6. Perdana Bertemu

769 93 22
                                    

-oOo-

"Dulu ada seseorang pernah berkata, terkadang, kita harus berterima kasih dengan masa kecil, karena semua itu memberikan kebahagiaan tanpa alasan, tidak seperti orang dewasa yang selalu meminta hal itu."

-oOo-

Hembusan angin mengenai setiap lembaran rambut Liona. Hari menjadi senja, kali ini ia tak dapat omelan sang ibu sepulang kuliah. Liona membuka lebar jendelanya membiarkan setiap angin masuk ke ruang pribadi miliknya. Sempat terbayang wajah Zean saat terpapar hujan lumayan lama karena dirinya di parkiran kampus siang tadi. Tiap tetesan hujan dari alis matanya membuat Liona sejenak memikirkan Abi. Abi, sahabatnya. Orang yang sungguh berjasa yang hidup di masa kecil Liona. Abi membantunya ketika ia menangis di sekolah. Abi menolongnya ketika ia hampir jatuh karena seseorang. Jika ada kesempatan, Liona ingin sekali bertemu dan berterima kasih padanya disaat sudah sama-sama dewasa seperti ini. Dan Zean, wajah Zean mengingatkan segalanya walau setiap pertumbuhan wajah seseorang akan selalu berbeda-beda, tapi Liona merasakan sesuatu yang berbeda saat berada di dekatnya.

"Dia Zean bukan Abi. Ya, mereka cuma mirip. Abi gak bakal mungkin perlakuin gue kayak gitu. Abi gak mungkin gak kenal gue."

Suara burung saling berseru. Angin pagi mulai berhembus melalui celah-celah jendela. Lio terbangun dan segera merapihkan dirinya serapih mungkin. Kali ini ia tak berangkat bersama Roy, karena Lio akan ikut sang Ayah menaiki mobil sampai kampus.

Di sana, sudah terlihat Roy dan Hani sedang berdiri di depan kampus. Jam perkuliahan dimulai, mereka mulai masuk ke kelas masing-masing. Belajar dengan semestinya, tak terlebih ngantuk dengan semestinya bagi Liona yang memang sedang terlelap di atas mejanya.

Seseorang menyenggolnya hingga terpingkal kaget.

"Asimilasi adalah sebuah ..." Ia mengigau kaget membuat seisi kelas tertawa.

"Kamu? Ada masalah?" tanya Pak Dosen membuka kacamatanya menatap Liona.

"Nggak Pak, saya lagi ngapal aja, hehe."

Semua orang terkekeh karenanya.

Jam perkuliahan pertama selesai. Lio bersama Hani dan Roy pergi ke kantin. Tentu saja Roy sudah makan dengan seru lebih dulu dari mereka.

"Lo niat kuliah atau niat makan sih Roy? Lo gak sarapan?"

"Udah, tapi kan lapar lagi."

Hani menyeringai sinis.

Beberapa menit menyelesaikan makan siang bersama, Liona baru teringat janji kalau ia akan bertemu Zean di lapangan hari itu masalah jersey yang sempat ia ributkan kemarin dengan Zean.

"Gak, gue gak mau ikut campur. Gue mau minta salinan pelajaran sama si Denis, gue cabut!" Roy menanggalkan jejaknya dari mereka berdua.

Sementara, mata Hani memencar bingung.

"Lo temenin gue!" Liona mendesak Hani.

"Aduh deh, gue ada janji sama Syela buat ngambil flashdisk. Gue duluan!"

Sial, seluruh temannya pergi dan tak mempedulikan dirinya. Jika bukan teman, Lio mungkin tak akan pernah mau mengenal mereka. Tapi hanya mereka lah yang sudah seperti saudara bagi Lio, walau terkadang sikap mereka memang menjengkelkan.

Terpaksa, Liona berjalan menuju lapangan sendirian. Lapangan terlihat sepi, karena tak ada kegiatan UKM di hari senin. Sebentar ia duduk, sebentar ia berdiri di tribun penonton seraya terus memainkan ponselnya.

Waktu berjalan membuang harinya yang sungguh berharga. Ia sudah memasang earphone seraya matanya terus mencari. Efek menunggu, Liona memejamkan matanya sejenak. Ia tertidur duduk dengan earphone masih menempel di telinganya. Suara langkah sepatu membuat matanya terbuka.

OFFICIALLY MISSING YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang