-o0o-
Memendam perasaan di waktu yang lama, sama sakitnya ketika ditolak untuk mencintai.
-o0o-
Malam itu, Liona berjalan di taman beriringan dengan Zean. Kecanggung malah merasuki dirinya tak terlebih lagi Zean.
"Mau bicara soal apa?" Pertanyaan Liona yang terdengar sangat lembut membuat Zean malah terlihat gugup.
"Emm soal kemarin ...."
"Oh. Aduh sorry banget Ze bukan niat gue ganggu. Gue mau ke parkiran nunggu si Roy waktu itu."
Ringan. Ucapan Liona begitu ringan membuat Zean malah tertegun.
"Gue kira lo akan bilang sesuatu sama gue. Ternyata lo biasa aja." Zean terkekeh tipis membuat Liona bingung akan ucapannya.
"Maksud lo? Lo gak lagi klarifikasi kan Ze? Hahaha. Apaan sih, selow aja lagi."
Liona telihat membuang rasa gugupnya depan Zean walau ia tahu itu mungkin menyakiti hatinya sendiri.
"Lo bilang selow? Dan ... gimana kalau gue bilang itu nyakitin gue?"
Liona melebarkan matanya sempurna. Ia diam beberapa menit menelaah setiap perkataan Zean yang sungguh ia tak paham.
"Apa? Kok nyakitin? Bukannya rasa cinta itu buat orang bahagia ya, bukan nyakitin."
"Siapa yang lo bilang cinta? Delisa? Orang yang udah dorong gue ke dalam masalah dan menarik lo ke dalam masalah gue, itu yang lo sebut cinta?" Nada bicara Zean mulai meninggi membuat Liona melebarkan pupil matanya heran.
"Ze ... lo ..."
"Cukup. Ya, gue emang bodoh. Buat apa juga gue ngelakuin hal kayak gini sama lo." Zean tertunduk seraya tersenyum tipis, namun sepertinya ia terlihat menyembunyikan sesuatu.
"Asal lo tau Liona, Delisa berlutut meminta maaf sama gue dan berharap gue akan selalu jadi teman dia apapun yang terjadi. Apa perasaan gue? Kalau aja dia cowok, gue gak akan tinggal diam dipeluk sama cewek yang bahkan nyakitin gue dan orang penting dalam hidup gue."
Liona melotot. Ia menatap Zean pekat yang masih tertunduk.
"Dan kenapa kepergian lo malah nyakitin hati gue?"
Mata Liona mulai berkaca setelah Zean mengatakan hal itu padanya.
"Lo gak ngerasain apa-apa sekarang?"tanya Zean membuat Liona lantas mendekap tangannya ke dada dengan bingung. Liona menggelengkan kepalanya beberapa kali tanpa menatap Zean.
"Gue gak ngerti apa yang lo omong.Kalau gak ada urusan, gue pulang sekarang."
Dengan melamun bingung, Liona berusaha menanggalkan jejaknya meninggalkan Zean.
"Orang yang gue suka selama bertahun-tahun itu lo, Liona." Ucapan Zean menghentikan langkah Liona saat itu. Jantung Liona berdebar begitu kuat.
"Gue adalah orang terbodoh karena gak pernah bisa ungkapin perasaan sendiri dan bahkan terus sakit karena cemburu liat lo terus bersama laki-laki lain tiap saat." Suara Zean terdengar bergetar sendu. Ia menatap punggung Liona dari belakang.
"Dulu kita sempat jadi teman, dan saat ini apa boleh gue anggap lo lebih dari teman?"
Air mata Liona mulai berjatuhan. Zean mengeluarkan secarik kertas yang hendak ia sodorkan pada Liona walau jarak mereka terpaut beberapa meter. Hembusan angin malam mampu menggoyangkan batang-batang pohon termasuk setiap helai rambut lurus yang Liona miliki. Kertas itu terlepas dari tangan Zean, beterbangan di udara sampai pada jatuh di kaki Liona. Liona berjongkok mengambil secarik kertas yang bahkan ia belum tahu itu dari tangan Zean karena ia membelakanginya. Tertulis sebuah kalimat, dengan gaya tulisan layaknya anak sekolah dasar. Liona membaca dalam batinnya, "Kalau Abi udah dewasa nanti, Abi mau suka sama Liona."
KAMU SEDANG MEMBACA
OFFICIALLY MISSING YOU
Teen FictionHilang dan Rindu. Dua kata berbeda, tapi memiliki makna yang sama. Kehilangan. Itulah yang dirasakan Liona, mahasiswi Sosiologi yang tengah merasakan kilas balik saat bertemu dengan mahasiswa calon dokter bernama Zean. Pingsannya Liona di lapangan b...