Dasar es."
Diyo yang mendengar itu menatap Alra datar. Es? Padahal gadis ini yang menolak pemberiannya, tapi sekarang dia yang kesal sendiri. Bukankah itu aneh? Tentu saja, Diyo sudah cukup terbiasa dengan keanehan gadis di depannya. Salah satunya sekarang. Kenapa seorang gadis remaja harus menangis di tempat ramai seperti ini? Seperti anak kecil saja.
"Kamu kenapa disini?" tanya Diyo pada akhirnya.
Alra yang masih kesal, justru menatap Diyo jengkel. "Ngapain nanya-nanya?"
Baiklah. Sekarang kesabaran Diyo harus diuji kembali oleh gadis belia ini. "Kita pulang sekarang. Saya bahkan ninggalin mobil di sekolah karena kamu," omel Diyo.
Alra nampaknya tidka peduli. Dia langsung berjalan menjauhi Diyo tanpa berucap apa-apa. Lagi dan lagi. Diyo harus sabar. Mengejar Alra bukanlah perkara besar, karena langkah gadis itu tak sebanding dengan langkah lebar Diyo. Saat Diyo tepat di samping Alra, dia langsung memegang Alra yang berhasil di tepis gadis itu. "Om apaan sih? Kalo Om mau pulang, pulang aja. Aku bisa sendiri. Lagian, Om nggak usah sok peduli," ucap Alra keras. Hal itu membuat beberapa orang menatap mereka heran. Tentu saja, beberapa juga menatap Diyo kesal. Sepertinya orang-orang itu salah paham.
"Kita pulang sekarang. Jangan ngebantah," ucap Diyo tegas dipadukan wajah datarnya yang berhasil membuat Alra bungkam. Dia ingin melawan, tapi rasa takut itu lebih menguasai. Alhasil, di memutar arah dan berjalan dengan langkah cepat. "Dasar ngeselin. Nggak tau apa orang lagi sedih."
Diyo tanpa sadar tersenyum kecil. Ternyata cukup mudah membuat gadis itu menurut. Tapi, entah kenapa Diyo merasa tidak enak membuat gadis yang tengah bersedih itu semakin sedih. Diyo kesal. Ada apa dengan dirinya? Dia bahkan tak bisa menahan langkah kakinya tatkala melihat punggung gadis itu bergetar.
Sial
Alra merasa tidak punya siapa-siapa. Orang tuanya pergi, dan Diyo bukanlah seseorang yang bisa diajak berbicara. Manusia dingin dan menyebalkan seperti Diyo benar-benar tidak menyenangkan bagi Alra yang sangat ingin berbicara banyak. Padahal dia hanya berharap didengarkan. Tapi Diyo bahkan seolah tak tahan dengan suara Alra.
Alra tanpa sadar menangis lagi walaupun tak sehebat tadi. Tapi, tetap saja dia terisak kecil membuat bahunya bergetar.
Alra kaget. Ketika sebuah tangan besar mencekal lengannya lembut. Dia berbalik dan lebih kaget lagi ketika matanya bertemu pandang dengan Diyo. Tatapannya berbeda dari biasanya. Kali ini lebih lembut. Alra tentu saja cukup tertegun.
Dan lebih tertegun lagi, kala kalimat yang tidak pernah diduga akan ia dengar dari seorang Diyo.
"Mau makan es krim dulu? Saya traktir"
*****"
Berikan tanggapan kalian tentang chapter kali ini....Untuk para readers, jangan hanya dibaca saja ya. Tapi, vote juga dan kalau sempat beri komentar☺️
KAMU SEDANG MEMBACA
Married With Om (Sudah Terbit)
RomanceHighest rank #1in2020 (250620) #1inLove (071020) Kehidupan SMA yang harusnya penuh warna remaja, menjadi tidak karuan kala Alra dijodohkan dengan pria yang 12 tahun lebih tua darinya. Alra yang polos, lugu, dan ceria menjadi olokan si pria yang begi...