Makasih

22.3K 834 18
                                    

Vote dulu sebelum baca dan jangan lupa follow author

'Nggak perlu rumit kaya fisika. Karena bahagia nggak butuh rumus'
-AyuMelani

Seperti yang telah dijanjikan, kedua remaja itu berniat pergi nonton. Saat ini Alra tengah menunggu Daniel di parkiran, dikarenakan Daniel harus piket hari ini. Tentu saja, itu tidak masalah bagi Alra.

Hanya 5 menit berlalu, Daniel sudah datang.

"Cepet banget?" tanya Alra cukup heran.

Daniel cengengesan. "Biasa. Dibantuin temen tadi."

Alra hanya mengangguk saja. Dia akan naik ke atas motor, sebelum sebuah tangan menghentikannya.

"Ikut saya!"

Suara yang sarat akan nada perintah itu, sudah sangat Alra hafal. Dia mendongak, benar saja. Matanya lantas bertemu dengan mata Diyo.

"Apasih Om!" sentak Alra berusaha melepas cekalan Diyo yang justru berujung kegagalan. Bersyukur, parkiran tidak lagi ramai sehingga ketiga manusia itu tidak harus jadi tontonan.

Diyo menarik Alra, yang tentu saja ditolak gadis kecil itu. Sedangkan Daniel yang sedari tadi hanya jadi penonton akhirnya ikut andil juga. Dia memgang lengan Alra yang terbebas.

"Maaf. Dia sudah ada janji dengan saya. Lagipula, bukankah anda terlalu kasar?" ucap Daniel sehalus mungkin. Dia tau, bahwa pria di depannya ini adalah 'Om' nya Alra. Jadi, dia harus mampu menjaga sikap.

Bukannya melepas, Diyo berdecih pelan. "Kamu siapanya?"

Daniel yang menerima pertanyaan itu terdiam. Benar juga. Mereka tidak punya hubungab apapun selain pertemanan.
"Saya cuman temennya, tapi.. "

"Saya su..."

Belum selesai Diyo berucap, Alra lebih dulu berbicara seraya menarik Diyo.
"Ayo Om"

"Kamu bisa lepasin tangan aku?" lanjutnya kepada Daniel yang bingung melihat perubahan sikapnya itu.

Tapi, Daniel pada akhirnya melepasnya juga. "Aku duluan. Nontonnya lain kali aja," lanjut Alra pelan.

Lalu, keduanya berjalan menuju mobil Diyo. Di dalam mobil, keduanya saling diam tidak satupun yang mau membuka suara.
Saat mobil berhenti karena lampu merah, Diyo menoleh ke arah Alra.

"Maaf," ujarnya pelan. "Pipi kamu baik?" tanyanya kemudian. Bagaimanapun, dia telah melukai gadis kecil itu.

"Nggak usah sok peduli bisa?" ucap Alra tajam. Matanya menatap Diyo penuh benci.

Diyo menghela nafas. "Saya tidak suka kamu mengatakan pernikah ini 'pernikahan sialan'. Maaf karena saya terlalu emosi sampai nampar kamu," ujarnya panjang lebar. Mungkin ini pertama kalinya dia berbicara sepanjang ini kepada Alra. Tapi lihat reaksi gadis itu. Dia justru diam saja dan tak ada tanda akan menggubris.

Tepat saat lampu sudah berubah hijau, Diyo menjalankan mobilnya. Dan dia harus mendengar kalimat yang entah kenapa membuatnya sakit hati?

"Om juga nggak suka kan sama pernikahan ini. Aku nggak pernah liat Om senyum. Pernikahan ini emang nggak bawa kebahagiaan. Jadi, aku rasa itu udah cukup untuk bilang kalau pernikahan ini sial"

Dan Diyo memilih diam. Dia menimang setiap kata yang keluar dari mulut gadis itu. Benar juga, bagi Diyo pernikahan ini juga kesialan. Tapi itu dulu. Kalau sekarang, setelah hampir 2 bulan bersama, rasanya sudah berbeda. Kehidupan Diyo yang kerap kesepian, telah diisi dengaj kehadiran gadis belia ini.

"Itu dulu. Sekarang saya merasa pernikahan ini tidak seburuk itu"

Setelah mengucapkan kalimat yang berhasil membungkam mulut Alra itu, Diyo merasa lebih lega. Entah kenapa. Ya, dia tidak tau kenapa. Kenapa dia harus susah payah menghibur gadis ini. Kenapa dia harus merelakan waktunya yang berharga hanya untuk gadis ini. Kenapa dia mau menyerahkan rumahnya di 'otak-atik'  oleh para sahabatnya hanya untuk menyenangkan hati gadis ini. Kenapa? Kenapa?

Married With Om (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang