Ruangan praktek terlihat sepi, mereka jadikan untuk tempat interogasi seorang Hendra.
"Hendra?"
"Ampun Ze. Gue minta maaf. Gue berdosa sama lo."
Seketika Hendra bertekuk lutut depan Zean membuat semua terheran.
"Dosa apa lo sama gue?" Zean bertanya santai namun rasanya ia hanya menahan sedikit amarahnya kala itu.
"Di mana Rizal sama banditnya sekarang?" Zean masih bertanya santai.
"Gue gak tau. Ze, lo gak pukul gue? Atau sekalian lo gak matiin gue? Gue udah bikin lo difitnah semua orang. Jabatan BEM lo dicabut itu semua gara-gara gue. Hukum gue Ze. Gue janji akan segera pindah kampus!"
Gion yang amarahnya sudah memuncak ingin segera meninju Hendra dengan lengan kekarnya. Namun terhenti karena Zean menahan itu semua.
"Semua udah berlalu, gue maafin lo. Gak usah pindah kampus. Jalanin aja hidup lo lebih baik." Ucapan Zean mengejutkan semuanya. Tak terlebih Liona sendiri.
"Lo terlalu santai. Ini masalah besar yang nyangkut harga diri lo Ze!" Yuda mulai angkat bicara.
"Please. Jangan penjarain gue. Gue kerja demi lulus. Mama gue tinggal sendiri. Gue cuma bisa ngandelin keahlian gue buat makan. Gue mohon!"
"Udah salah bacot lagi lo anjing!" Gion lagi-lagi kesal.
"STOP! Kalian udah dewasa. Selesain masalah tuh pake ini." Zean menunjuk kepalanya dengan tegas. Hendra membawa Zean pergi menemui Rizal, orang yang disebut Hendra adalah salah satu unsur utama pemitnah Zean. Ia juga belum lama diberi mandat oleh mahasiswa menjadi BEM Suardana. Menjijikan. Itu kata yang Zean sematkan pada Rizal. Ia seperti buah yang menipu. Bagus di luar namun busuk di dalam.
"Gue udah duga. Tapi gue gak mau suuzon."
Roy mengajak Lio dan Hani pergi dari urusan Zean.
"Lo kenapa Li? Udah lah biar mereka aja yang urus. Kita mah cukup tau aja," ucap Roy santai.
"Bener kata Roy. Dari pada ikutan, nanti kita ikut ke dalam masalah lagi. Kita kan gak tau apa-apa," timpal Hani.
Lio masih melamun datar memfokuskan penglihatannya ke dasar tanah. Ia mengingat kembali semua masa kelamnya ketika sekolah dasar kelas 6. Lio sempat dituduh pencopet oleh teman sebangkunya. Dulu ia memang super aktif. Ketika lengah, seorang anak menjebaknya dengan menaruh uang temannya ke dalam tas milik Lio. Sungguh, Lio yang masih polos tak tahu apapun, dicaci, dimaki oleh teman sebayanya.
"Maling, Maling, Maling."
Ia tahu bagaimana rasanya dikelilingi teman yang merutuki dirinya. Sampai Bu Guru datang untuk menyelamatkannya.
"Lio kalau kamu gak punya uang, kamu bisa bilang ibu."
Perkataan itu yang menyakitkan Liona kecil. Dulu Ayahnya hanya seorang petani singkong di kebun tetangga. Uang jajan saja Lio hanya cukup untuk membeli satu buah roti.
"Saya memang miskin bu. Tapi saya gak pernah diajarin buat ambil milik orang lain."
Beberapa flashback yang Lio rasakan, sama halnya seperti yang Zean alami ketika ia baru di masa-masa perkuliahan.
"Fitnah itu kejam Han. Itu gak baik."
"Kita tau. Tapi itu urusan orang. Gue liat Zean pun biasa-biasa aja udah malah maafin Si Hendra. Gue tau Zean pasti nyelesaian masalahnya dengan baik."
"Gue gak yakin Zean baik-baik aja. Dia cuma jaga citra di depan semua orang," batin Lio.
Pertemuan Zean lakukan. Kali ini Rizal hanya bersikap seperti biasa saja. Ia menyambut Zean dan pikirnya hanya akan membahas perihal program organisasi kampus.
KAMU SEDANG MEMBACA
OFFICIALLY MISSING YOU
Teen FictionHilang dan Rindu. Dua kata berbeda, tapi memiliki makna yang sama. Kehilangan. Itulah yang dirasakan Liona, mahasiswi Sosiologi yang tengah merasakan kilas balik saat bertemu dengan mahasiswa calon dokter bernama Zean. Pingsannya Liona di lapangan b...