2020, menjadi tahun yang akan menjadi saksi kesuksesan dalam karir seorang gadis. Dia nampak terus resah di dalam ruangan nya. Matanya tak fokus memandang hasil dari penelitiannya. Dia membacanya berulang kali namun tetap terkalahkan dengan rasa gugupnya.
Dunia seperti tak berpihak dengan ya saat ini. Seorang yang selalu dihindarinya kini berdiri dihadapannya dengan senyum jahil yang membuatnya jengah. Dia pun memilih duduk di kursi kebesarannya dan melempar asal berkas hasil penelitiannya. Rasa pasrah akan hasil presentasi nya nanti biarlah tak perlu difikirkan.
"Dokter cantikku ini kenapa? Gugup?"ucap seorang yang sejak beberapa saat lalu menatapnya dengan senyum jahil. Gadis itu hanya mendengus.
"Lo mau tau satu hal gak Rin?!"ucap Gadis tersebut dengan nada sedikit sebal.
"What? Tell me"ucap seorang yang di panggil Rin dengan senyum jahil yang terus terpatri di wajah bulat nya.
"Lo ngerusak pemandangan gue. Pergi Lo dari ruangan gue!!"tegas Gadis tersebut yang sudah jengah dengan wanita dihadapannya tersebut.
"Weee... Stay calm my friend. Gue cuma mau kasih tau aja kalau Mentri Kesehatan termuda kita bakal datang di seminar Lo nanti"ucap Wanita tersebut.
"So? Masalah buat gue? Gk penting juga. Cari muka aja sih tuh pimpinan negara. Udahlah pergi Sono Lo!! Info lo unfaedah. Gue mau sholat Dhuha dulu"ucap Gadis tersebut dengan mendorong paksa wanita yang masih tersenyum jahil ke arahnya.
"Eits.. Lo gak lupa sama tuh Mentri kan? Secara dia dulu...upsss"ucap Wanita tersebut terhenti karena gadis itu mendorongnya keluar dengan membungkam mulut wanita tersebut dengan roti yang disiapkan oleh sekretaris nya pagi tadi.
"Woyyy"teriak protes wanita tersebut menggedor pintu yang tertutup rapat.
Gadis itu mendesah lega dan bergegas untuk mengambil wudhu dan sholat Sunnah Dhuha yang selalu menjadi rutinitas di sela kesibukannya. Seusai sholat pikirannya kembali ke masa kuliah nya dulu. Sudah tujuh tahun berlalu dan kini akan kembali dipertemukan oleh seorang yang dulu dikagumi olehnya. Dia pun bergegas melepas mukenah nya dan kembali mengenakan hijab besar nya serta snelli putih kebanggaan nya.
Dia terus berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju aula auditorium rumah sakit. Sudah empat tahun lebih dia menghabiskan hampir seluruh waktu nya di rumah sakit ini. Bahkan orang tua nya akan menjemput dirinya disini jika selama seminggu lebih tak kembali ke rumah karena kesibukannya.
"Dr. Liana!"panggil seseorang membuatnya menghentikan langkahnya. Dia tersenyum melihat seorang pria yang berlari menghampiri dirinya.
"Huh.... Akhirnya ketemu dokter"ucap Pria tersebut dengan senyum lega.
"Ada apa Dr. Kenan? Sampai seperti itu mencari-cari saya"ucap Liana dengan senyum ramah seperti biasanya.
Kesempurnaan wanita mana lagi yang tak ada di hadapan Kenan saat ini. Wanita cantik, cerdas, dan juga baik hati. Kenan mengatur nafasnya dan berdiri tegap mensejajarkan pandangan matanya dengan wanita dihadapannya. Sedangkan yang di tatap hanya mengangkat sebelah alisnya heran.
"Saya cuma mau ucapin selamat buat penelitian dokter yang sukses. Saya juga mau memberikan dokter semangat buat presentasi nya nanti"ucap Kenan dengan kedua tangannya yang dikepal dihadapan Liana. Liana tersenyum dan mengangguk.
"Makasih, kalau begitu saya permisi dulu"ucap Liana yang langsung kembali melanjutkan langkah kakinya menuju aula auditorium rumah sakit.
"Dokter Semangat"teriak Kenan membuat Liana menggeleng tak percaya dengan sikap dokter residen tersebut.
Liana melihat seorang pria yang berdiri didepan pintu masuk dengan beberapa bodyguard yang setia mengikutinya. Liana menghentikan langkahnya dan mengatur mimik wajahnya. Liana kembali melanjutkan langkahnya dengan sangat percaya diri. Dia berdiri dan menyapa beberapa kolega dan jajaran pemimpin rumah sakit. Liana sengaja menghindar dari seorang yang kini menatapnya dengan tatapan yang aneh.
KAMU SEDANG MEMBACA
The White Lie
Romance#1Kesehatan #1Rohman #2Mentri #4Pemerintahan # 768kenangan # 11pemerintahan Hati ku tak berani mengatakan yang sebenarnya. Aku takut akan kembali tersakiti -liana Aku hanya seorang manusia biasa. Maaf jika dulu aku menyakiti hati mu. Tak bisakah kau...