39. Menyusul Kecemasan

411 27 3
                                    

-o0o-

"Bukan karena takut dibenci. Tapi takut kehilangan."

-o0o-

Liona sendiri sampai di parkiran. Ia terburu-buru mengambil helm yang ada di spion motor Roy. Ia memakainya dengan cepat dan menurunkan kaca helmnya untuk menutupi wajahnya. Roy sampai dengan membawa sebuah uang kertas di tangannya.

"Anjir lah, gue ditagih iuran buat latihan. Untung gue bawa recehan. Tolong dong pegangin," ucap Roy menyerahkan sebuah kunci pada Lio karena ia sibuk membuka dompetnya untuk menyimpan uang. Lio belum kunjung mengambil kuncinya membuat Roy menoleh penasaran pada Liona.

"Woi! Lo tidur?" Roy berusaha membuka helm Lio paksa walaupun Lio sempat menolak. Terlihat mata yang tertunduk sendu membuat Roy melotot kaget.

"Lio? Lo kenapa?" Roy panik.

Tak sadar, mata Lio mulai berkaca-kaca membuat Roy semakin penasaran.

"Heh, kenapa lo? Lo kesel nunggu gue ke lapangan?"

Liona menggeleng cepat kepalanya. Ia lantas menghapus sedikit air mata dicelah ujung matanya.

"Gak. Gue tadi kelilipan binatang tuh pas lewat taman. Nih, liat deh ada sesuatu gak di mata gue?" Lio menunjukkan matanya pada Roy.

"Gak ada apa-apa dah. Ah lo abis liat Pak Husni boker kalih."

"Anjir! Buru lah, pengin pulang nih."

Ditengah perjalanan pulang dengan motor, Roy sendiri selalu menatap Lio lewat spion motornya. Roy merasa memang Lio sedang menyembunyikan sesuatu namun untuk saat itu entah kenapa Roy tak berani untuk bertanya ataupun menuduh seperti yang biasa ia lakukan.

"Ada sesuatu yang terjadi sama Liona. Tapi untuk kali ini, gue gak bisa sompral sama dia," batin Roy.

Lio terus menatap pepohonan di setiap jalan yang dilalui. Matanya pun masih terlihat bening bercahaya karena air mata yang tertinggal. Sampai di rumahnya ia membanting perlahan tasnya ke kasur. Ia lantas merebahkan dirinya dengan tengkurap di kasurnya. Bahkan bola yang dulu pernah Zean berikan padanya, masih tergeletak di atas kasur. Lio tatap lama bola itu sampai air matanya mulai menggenang. Lio meraih bola itu ia lantas melemparkannya kasar ke tembok kamarnya. Bolanya memantul lagi sampai mengenai kepalanya. Lio tiba-tiba menangis mengeluarkan air matanya yang sebelumnya menggenang dengan sempurna.

"Kenapa rasanya sakit kayak gini?" Ia terus bergumam dalam batinnya. Peristiwa itu bahkan membuat hatinya terasa sakit. Dan ia pikir juga benar apa yang dibilang Hani dan Roy, akhirnya Lio memang terjebak dalam perasaan masa lalu. Ini bukan lagi soal terbiasa, tapi sudah tak bisa terlepas.

Kedua lutut menopang tangan kekar yang saling mengepal. Matanya terfokus kosong menuju lantai yang ia pijak. Wajahnya mencirikan kecemasan sungguh mendalam. Ia masih teringat dengan peristiwa itu. Bahkan sedetik pun ia tak merasakan pelukan gadis licik macam Delisa. Dan pikirannya hanya terfokus pada pelarian Liona sejak saat itu.

"Gue gak bisa kayak gini," gumam Zean.

Ia melangkah mengambil jaket hitamnya yang tertanggal di kursi belajarnya. Ia mengeluarkan kunci motor dari celananya. Zean bergegas menuruni setiap anak tangga rumahnya. Ia melajukan motornya dengan kecepatan lumayan tinggi. Malam, di balik sebuah helm, mata Zean memicing tajam fokus pada jalan yang ia lalui. Beberapa menit, ketukan pintu terdengar dari luar. Waktu menunjukkan pukul 20.30 malam. Lingkungan itu sudah sangat sepi terlihat. Rumah-rumah pun beberapa sudah menutup pintu rapat-rapat.

Tok tok tok.

Tiga kali ketukan membuat mata Bu Lani terbuka.

"Aduh siapa sih namu malem-malem? Yah, temen kantor kamu mau ke sini? Kenapa gak bilang?" tanya Bu Lani pada Pak Fendi yang masih setia memejamkan matanya.

"Nggak bu, siapa tau cuma iseng," jawab Pak Fendi setengah sadar.

"Siapa sih?" Bu Lani bergegas untuk melihat keluar rumahnya.

"Liona!" Nada panggilan itu bahkan tak asing di pendengaran Bu Lani.

"Lah, itu mah suara si Roy. Ngapain dia malem-malem?"

Dibuka pintu oleh Bu Lani terlihat dua orang pria ada di depan pintu rumahnya.

"Roy?"

"Eh Tante Lani."

"Ada apa Roy malem-malem namu? Cari Liona? Ayo masuk dulu," ucap Bu Lani seraya menyodorkan Roy dan Zean untuk masuk.

"Nggak Tante, maaf ganggu istirahatnya. Saya ada perlu bentar sama Liona. Masalah kuliah sih, sama temen. Dia Zean."

Zean menundukkan setengah kepalanya depan Bu Lani yang menatapnya dengan penasaran.

"Ganteng banget. Jangan-jangan Roy nganterin dia buat ngapel Liona? Tapi ini bukan malem minggu, ah biarin ah," batin Bu Lani.

"Oh iya, duduk dulu di teras. Biar tante panggilin Liona, dia mah jam segini udah tidur biasanya kalau kecapekan."

Roy dan Zean terduduk di kursi teras rumah Liona.

"Hem. Setelah ini, gue serahin semuanya sama lo ya Ze. Bukan apa-apa, gue males jadi cicak yang bersuara kalau orang lagi ngobrol," ucap Roy.

"Makasih banyak bro. Sorry gue ganggu lo malem-malem gini. Gue gak ada akhlak kalau gue ke sini sendirian. Sekali lagi gue minta maaf dan terima kasih."

"Huah. Ucapan orang berpendidikan sama yang pendidikannya labil emang beda ya."

Liona keluar, ia sangat terkejut ketika melihat Zean ada di samping Roy. Zean dan Roy berdiri.

"Roy, ngapain lo ke sini? Zean?" Lio berekspresi datar. Matanya memencar canggung. Roy mendekat pada telinga Liona.

"Dia mau ngomong sesuatu sama lo. Please, kali ini lo jangan bohongin perasaan lo. Gue cabut," bisik Roy. Ia lantas menanggalkan langkahnya untuk pergi pulang.

Zean semakin canggung, ketika hanya mereka berdua yang ada di tempat.

"Ada maksud apa lo Ze?" Liona bertanya gugup.

"Em. Boleh gak ngomongnya di taman aja. Ini baru jam 8, apa lo boleh keluar?"

"Bentar, gue izin dulu."

Liona masuk ke dalam rumahnya. Membuka pintu mengejutkan beberapa orang yang tengah mengintip Liona dan Zean dari jendela. Ada Bu Lani, Pak Fendi, bahkan kak Leo yang turut mengintip Liona saat itu. Mereka terkejut ketika Liona masuk tiba-tiba. Mereka segera merapihkan posisi berdiri mereka menghadap Liona. Liona melotot heran.

"Pada ngapain?" tanya Liona meringis aneh.

"Eh, ehehehe. Nggak kok, kita cuma penasaran aja sama cowok ganteng di depan. Itu pacar kamu ya?" Bu Lani mendekati Lio dengan senyum.

"Bukan! Dia cuma temen kampus Lio."

Seketika ucapan Liona membuat wajah mereka murung dan pergi ke kamar masing-masing dengan super mengantuk.

"Hoaamm. Kirain itu pacar kamu, mau ibu buatin minum sama suruh makan sate buatan ibu tadi sore," ucap Bu Lani seraya menutup mulut yang tengah menguap dengan menaiki setiap anak tangga menuju kamarnya bersama Pak Fendi.

"Kalau beneran, bilang kakak ya Li," ujar kak Leo.

"Lio mau izin ke taman sebentar!" Ucapan Liona menghentikan langkah mereka dan kembali berlari menuju Liona.

"Apaan sih bu, ayah, kak Leo?"

Mata mereka sungguh tajam menatap Liona. Dengan seketika, mereka mendorong Liona untuk keluar dengan cepat.

"Pulangnya jangan larut ya. Pintu, ibu gak kunci." Bu Lani lantas menutup pintu rumahnya dengan rapat.

Lio hanya memasang wajahnya aneh depan Zean.





Please! Tinggalkan vote, saran, juga komennya. Tengkiyuuuu

OFFICIALLY MISSING YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang