Maaf

24.9K 963 55
                                    

Hay, readers.

Tau nggak, kalau menulis itu susah?
Makanya Vote dan komentar dari kalian adalah bentuk apresiasi yang sangat membahagiakan.

Ditambah jika kalian bersedia memfollow author, semakin bahagialah kami para penulis cerita.

So, tinggalkan jejak yah.

Happy reading. Semoga nggak emosi

Alra memasuki ruang kelas dengan menunduk. Pasalnya,  semua mata menatap ke arahnya dengan tatapan aneh. Bagaimana tidak? Siapa yang mengenakan syal di musim panas? Hanya Alra seorang.

Alra menghela nafas lega. Akhirnya tiba juga di ruang kelas. Seperti biasa, kedua sahabatnya sudah ada disana. Tentu saja, sekarang tengah menatap Alra dengan tatapan bertanya.

"Lo kesambet? Siapa yang make syal di tengah panas begini?" tanya Elis heran.

"Lo sakit?" Marta bertanya khawatir.

Alra lagi-lagi menghela nafas. Dia melirik sekitar, dan ternyata hanya ada beberapa orang yang datang. Jarak pun bisa dikatakan cukup jauh.

Alhasil, perlahan Alra membuka syal itu dengan hati-hati. Tertampanglah keadaan leher Alra yang memiliki beberapa bekas kemerahan.

Marta dan Elis menatap tak percaya. Apa ini temannya yang polos itu?

Alra langsung melilitkan kembali syal itu, takut ketauan oleh yang lain.

"Itu ulah Om Diyo?" tanya Elis retorik.

"Emang siapa lagi?" malas Alra.

"Kok serem?" tanggap Marta.

"Dih. Nanti juga kalo lu udah ngerasain, malah demen," sewot Alra tak terima akan tanggapan Marta.

"Jadi lo udah demen di 'itu'in?" Nampaknya Elis selalu berpikir terlalu jauh.

Pertanyaan Elis itu sukses membuat Alra memerah malu.

"Udah ah. Ngapain sih bahas itu? Sekarang gue mau bahas hal paling penting." Alra berubah serius membuat Elis juga Marta memasang wajah penasaran.

"Mantan Om Diyo balik ke sini. Namanya Ranya."

"Ranya?"

"Lo berdua kenal?" tanya Alra karena kedua temannya membeokan nama Ranya hampir bersamaan.

"Nggak. Cuman pernah disebut sama Kak Naya," terang Marta.

Alra mengangguk pelan.

"Jadi gimana sama Om Diyo? Dia nggak balik lagi sama dia kan?" Elis bertanya was-was. Karena dari pemikirannya, Ranya adalah sosok yang penting. Entah itu sepenting apa, yang jelas Ranya tidak bisa dianggap angin lalu.

"Untuk sekarang sih enggak. Cuman, sikap dia kadang beda kalau si Ranya itu ada." Alra berujar pelan.

"Mungkin karena dia cantik? Ahh, cantik banget. Gue yang cewek aja kesemsem." Alra semakin lemas mengingat itu. Ranya yang memiliki fisik idaman semua kaum adam tak sebanding dengan Alra yang tidak ada istimewanya.

"Lo nggak boleh gitu. Lo isterinya. Harusnya lo lebih pede"

"Iya Ra. Apalagi dengan Om Diyo udah ekhmm sama lo, gue yakin Om Diyo beneran suka sama lo"

"Ekhmm itu apa?" Dasar Elis! Pura-pura polos.

"Batuk kali," canda Alra garing.

Marta menatap sinis kedua temannya.

"Sok iya lo berdua"

Lalu, mereka tertawa. Ya, setidaknga di sekolah, Alra masih punya kedua manusia ini. Setidaknya sekarang, dia bisa tertawa.

***

"Kamu ngapain?"

"Kok kamu jadi gitu ke aku?"

"Saya sudah punya isteri"

"Terus aku gimana? Aku ada di posisi sekarang itu semua demi kamu. Kalau kayak gini, itu namanya nggak adil"

"Ranya.."

"Diam! Kalu udah janji bakalan nikahin aku. Tapi apa? Aku pulang kamu malah udah nikah. Ini nggak adil, Yo. Sangat nggak adil"

Diyo mendengarkan saja Ranya mengoceh panjang lebar. Ranya membicarakan soal perjuangannya hingga jadi terkenal. Pertama kali memasuki dunia yang ia geluti saat ini adalh ajakan salah satu temannya. Dan ya. Dia berhasil.

Tapi, kebanyakan isi cerita dari Ranya adalah duka yang ia alami saat menggeluti itu. Saat ia hampir mengalami pelecehan saat pemotretan. Dia menceritakannya dengan berderai air mata. Siapapun yang melihat pasti nerasa kasihan.

"A-ku ta-kut ba-nget sa-sa-at itu"

Ranya menangis tersedu-sedu saat mengingat masa itu. Dia menangis sesegukan. Diyo yang menyaksikan, merasa tidak enak hati. Bagaimanapun, Ranya pernah jadi alasan dia tersenyum. Ranya adalah cinta pertamanya. Ya, oleh karena itulah kedatangan Ranya yang tiba-tiba ke ruangannya tidak bisa ia tolak. Dia tak kuasa mengusir.

Tangisan Ranya yang menjadi, membuat Diyo tergugah untuk mendekat. Dia duduk di samping wanita itu. Menepuk pundaknya pelan. "Maaf."

Ranya masih sesegukan. Dia menatap Diyo sebentar. Sebelum akhirnya menghambur ke pelukan Diyo. Dia menyandarkan kepalanya di dada bidang pria itu. Mencari posisi senyaman mungkin. Diyo yang kaget tak bisa berbuat apa-apa. Dia memilih kembali menepuk punggung Ranya berusaha menenangkan.

10 menit berlalu. Ranya mulai merasa tenang. Diyo yang menyadari itu, lantas mendorong Ranya pelan.

"Maaf." Diyp hanya mampu mengatakan hal itu sekarang.

Ranya diam saja. Dia menatap Diyo dengan tatapan dalam. Kentara sekali, bahwa ia sangat mencintai pria ini. Dengan jarak sedekat ini, tidak butuh waktu lama untuk Ranya mengecup bibir Diyo.

Pria itu membelalak kaget. Tapi kenapa? Kenapa dia tidak sanggup mendorong Ranya? Diyo tidak membalas ciuman itu. Hanya Ranya yang mendominasi.

Diyo tersadar. Ini salah. Apa yang terjadi sekarang adalah salah. Diyo akhirnya berusah mendorong Ranya. Tapi wanita itu menolak. Dia terus mencium Diyo rakus seolah tiada lagi hari esok.

Tiba-tiba pintu ruangan Diyo terbuka. Sontak saja, Diyo membelalak kaget. Dia mengelap bibirnya yang membekaskan lipstik merah di jarinya.

Diyo menatap sosok itu dengan tatapan merasa bersalah. Semakin merasa beesalah lagi karena sosok itu mengeluarkan air mata. Menatap dirinya kecewa. Tapi, untuk mengucapkan sepatah kata karasanya sukar. Diyo merasa tak berdaya. Sangat.

Kira-kira sosok itu siapa?
A. Alra
B. Naya
C. Rian
D. Geri
E. Doni
F. Mama Diyo
G. Papa Diyo
H. Bunda Alra
I. Ayah Alra

Yang jawab benar dapat salam dari Samosir😂  dan Danau Toba.

Salam sayang dari author pemula

Married With Om (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang