Hari Kelahiran

25.8K 914 77
                                    

Alra duduk di sofa dikelilingi oleh keluarga dan teman-temannya. Bahkan, teman-teman Diyo juga ada di sana.

Alra tersenyum saja. Menyaksikan mata-mata itu menatap binar pada perut buncitnya yang telah memasuki usia 8 bulan. Bukan hanya tatapan binar saja, tapi juga tatapan gemas. Bayangkan saja, Alra si gadis mungil dengan perut buncit yang ditutup daster motif doraemon. Menggemaskan.

"Bentar lagi lahiran ya," gumam Airin mengelus perut Alra. Rasanya tidak sabar menimang cucu pertamanya itu.

"Iya. Rasanya nggak sabar dan masih nggak nyangka," tambah Diah menambah haru suasana.

"Alra bentar lagi jadi mama ya. Nggak dedek gemez lagi," timpal Doni membuat yang lain tersenyum geli.

Tapi siapa yang tau perasaan gadis itu? Di usia yang harusnya dijalani dengan bermain bersama pacar ataupun teman, ia malah berakhir pada hubungan sakral. Bukan menyesal atau membenci keadaan, hanya saja ada perasaan sedikit tidak rela saat masa remajanya hilang begitu saja.

Sadar atau tidak, Alra menitikkan air mata membuat yang melihat merasa khawatir seketika. Diyo yang tadinya sibuk berbicara dengan ayahnya perihal pekerjaan langsung memfokuskan pandangan pada Alra yang tengah ditanyai semua orang.

"Ada apa, sayang?" tanya Diah dengan nada khawatir. Apalagi mendengar Alra yang semakin terisak di tempatnya.

"Alra?"

"Kenapa?"

Banyak yang menanyakan, tapi jawaban gadis itu membuat semua disana hanya bisa diam membisu.

"Alra kangen sekolah. Kangen belajar sama teman yang lain. Kangen upacara. Kangen liburan. Kangen semuanya. Kayak yang Kak Doni bilang, setelah lahiran aku jadi ibu. Apa nanti, aku juga kehilangan masa remaja?"

"Kamu menikah untuk menjadi ibu kan? Kamu harusnya sudah cukup paham itu. Kamu bukan lagi anak kecil, Alra. Sesekali bersikaplah dewasa," tegur Beri dengan suara rendahnya yang berhasil membuat Alra tertohok. Kalimat itu benar. Tapi ia juga kesal mendengar.

"Pa! Jangan gitulah!" tegur Airin yang hanya mendapat dengusan dari suaminya itu.

"Sayang, masa remaja kamu nggak hilang. Nanti bunda sama mama Airin bakal bantu jagain anak kamu. Saat itu kamu bisa liburan. Ahh, maafin bunda. Harusnya Bunda kasih kamu liburan dulu," ujarnya menyesal.

"Ayah nggak akan ngelarang kamu lagi. Kamu jalan sama teman-teman kamu sepuasnya," lanjut Arya.

Dulu, sikap mengekang keduanya membuat Alra menjadi gadis manja, gadis rumahan, dan tak begitu kenal dunia luar. Jalan-jalannya bersama orang tua tentu saja tidak bisa bebas. Tetap saja di kekang. Dan setiap kali ada ajakan pergi liburan dari teman Alra, gadis itu pasti berakhir di kamar.

"Maaf Ayah, Bunda. Alra bukan bermaksud begitu. Maaf. Alra nggak sadar terbawa suasana saja. Alra baik-baik saja kok seperti sekarang," ucapnya dengan nada lembut. Dia mengusap air matanya dan tersenyum pada semua orang.

Ahh, untuk apa menyesali? Ini adalah takdir. Toh, ia juga merasa bahagia seperti sekarang ini.

***

Alra terbangun dari tidurnya. Ia menoleh ke samping dan tak mendapati Diyo di sana. Alra beranjak. Setelah mencuci muka di kamar mandi, ia memilih keluar.

Saat menuruni tangga, tepat di anak tangga terakhir Alra tergelincir. Perutnya yang besar langsung menghantam lantai.

"Akhh!!" teriaknya seraya memegangi perutnya yang terasa begitu sakit.

Semua yang tadinya sibuk langsung menghampiri sumber suara. Selanjutnya reaksi mereka adalah terkejut dan khawatir melihat kondisi gadis itu.

"Alra kenapa bisa?" tanya Diah cemas. Airin di sebelahnya bahkan menangis saat melihat darah mengucur di paha Alra.

Married With Om (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang