"Beneran nggak mau dianterin?" tanya Daniel memastikan sekali lagi.
Alra mengangguk singkat sebagai jawaban pertanyaan Daniel yang entah untuk keberapa kalinya. Alra menoleh ke samping saat mendengar Daniel menghela nafas. Tentu saja hal itu membuat Alra bingung. Tapi, ia tak berniat bertanya.
"Oke deh. Gue temenin sampe jemputan lo datang," ucap Daniel memecah keheningan yang sempat ada.
"Iya," balas Alra dengan senyum. Bahkan, jantungnya sudah berdetak tidak karuan.
Tak lama kemudian, Diyo datang dengan mobilnya. Membuka kaca dan mengisyaratkan Alra untuk masuk. Alra yang melihat itu, bukannya segera masuk justru menatap Daniel ynag berdiri di sampingnya. "Duluan ya," ucapnya pelan.
Daniel mengangguk singkat. Dia menatap Diyo sejenak, dan pria itu ternyata menatap Daniel dengan pandangan yang sulit dibaca. Tentu saja, Daniel tak ambil pusing soal itu. Setelah melihat mobil itu melesat, Daniel juga menaiki motornya dan segera beranjak pergi.
Di dalam mobil, Alra tak bisa berhenti tersenyum. Entah kenapa, berbicara dengan Daniel terasa begitu sebahagia ini. Diyo yang melihat itu mendengus. Dasar gadis puber!
Tiba-tiba terlintas pembicaraan Airin dengannya tadi. Ia melirik Alra yang masih setia dengan senyumnya itu. "Hari ini kita ke rumah orang tua saya," ucap Diyo tanpa menatap Alra karena ia fokus menyetir.
"Ngapain Om?" tanya Alra bingung.
"Acara keluarga"
Alra mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. Setelah itu tak ada lagi pembicaraan diantara mereka.
***
Alra menatap isi lemarinya dengan nanar. Tak ada pakaian yang cukup layak untuk dikenakan saat acara keluarga. Apalagi saat Diyo menyuruhnya berdandan dan mengenakan dress. Lagi-lagi, Alra menghela nafas berat. Apa yang akan ia pakai? Haruskah ia memakai celana saja?Pintu terbuka menampilkan sosok pria dengan kemeja putih dan celana bahan hitam. Kemeja itu ia gulung sampai siku. Untuk beberapa saat Alra terpaku dengan penampilan Diyo yang tak seformal biasanya. Ganteng.
"udah?" tanya Diyo datar seperti biasanya.
Alra memberengut kesal. Apa pria yang baru saja ia puji dalam hati itu tidak punya mata? Sudah jelas Alra belum siap. Orang dia masih pake handuk yang melilit tubuh mungilnya. Tunggu! Handuk? Alra terkesiap. Dia langsung menyilangkan tangannya di dada. Menatap Diyo dengan tatapan 'jangan mendekat'
Diyo mendengus. Sudah 30 menit gadis itu selesai mandi tapi tetap belum selesai. Dia bahkan bertanya untuk menyindir tadi.
"Pake seadanya saja. Saya tunggu di bawah", ucapnya tak mengindahkan pergerakan Alra. Setelah melihat Alra mengangguk, Diyo langsung keluar dari kamar.
"Seadanya... Oke. Aku pake ini aja," seru Alra bersemangat. Sekarang ia tengah memegang kemeja berwarna putih dan rok payung berwarna biru muda dengan motif kotak. Gadis penyuka korea itu, memang suka memakai rok seperti itu.
Alra mengenakannya. Rok yang panjangnya 5 cm di atas lutut itu, terasa pas ditubuhnya. Alra tersenyum senang. Dia hanya mengoleskan bedak bayi ke wajahnya tak lupa memakai lipgloss di bibir kecilnya.
"Wow. Cantik," pujinya bangga.
Mengambil sling bag berwarna senada dengan roknya, Alra pun turun dari kamarnya dengan bangga. Disana ia melihat Diyo yang asik dengan ponselnya.
"OM! GIMANA?" teriaknya heboh.
Diyo terkesiap. Dia sangat kaget mendengar suara lengkingan gadis itu. Dia pun menoleh, dan mendapati Alra tengah tersenyum ke arahnya. Diyo meneliti penampilan gadis itu. Kekanakan.
Diyo berdiri. Menghampiri Alra yang masih tersenyum. "Kamu nggak punya baju lain? Penampilan kamu itu terlalu kekanakan"
Alra berhenti tersenyum. "Kekanakan apanya. Biasanya juga aku pake ini kalo mau jalan sama temen," marah Alra.
Diyo menghela nafas kemudian berlalu dari hadapan gadis itu. Berdebat bukanlah hal yang patut dilakukan dengan anak kecil. Melihat itu, Alra kesal bukan main. Dia menghentakkan kakinya kesal. Dengan langkah cepat dia mengambil sepatu platshoesnya dan hendak menghampiri Diyo. Namun, suara Coco mengalihkan perhatiannya. Segera Alra memberi makan Coco. Tak lupa megelusnya sebentar. Lalu, Alra melanjutkan langkah menghampiri Diyo. Langsung saja Alra duduk di mobil yang memang sudah dipersiapkan Diyo tadi. Tak ada perbincangan diantara mereka. Alra masih kesal karena Diyo mengatainya kekanakan. Padahal Diyo yang terlalu tua untuk seorang Alra.
Keduanya tiba di rumah keluarga Diyo. Disana, sudah terparkir beberapa mobil dan juga motor. Sepertinya, ini pertemuan keluarga besar. Entah kenapa, Alra benar-benar gugup.
Setelah memarkirkan mobil, Diyo turun tanpa menoleh kepada Alra. Alra mendengus pelan. Dasar dingin! Alra pun keluar, dari mobil dan memasuki rumah itu. Kali ini dia tidak berdampingan dengan Diyo. Disana, tepat di ruang keluarga sudah banyak orang berkumpul membuat kegugupan Alra semakin bertambah. Alra menggenggam roknya keras berusaha meredakan rasa gugupnya.
Alra memasuki ruang keluarga dan... Deg! Semua orang menatap ke arahnya dengan tatapan berbeda-beda. Seketika, Alra merasa semakin gugup tak tertolong.
***
"Jadi ini isterinya Diyo? Kelihatan masih muda ya? Umurmu berapa?" tanya seorang wanita berusia 40-an. Alra tak mengenal wanita itu juga tak merasa pernah bertemu. Sepertinya, wanita itu tidak hadir di pernikahannya.
"17. Masih SMA", jawab seseorang yang nampak seumuran dengan Diyo. Dan Alra pernah melihatnya di acara pernikahan.
"APA?!" teriak banyak orang yang memang baru tau soal itu.
"Diyo, sejak kapan kamu cinta anak kecil begini?" sewot wanita tadi.
Mendengar itu, Alra tertunduk malu. Dia tidak tau harus berbuat apa. Sementara Diyo diam saja. Tetapi wanita itu yang terus mendesak membuat Diyo mau tak mau harus berbicara. "Saya dijodohin sama dia. Kalu bukan karena itu, saya mana sudi menikahi anak kecil seperti dia."
Alra yang mendengar itu menatap Diyo nyalang. Apakah dia seperti gadis penyuka om-om?
"Terus om pikir aku mau nikah sama om?" balas Alra."Om? Kamu nggak punya sopan santun ya. Masa suami dipanggil Om?" sewot yang lain.
Alra diam saja. Dia kesal dan muak ada disini. Untung saja Airin dan Beri masuk bersama seorang nenek tua. Alra yakin itu pasti nenek Diyo. Soalnya, semua orang seketika terdiam.
Nenek tua itu mendekati Alra dan tersenyum membuat kegugupan Alra berkurang. "Gimana rasanya menikah dengan Diyo? Pasti bosan kan. Habisnya Diyo terlalu dingin", canda nenek itu.
"Nggak kok Nek. Om Diyo baik," balas Alra canggung.
Nenek yang bernama Sara itu terkekeh. "Om?" tanyanya.
Seketika Alra gelagapan. Bahkan, semua orang menatapnya dengan tatapan aneh. "Ma.. Maksud saya D.diyo," balasnya kikuk.
Sara mengangguk saja. Dia pun memerintahkan semua orang untuk berkumpul di ruang makan. Dan disana, seluruh keluarga besar itu ditambah dengan Alra tengah makan malam yang diselingi canda tawa.
"Jadi kapan kamu ngasih nenek cicit?"
Pertanyaan itu membuat Alra dan Diyo tersedak. Alra melebarkan matanya terkejut. Dia melirik Diyo yang ternyata juga menatapnya. "Dia masih sekolah," ucap Diyo singkat.
"Tapi nenek pengen nimang cicit sebelum pergi. Kamu tau kan umur nenek udah nggak lama. Entah kapan penyakit nenek ini merenggut... ," melas Sara.
"Oke. Diyo usahain. Jangan bahas itu lagi," potong Diyo segera.
Alra yang mendengar itu mendengus. Dia mencolek Diyo tapi diacuhkan pria itu.
"Kalau boleh anaknya lebih dari satu ya. Udah nggak sabar ada penghuni baru keluarga ini"
"2 aja. Program KB"
"2 mana cukup. Sebanyaknya aja"
"Indonesia udah terlalu padat. Mau Jakarta makin macet?"
Dan, Alra benar-benar ingin menenggelamkan diri segera. Percakapan soal anak benar-benar terasa aneh untuk gadis berusia 17 tahun itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Married With Om (Sudah Terbit)
Roman d'amourHighest rank #1in2020 (250620) #1inLove (071020) Kehidupan SMA yang harusnya penuh warna remaja, menjadi tidak karuan kala Alra dijodohkan dengan pria yang 12 tahun lebih tua darinya. Alra yang polos, lugu, dan ceria menjadi olokan si pria yang begi...