-oOo-
"Jika aku memiliki kehidupan kedua. Untuk yang kedua, aku hanya berharap bisa menemuimu."
-oOo-
Wajah Liona menjadi merah. Ia masih melebarkan matanya kebingungan setelah peristiwa itu. Sementara Hani, napasnya masih terengah-engah karena pelarian bersama Lio yang membuatnya sangat kaget. Padahal yang Hani lihat, Lio sempat menutup mata dan tergeletak di dasar lapangan. Hani sudah khawatir bahwa Liona memang benar-benar pingsan karena bola basket itu.
"Se ... sebenarnya ada apa sih sama lo Li? Gue capek banget lari dari gedung kedokteran sampe gedung sosial. Anjir, napas gue belum stabil. Gue kira lo pingsan beneran."
Liona kemudian terduduk perlahan di salah satu kursi di taman kampus. Ia menceritakan semuanya pada Hani ketika pertama kali ia membuka mata saat tertimpa bola itu.
"Gak mungkin. Namanya Zean bukan Abi. Mirip aja kali. Lo gimana sih, kita gak bisa bedain orang waktu kecil sampe dia dewasa tau. Muka orang itu selalu berubah-ubah sesuai zaman."
Liona terdiam mendengar setiap argumen yang Hani keluarkan. Tapi ia masih mengerutkan dahinya dengan bingung. Jantungnya pun masih berdebar dengan cepat walaupun ia sudah menjauh dari tempat itu.
"Tapi kenapa gue yakin dia orang yang sama ya Han? Gue berharap sih nggak. Karena gue tau, Abi paling gak suka dokter ataupun jadi seorang dokter. Waktu kecil, dia pernah cerita kayak gitu depan gue. Udah gitu, dia gak ngenalin gue."
"Semua udah berubah. Dan kata lo si Abi pernah bilang akan sekolah di Semarang kan? Ya mana mungkin dia kembali tepat di depan lo. Pasti kalau emang dipertemukan, akan melalui proses yang panjang."
Liona kembali pada parkiran tempat Roy memarkirkan motornya.
"Jangan-jangan Roy udah pulang," gumam Liona dengan mata sambil mencari.
"Heh!" Roy datang menghampiri mereka.
"Dari mana lo?"
"Abis ngopi. Kalian ke mana sih? Oh atau jangan-jangan lo ikut-ikutan sih Hani otak setengah ini ke fakultas kedokteran kan?"
"Heh otak udang, sembarang banget lo ngatain gue. Ngaca!"
"Gue mau pulang sekarang Roy." Liona langsung menaiki motor Roy dengan tergesa. Memakai helmnya dengan terburu-buru.
"Han, kita duluan. Hati-hati diculik rentenir, haha."
"Dasar kang siomay! Benci banget gue liat mukanya."
Sebuah jendela terbuka lebar. Liona merebahkan tubuhnya pada kasur yang empuk. Ia menatap atap langit kamarnya dengan pekat. Sebuah wajah anak berusia 10 tahun terbayang matanya. Setiap wajah, senyum, juga tingkahnya ia tak pernah melupakan itu. Semenjak saat pertemuannya dengan Zean, ia kembali mengingat semuanya.
"Apa mereka mirip? Apa dia bukan Abi? Benar yang Hani bilang. Wajah seseorang itu akan berubah-ubah sesuai zaman."
Ia bergumam membuat bingung sang kakak yang hendak mengetuk pintu Liona yang terbuka.
"Kakak?"
Liona terbangun dari rebahannya.
"Tumben banget ngelamun? Masih bingung cari dia di mana?"
Hanya satu orang yang tahu tentang Liona lebih detail, yaitu kak Leo.
"Ah nggak kak. Ngapain juga nyariin orang yang gak nyari kita." Lio terkekeh depan Leo.
"Na, dengerin kakak ya. Sahabat itu, ikatannya lebih dari orang pacaran. Mereka punya perasaan yang lebih peka ke sesama. Kalau emang kamu suatu saat nanti ketemu sama dia, itu artinya, dia maupun kamu, itu gak pernah ngelupain satu sama lain selama ini."
"Kalau gak saling ketemu, berarti salah satu ada yang melupakan?"
"Semua itu takdir."
Usia kak Leo 23 tahun, tapi memiliki kedewasaannya yang bisa menasehati adik-adiknya dengan baik selama ini. Sungguh, kakak yang selalu diidamkan oleh para adik.
Jam makan malam tiba, inilah saatnya untuk Liona bisa berkumpul dengan keluarga utuhnya. Semuanya memang memiliki kesibukan, tapi saat makan malam tiba, semua harus ada di meja makan dan itu sebuah aturan yang dibuat oleh Bu Lani.
"Ayah, aku boleh kan ikut UKM kampus gak? Biasa, bidang olahraga, ayah tau kan? Udah gatel banget pengin olahraga."
Perkataan Liona setelah mereka selesai makan membuat semuanya terdiam. Liona memang dilarang untuk ikut Unit Kegiatan Mahasiswa oleh Bu Lani, apalagi jika itu adalah bidang olahraga. Ya, karena Bu Lani lebih ingin Lio fokus pada kuliahnya.
"Kamu ya Lio. Ibu kan udah larang."
"Bu, olahraga itu penting tau," celetuk Rayan, adik Lio.
"Nah bener tuh apa yang Rayan bilang. Lio janji deh, bakalan fokus kuliah." Lio memohon dengan puppy eyes membuat Pak Fendi, Ayah Lio tersenyum. Laki-laki paruh baya yang bekerja sebagai manager di salah satu perusahaan itu memang sulit untuk mengekang apapun kesukaan anaknya, apalagi Liona adalah anak perempuan satu-satunya dalam keluarga.
"Bu, kasih aja. Lio udah janji kok. Iya Lio, apapun asal baik buat kamu, Ayah izinkan. Tapi ingat janji kamu."
Perizinan sang Ayah membuat Liona tersenyum merekah depan seluruh orang terkasihnya. Dan akhirnya, sang ibu pun luluh pada ucapan ayahnya. Ya, senjata pembelaan Lio dari kekangan ibunya selama ini adalah sang Ayah selain kak Leo. Namun, Leo tidak pernah berhasil jika ia sedang membela sang adik depan ibunya.
"Jangan lupa jaga kebersihan badan kamu Lio."
"Always Mom."
Maaf masih gaje. Kalian bisa follow terus storynya.
Jangan pelit VOTE. Terima Kasih
KAMU SEDANG MEMBACA
OFFICIALLY MISSING YOU
Teen FictionHilang dan Rindu. Dua kata berbeda, tapi memiliki makna yang sama. Kehilangan. Itulah yang dirasakan Liona, mahasiswi Sosiologi yang tengah merasakan kilas balik saat bertemu dengan mahasiswa calon dokter bernama Zean. Pingsannya Liona di lapangan b...