Om Aja Yang Ketuaan

29.2K 997 11
                                    

Jangan lupa vote dan komen. Kementar dan vote kalian adalah semangat saya dalam menulis.

Happy reading, guys. 😇

"Kamu beri tahu dia?" tanya Diyo setibanya di rumah. Sebab di mobil tadi keduanya hanya diam seperti orang yang tidak daling kenal. Dengan polos, Alra mengangguk lalu hendak pergi.

"Kenapa?" tanya Diyo kemudian yang berhasil membuat Alra berbalik. Alra menatap Diyo bingung. Hal itu m3mbuat Diyo sedikit kesal dengan kelemotan gadis di depannya.

"Soal pernikahan"

Dua kata namun sudah cukup menjelaskan. Alra mengerti kemana arah pembicaraan. Tapi yang terbersit dalam pikirannya hanya ada satu. "Memang kenapa?"

Diyo memijit kepalanya pelan. Gafis ini polos, bodoh, atau bagaimana?

"Kenapa kamu memberitahu dia? Haruskah?"

"Alra kan cuman curhat. Emang nggak boleh? Mama Alra bilang, kalo ada masalah harus dicurhatin jangan dipendem sendirian. Itu sakit banget"

Jawaban itu bukanlah jawaban yang Diyo harap. "Berapa orang?" tanyanya mengalihkan.

"Apanya?" tanya Alra bingung. Pria di depannya benar-benar aneh dalam berbicara. Sungkat, padat, dan tidak jelas.

"Yang tau," jawab Diyo sabar. Bukankah menghadapi gadis belia harus sabar seperti orang tua? Tapi, Diyo kan suami bukan ayah Alra.

"Maksud Om, yang tau soal pernikahan ini?" tanya Alra memastikan.

Diyo mengangguk sekali. Melihat itu Alra menarik nafas panjang. "Cuman 2 kok. Marta sama Elis. Marta itu yang tadi udah ketemu sama Om. Kalo Elis yang kemarin-kemarin Om lihat"

Diyo menggumam tapi masih bingung.

"Om tau Elis kan? Itu yang kemarin Alra ajak buat nemuin Om di sekolah. Yang waktu kita mau.."

Ucapan Alra menggantung karena Diyo yang memotongnya dengan tidak punya hati. "Saya tidak peduli. Kamu makan saja sana"

Diyo tentu saja kesal. Dia hanya bertanya satu tapi gadis ini menjawab seribu. Sementara Alra terpaku. Dia kesal kala cerita seru itu berhenti sebelum usai. Alra menatap Diyo sinis sampai akhirnya,

"DASAR OM TUA MESUM DINGIN!!!" teriaknya heboh lalu berlari ke kamar.

Sementara Diyo terdiam menatap Alra yang masih sempat memeletkan lidah ke arahnya mengejek. Dalam hati Diyo bertanya. Benarkah dia menikah dengan gadis itu.

***

Malam menjadi hal paling Alra benci. Seperti saat ini, dia berkutat di meja makan dengan memegang perutnya yang lapar. Tadi siang pun, dia hanya makan roti isi, tanpa sentuhan nasi. Haruskah sekarang dia kembali tak mengisi lambung dengan asupan gizi? Jawabannya hanya satu. TIDAK.

Alra menghela nafas lelah. Memasak bukan keahliannya. Dia tak ingin membuat ikan sehat menjadi arang untuk kesekian kalinya. Lalu, dia harus bagaimana?

Tiba-tiba dia mendengar langkah kaki. Langsung saja dia berlari dan terkejut bukan main kala di depannya berdiri sosok yang ia rindukan.

"BUNDA!" Teriaknya heboh.

Bunda  tersenyum saja menyaksikan sifat kekanakan puterinya. Segera ia memeluk Alra erat melepas rindu.

"Bunda kok nggak bilang-bilang mau kesini?" tanya Alra di sela-sela makan malamnya. Bunda memang datang d3ngan membawa bekal. Sebab ia tau puteri kecilnya tak mengerti dalam urusan masak-memasak.

"Biar surprise", jawab Bunda tersenyum kecil.

Alra balas dengan tersenyum kemudia matanya melirik Diyo yang sangat serius dengan kegiatan makannya. Lagi-lagi dia tersenyum penuh arti.

"Om Diyo pasti iri sama aku"

Diyo melirik Alra sejenak lalu memilih tak peduli. Gadis ini kan memang banyak tingkah. Alra yang merasa dicueki jadi semakin gencar untuk menjahili.

"Bunda Alra baik banget datang ke sini. Mama Om mana?"

Bunda tersenyum aneh mendengar itu. Anaknya benar-benar tidak tau tempat dalam bertanya.

Dan Diyo? Dia bingung dengan ucapan Alra.  Apakah dia terlihat seperti anak kecil?

"Saya bukan anak kecil yang iri hanya karna hal sepele"

"Hal sepele?!" tanya Alra tak santai.

Hampir saja ia berceloteh kalau saja Bundanya tidak memerintahkannya untuk diam. "Kalau makan nggak boleh bicara".

Alra mengerucutkan bibirnya. Kenapa tak ada yang berpihak padanya?

***

"Bunda udah mau pulang?" tanya Alra sedih.

Bunda mengangguk lalu memeluk anaknya. "Kamu harus baik-baik loh sama suami kamu. Harus sopan. Harus nurut," nasehat Bunda sebelum akhirnya melepas pelukan itu.

"Ngapain sopan sama nurut? Om dingin kayak dia cocoknya di... "

"Alra!"  tegur Bunda memotong ucapan anaknya. Alra tentu saja kesal dibuatnya.

Bunda beralih pada Diyo yang sejak tadi hanya diam tak menanggapi. Bunda tersenyum dan menatap Diyo penuh harap. Dan diyo mengerti itu. Dia harus m3njaga gadis labil yang tengah kesal itu.

Setelah Bunda pergi, Alra menatap Diyo kesal. Sementara yang ditatap memilih untuk tidak peduli.

"Kenapa Bunda jadi belain Om terus? Biasanya Bunda cuma ngebela Alra. Kenapa sekarang cuman Om?" amuk Alra.  Mendengar penuturan itu membuat Diyo pusing sendiri. Ada apa dengan gadis ini?

"Saya nggak ngerti masalah kamu apa. Tapi says minta jangan bersikap kekanakan," ucap Diyo datar dan menatap Alra tanpa ekspresi.

Jantung Alra mencelus. Dia merasa gugup sekaligus takut ditatap seperti itu. Tapi, jiwa dalam dirinya terus memaksa untuk berdebat. Ditambah Alra tidak terima dikatakan kekanakan oleh pria di depannya itu.

"Aku yang kekanakan atau Om yang ketuaan?"

Diyo terdiam. Menatap Alra jengkel. Gadis kecil ini benar-benar pandai dalam berdebat. Ahh, lebih tepatnya pandai melawan.

"Sudahlah. Berbicara dengan anak kecil hanya membuang waktu"

Alra benar-benar jengkel. Dia bukan anak kecil. "Aku bukan anak kecil asal Om tau. Om aja yang ketuaan plus mesum".  Alra teesenyum menang seolah yang dikatakannya barusan adalah hal bagus yang patut dibanggakan.

Sedangkan Diyo sudah ada di batas kesabaran. Diyo menunduk menyamakan tinggi dengan Alra yang bahkan tidak sampai sebahunya itu. Mendekatkan wajah ke arah Alra, dan Alra refleks memundurkam wajahnya dan hampir saja ia terjungang ke belakang, kalau saja tangan lebar Diyo tak segera menahan pinggangnya. Alra terbelalak kaget. Jantungnya berdegup tak karuan berada sedekat ini dengan Diyo. Diyo juga sama. Sejujurnya, memeluk pinggang ramping gadis ini tak tertera dalam rencana awal. Tapi, dia akan tetap melanjutkan rencananya itu. Sebab kalu tidak, gadis ini pasti akan semakin nerajalela.

Diyo semakin mempertipis jarak di antara mereka sampai bibirnya tepat di samping telinga Alra. Dengan suara dingin dan datar andalannya dia memulai aksi.
"Sekali lagi, jangan pernah menyebut saya tua apalagi mesum. Kalau kamu melawan, akan saya tunjukkan mesum itu seperti apa".

Dengan cepat Diyo melepaskan Alra dan berlalu begitu saja. Meninggalkan Alra yang terpaku menyentuh dadanya yang masih bergemuruh. "Serem banget sih tu Om-Om".

Married With Om (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang