Bab 7

86 3 0
                                    

Sudah hampir dua bulan aku disibukkan dengan pembahasan program terkait pengobatan gratis yang akan diberlakukan beberapa bulan lagi. Program ini disetujui dengan syarat hanya 100 pasien dalam seminggu dan memang membutuhkan penanganan medis. Aku sangat ingin seperti di negara maju lainnya yang memiliki tim penyelamat seperti 911. Masih banyak program yang ingin ku laksanakan. Namun aku merasa sebentar lagi akan turun dari jabatan ini. Aku belum resmi menjabat sebagai menteri sampai presiden baru dilantik dan kemungkinan untuk diriku ikut dilantik sebagai menteri hanya 10%. Jika itu terjadi aku yakin ayah akan memintaku untuk bekerja sebagai direktur rumah sakit menggantikan posisinya.

"Pak, sebaiknya anda beristirahat. Sudah sebulan ini anda bekerja keras menyusun segalanya. Sudah tidak ada yang perlu dilakukan lagi pak"ucap Sekretaris ku. Aku pun mengangguk dan merasa sedikit pusing. Sepertinya aku akan demam jika masih memaksakan diri.

"Baiklah, aku akan pulang. Kau bisa pulang juga. Terima kasih"

"Baik pak terima kasih juga"jawab sekretaris ku. Aku melangkah dengan gontai membawa jas dan tas kerjaku. Aku menuju parkiran dan mengarahkan ke suatu tempat yang ingin ku kunjungi beberapa hari ini namun belum sempat. Aku melihat papan nama rumah sakit yang dibangun dengan kerja keras oleh kakek buyut ku. Aku melangkah menuju paviliun anggrek tempat rawat inap anak. Sesampainya di depan ruangan yang kutuju aku mengetuknya beberapa kali. Saat ini pukul 4 sore. Apakah jam praktik dia sudah selesai? Pikirku terus mengetuk pintu dihadapanku. Sampai akhirnya pintu pun terbuka manampilkan gadis yang beberapa hari ini ku rindu.

"Hi"sapa Ku pelan.

"Arya, kau gak papa? Wajahmu sangat pucat"ucap gadis di depanku. Wajahnya yang masih mengenakan mukena membuatnya tampak begitu cerah. Aku diam tak menyahuti ucapannya sampai akhirnya aku tak tau apa yang terjadi dengan tubuhku.

🦠

Gadis itu menatap pria yang kini berbaring di sofa ruangannya dengan gundah. Pria yang tiba-tiba hadir dengan wajah seperti mayat hidup. Gadis itu kembali mengambil kain di kepala pria tersebut dan membasahinya dengan air lalu memerasnya dan kembali meletakkan di kening pria tersebut. Dia memeriksa suhu pria tersebut dengan termometer dan mendesah lelah. Dia membenarkan selimut yang menutupi tubuh pria tersebut.

"Assalamualaikum..."ucap Seorang gadis yang langsung terbungkam melihat pria di ruangan yang dimasukinya.

"Kok ada dia Li?"tanya gadis tersebut.

"Gak tau Rin, tadi tiba-tiba Arya di depan ruangan gue. Pas gue buka dia udah kayak mayat hidup terus pingsan. Mana udah gak ada orang lagi. Alhasil gue bawa dia masuk dan Baringin dia di sofa deh. Suhu badannya tinggi banget Rin 38,5 diagnosis gue dia kelelahan, dan dehidrasi akut. Gue juga liat gejala tifus. Gue mau pasang dia infus tapi Mutia udah balik dan masa iya gue pasang infus di ruangan gue"jelas Liana kepada Arin dengan sedikit khawatir.

"Gak papa, gue ambil peralatan nya dulu"

"Ya udah mineral dan nacl saja Rin"ucap Liana yang diangguki oleh Arin. Arin pun bergegas keluar dari ruangan Liana dan mencari semua peralatan yang dibutuhkannya. Dia juga membawa tiang infus bersamanya. Lalu bergegas kembali ke ruangan Liana.

"Nih Lin"ucap Arin menyodorkan semuanya.

Liana langsung memasang handscone nya dan mencari pembuluh darah di punggung tangan Arya. Setelah ketemu dia langsung menusukkannya dan menutupnya di tempat yang sama dengan plester. Liana mengatur kecepatan transfusi cairan infus dan membiarkan Arya beristirahat. Tak lama pintunya kembali terbuka menampilkan sosok pria yang rapi dengan jas hitam yang membungkus tubuh kekarnya.

The White LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang