-oOo-
"Bahkan jika aku memang terluka, aku merasa ada sesuatu yang membuatku kuat menghadapinya."
-oOo-
Makan malam tiba, ini saatnya untuk keluarga Liona berkumpul. Liona memang terlihat agak lebih kalem dari sebelumnya. Ia takut, masalah di kampus diketahui oleh orang-orang rumahnya termasuk Bu Lani. Terakhir Liona berkelahi saat ia masih menginjak SMA, saat itu hampir sama-sama dari mereka nyaris dibawa ke rumah sakit karena saling pukul. Liona dihukum selama satu minggu untuk tidak keluar rumah. Dari sana Liona sungguh trauma, tentunya tak ingin pengurungan dirinya terjadi kembali.
"Lio, gimana kuliah kamu? Gak bikin masalah kan? Ibu percaya kamu udah dewasa, tau yang baik tau yang buruk,"ucap Bu Lani seraya menaruh nasi ke setiap piring.
"Ka Lio kalem banget, pasti ada yang disembunyiin nih,"celetuk Rayan membuat Liona sulit untuk menelan salivanya.
"Nggak ko, Lio baik-baik aja."
Ka Leo sedari tadi memperhatikan gerak-gerik Liona yang memang mencurigakan.
Malam tiba, Liona termenung melamun pada jendela rumahnya. Ia masih kesal atas kejadian di kampus, namun sesekali ia teringat akan perkataan Zean. Sekotak susu coklat yang Zean berikan pun belum diminumnya. Suara handle pintu berbunyi, terlihat Ka Leo memasuki kamar Lio tanpa ragu.
"Belum tidur ka?"
"Ada sesuatu yang mengganjal, jadi belum tidur."
Mereka sama-sama terduduk di kasur Lio.
"Kakak tau, jangan sembunyi lagi." Ucapan Ka Leo membuat Liona menelan salivanya canggung.
"Bukan aku yang salah. Aku gak ngelakuin apapun. Dia berusaha ngehina Ibu, gimana aku mau diem?"
"Hem, kakak percaya kamu. Tapi Lio, apapun bentuk masalahnya itu tetap akan jadi masalah kalau kamu biarin terus"
"Ka Leo mau aku minta maaf? Itu gak akan."
"Yang memaafkan lebih mulia. Walau kamu gak salah, itu harus dilakukan." Ka Leo mengusap pucuk kepala Lio dengan lembut. Sungguh, kakak yang tidak Lio temukan dimanapun kecuali di rumahnya. Kakak yang sungguh perhatian, kakak yang selalu bisa menasehati adiknya dengan baik untuk hal apapun.
Di kampus, seluruh mata menatap Lio. Ia tak mengerti lagi dengan hal itu. Padahal, masalahnya sudah kelar waktu itu juga. Setiap orang serasa ingin membunuhnya ketika mereka menatap. Hani dan Roy menarik Liona untuk pergi ke warung belakang kampus tempat mereka sering nongkrong.
"Lo udah jadi artis sekarang!" Roy terlihat cemas, ia mondar-mandir tak tau arah dengan mata memencar ke mana pun.
"Yang lo lawan itu anaknya pengusaha furniture terbesar di kota Bandung. Dia banyak menangin kontes, termasuk kecantikan. Dia lebih sombong dari Delisa." Ucapan Hani membuat Lio hanya bisa tertunduk.
"Liat berita lo masih nyebar di blog kampus, lo harus minta maaf supaya nama lo bersih."
"Semua orang bully gue di instagram. Gue sampe nonaktifin IG gue. Twitter gue di serang, banyak nomor gak dikenal masuk LINE gue." Liona mengepalkan tangannya cemas.
"Lo harus minta maaf Li. Biar kelar lah. Lo kalo Dekan denger kalian bisa dipanggil." Roy merutuki Lio dengan terus menunjuk-nunjuk Lio dengan jari telunjuknya.
"Gue gak salah, gue gak mau!" Liona mengambil tasnya kasar, ia pergi ke kelas untuk memenuhi mata kuliahnya walau akhirnya ia pasti diasingkan.
"Ze. Cewek jersey gue denger dia lagi diasingkan satu fakultas, kasian ya. Padahal masalahnya sepele loh. Tapi gue kenal banget sama Marion, dia emang senior terganas yang gue kenal,"ucap Yuda disela mereka menikmati kopi di salah satu warung.
"Udah lah. Yang penting fakultas kita gak kena masalah lagi. Apa yang lo lakuin selanjutnya Ze?" Gion melirik Yuda seraya terkekeh menatap Zean yang masih terdiam belum merespon.
"Lah emangnya apa?"
"Ze, jangan bohongin diri lo apalagi orang lain. Nanti lo kena karma." Yuda kembali menyeruput kembali kopinya.
"Dia kan pernah nolongin lo. Lo mantan BEM. Bisa lah nuntasin ini mah, iya gak Gi? Hahaha." Yuda menepuk keras bahu Zean seraya terkekeh.
"Mereka yang punya masalah kenapa gue yang harus kena?" Zean menggeleng-gelengkan kepalanya lantas mengambil cangkir kopinya.
Liona berjalan tertunduk di sekitar koridor. Bertatap mata ataupun wajah ia pun merasa segan saat itu. Ia tak tahu harus apalagi, jika meminta maaf untuk tidak adanya kesalahan itu mungkin hal tersia-sia dalam hidupnya. Tapi jika dia tak menyelesaikan masalahnya, wajahnya pasti akan terus terpampang di blog universitas dan lama kelamaan bukan hanya Dekan yang tau akan itu, orangtuanya pun pasti akan murka. Aris, si ketua salah satu organisasi ilmu sosial menghadang Liona yang tengah berjalan. Mereka berbicara di salah satu cafe jauh dari keramaian mahasiswa ataupun mahasiswi. Setidaknya, Aris ingin melindungi Liona karena mereka pernah akrab sebelumnya.
"Ada apa lagi sama lo?" Aris bertanya seraya menyeruput segelas kopi hangatnya.
"Sepele banget Ris. Mereka aja yang besarin masalah"
"Gue tau banget sifat Marion. Dia gak akan berenti kalo lo gak minta maaf." Ucapan Aris membuat Liona serasa makin terpojok.
Liona kembali berjalan melewati koridor setelah menyelesaikan kelasnya. Ia dicerca komenan pedas beberapa mahasiswi yang ia lewati. Sepersekian detik Liona merasa terasingkan.
"Buat apa kuliah kalo gak punya etika?" Sindiran yang memang pelan namun begitu menusuk bagi Liona.
"Buat apa juga kuliah kalo punya mulut kotor?"
Tiba-tiba suara lelaki membelanya membuat Liona segera mencari sumber suara.
"Raja?"
"Raja? Ngapain ada di fakultas ilmu sosial?" Beberapa mahasiswi menyapanya dengan begitu hangat.
"Bukan urusan lo!"
Raja menarik Liona pergi membuat Liona kebingungan sendiri. Mereka terhenti di tribun lapangan. Raja membuka kaleng minuman soda untuk Liona. Ia menyodorkannya ketika Liona terdiam menunduk.
"Bertindak lebih dulu lebih baik dari pada berdiam mengamati keadaan." Satu kalimat keluar dari mulut Raja.
"Akhirnya, berita gue nyebar ke semua fakultas. Hemmm! Gue udah kayak sampah bagi mereka, padahal mereka gak tau apapun kejadian sebenarnya." Liona menghela napasnya pasrah membuat Raja menatapnya dalam namun terlihat miris.
"Mau main?" Raja menghampiri bola bundar dan dimainkannya dengan kaki. Liona seketika tersenyum, menghampiri dan ikut bermain bersama Raja. Sungguh, pertemanan mereka terlihat singkat namun begitu berarti bagi Liona. Raja memang orang yang sangat baru ditemuinya, namun sekali ia bertemu, Raja mampu membuatnya merasa lebih baik dan lebih nyaman. Tak sadar, ada kedua mata menatap mereka dari pagar luar lapangan. Dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana, lelaki berparas tampan itu hanya memperhatikan Lio dan Raja tengah bermain. Liona menatap sekitar, ia membersihkan keringat di pelipisnya. Matanya kemudian menangkap seseorang yang berjalan meninggalkan area tribun.
"Itu kayak Zean. Ngapain dia di sini? Apa mau latihan?" Dahi Lio mengernyit heran, kemudian ia kembali bermain bersama Raja.
Note :
Teruntuk silent reader, kami memang menyajikan cerita untuk kalian. Apa salahnya kalian mengapresiasi karya seseorang? :)
Don't forget to vote nd coment❤
KAMU SEDANG MEMBACA
OFFICIALLY MISSING YOU
Teen FictionHilang dan Rindu. Dua kata berbeda, tapi memiliki makna yang sama. Kehilangan. Itulah yang dirasakan Liona, mahasiswi Sosiologi yang tengah merasakan kilas balik saat bertemu dengan mahasiswa calon dokter bernama Zean. Pingsannya Liona di lapangan b...