Seminggu berlalu tanpa ada kabar dari mereka yang pergi tanpa kata perpisahan. Wajah cerah yang biasa terlukis indah pada gadis itu kian sirna. Kedua sahabatnya hanya mampu menatap gadis tersebut dengan sendu. Mereka merasakan kesedihan tersebut, tetapi pukulan terberat hanya dialami oleh gadis tersebut.
"Liana.... Istirahatlah, sudah lima hari kau berkutat dengan pekerjaan rumah sakit"ucap Dian yang duduk di sisi kiri sofa menatap Liana yang tetap berkutat dengan berkas pasien.
"Li...."panggil Arin yang sudah berdiri di depan meja kerja Liana.
"Aku tak apa, kalian juga kerjakanlah pekerjaan kalian"jawab Liana sekilas mengalihkan dirinya hanya untuk menjawab kedua sahabatnya.
"Kau tau ini bukan salahmu kan!!"sahut Arin yang menatap Liana dengan mata yang sudah berair.
"Arin... Tenanglah...."ucap Dian yang mendudukkan sahabatnya ke kursi. Liana terdiam sekejap namun kembali menyibukkan dirinya dengan berkas-berkas di meja kerjanya.
"Dian, bawa Arin ke ruangannya. Aku perlu ruang sendiri saat ini. Aku baik-baik saja. Kalian bisa tinggalkan aku sendiri"ucap Liana membuat Arin menatapnya terkejut dan langsung kembali berdiri melemparkan semua berkas di meja Liana. Kini lantai ruang kerja Liana penuh dengan berkas pasien yang berserakan.
"Kerjakan! Terus sibukan diri Lo sama berkas pasien sialan tersebut!! Siksa terus tubuh lemah Lo itu!!"teriak Arin meluapkan semua ucapan yang memberikan rasa sesak di dadanya.
"Arin...."ucap Dian mencoba menenangkan sahabatnya.
"Keluarlah"ucap Liana begitu tenang, namun, isi hatinya menunjukkan sikap yang berlawanan. Kedua tangannya terkepal erat hingga membuat kulit tangannya memutih.
"Huh?!"sahut Arin begitu tak percaya dengan sikap yang diberikan sahabatnya tersebut.
"Arin... Kita keluar dulu. Biar gue yang ngomong sama Liana. Sekarang kita keluar kasih waktu sendiri untuk Liana ya...."ucap Dian yang menarik Arin untuk segera keluar dari ruang kerja Liana.
Saat keluar mereka berpapasan dengan Husein yang sama tampak kacau seperti Liana.
"Kalian kenapa?"tanya Husein ketika melihat raut wajah Arin yang merah padam dan matanya yang sudah berair.
"Kak Husein tolong temui Liana. Biar Dian nenangin Arin dulu"ucap Dian yang diangguki Husein tanpa bantahan.
Husein pun masuk ke dalam ruangan Liana dan melihat gadis tersebut tengah mengambil kertas-kertas yang berserakan di lantai. Husein pun bergegas membantu Liana hingga dirinya dikejutkan dengan Liana yang terdiam menjatuhkan kembali kertas yang sudah ada di tangannya.
Isak tangis terdengar begitu memilukan. Husein pun tak mampu menggerakkan tubuhnya untuk menghampiri Liana. Husein sangat paham apa yang dirasakan oleh Liana. Semua berlangsung hampir setengah jam. Husein pun menghampiri Liana yang sudah sedikit reda dari tangisnya. Dia membawa tubuh Liana untuk duduk di sofa dan bergegas mengumpulkan kertas-kertas yang berserakan.
"Kau masih memikirkannya?"tanya Husein yang kini duduk di samping Liana.
"Apa kau masih belum menemukan mereka?"tanya Liana membuat Husein terdiam. Husein pun menggeleng dan kembali berfikir bahwa rumor pandemic yang kembali beredar pasti ada sangkut paut dengan sahabat-sahabatnya yang menghilang.
"Aku belum tau, tapi bayu bersama dengan menteri kesehatan yang saat ini menggantikan Arya akan membuktikan bahwa rumor yang beredar saat ini dapat dibantahkan"jelas Husein menatap Liana penuh perhatian.
"pasien ku sangat banyak, kakak bisa pergi melihat kondisi kak bayu. Liana akan pergi ke suatu tempat dahulu"ucap Liana yang beranjak bangun menuju kursinya namun kembali terduduk membuat Husein dengan sigap menahan tubuhnya yang hampir terjatuh membentur meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
The White Lie
Romance#1Kesehatan #1Rohman #2Mentri #4Pemerintahan # 768kenangan # 11pemerintahan Hati ku tak berani mengatakan yang sebenarnya. Aku takut akan kembali tersakiti -liana Aku hanya seorang manusia biasa. Maaf jika dulu aku menyakiti hati mu. Tak bisakah kau...