Bab 12

81 2 0
                                    

Dokter memang selalu mendapat pujian sebagai penyelamat, dan dokter sering diartikan sebagai Dewa Kematian. Yah, semuanya hanya pemikiran prespektif manusia. Dokter hanyalah manusia, seorang dokter tak akan mampu menyelamatkan seorang pasien tanpa kehendak Tuhan Yang Kuasa. Aku menyadari hal itu saat kematian Umi dan Abi. Meski operasi berjalan lancar dan tepat waktu dibawa ke rumah sakit. Mereka tetap kembali menuju Langit meninggalkan jasad yang membujur kaku. Hal itu karena Allah yang memutuskan untuk tetap memerintahkan malaikat Izrail membawa pergi arwah Umi dan Abi. Jodoh dan Maut telah Allah tetapkan sejak seorang manusia berumur 40 hari dalam kandungan ibunya. Penetapan kesedihan dan kebahagiannya.

Tetapi, ada dua jenis takdir. Takdir yang tak dapat diubah bagaimanapun caranya. Kemudian takdir yang dapat diubah dengan ketekunan dan ikhtiar yang tekun. Aku pun sampai dititik ini tidak mudah. Aku melawan takdir sebagai pewaris restauran umi. Aku memilih untuk menjadi seorang dokter. Terkadang aku merasa bahagia, namun lebih banyak sedih yang kudapatkan dalam pekerjaan ini. Setiap harinya akan ada seorang yang meninggal di sekitarku. Setiap hari akan mendengar tangisan keluarga pasien. Setiap detik pun tak luput dari rintihan kesakitan para pasien.

Menyesal?, Tidak sama sekali aku menyesal. Aku hanya merasa marah kepada diriku. Marah ketika diriku tak bisa berbuat apapun untuk menyelamatkan seorang pasien. Aku marah kepada diriku jika tak mampu menyelamatkan pasien. Aku marah kepada diriku jika tangisan kembali terdengar di telingaku.

"Liana?"panggil seseorang menyentuh pundak ku lembut.

"Arya?!"sahutKu menatapnya sendu.

"Kau masih memikirkan permintaan ku? Maaf aku terkesan memaksamu. Kumohon lupakan saja permintaan. Seharusnya aku lebih paham akan prosedur rumah sakit"ucap Arya menyodorkan segelas kopi kepadaku. Aku menatapnya ragu menerima segelas kopi tersebut.

"Minumlah, aku membeli terlalu banyak kopi"sodor Arya membuatku menerima minuman tersebut dan menyeruputnya sedikit demi sedikit.

"Jadi kau dan Husein adalah saudara jauh?"tanya Arya membuatku terkejut.

"Kak Rohman tak pernah mengatakan kepadamu?"tanya Ku kepada Arya yang dijawab gelengan olehnya.

"Kakakmu marah kepadaku karena kejadian ketika aku memaki dirimu di depan umum dulu"jelas Arya membuatku menggeleng mendengar bagaimana Kak Rohman begitu sayang kepada diriku yang terkadang masih sering merepotkan dirinya.

"Ya, kau sangat keterlaluan. Bahkan kemarin kau dengan entengnya menurunkan diriku di jalan antah berantah yang bahkan minim sekali penerangan?!"sungut ku kembali mengingat kejadian kemarin malam yang membuatku ingin menggorok leher pria di sampingku ini.

"Aku boleh bertanya sesuatu Li?"izin Arya membuatku menatapnya dengan sebelah alis yang terangkat.

"bukankah dari tadi kau sudah bertanya?!"

"ah... iya juga"ucap Arya membuatku menggeleng tak percaya dengan sikapnya yang seperti ini. Bagaimana dia mengurus negara ini sebagai menteri.

"tenang saja, aku hanya gugup jika bertemu denganmu. Aku ingin bertanya kenapa kau ingin memilih menjadi dokter anak?"tanya Arya

"entahlah..."

"Aku sungguh tak tau banyak tentangmu daripada husein"ucap Arya membuatku menatapnya dengan tanya.

"maksudmu?"

"sudahlah lupakan saja"

"aneh"ucapku yang dibalasnya dengan senyum

"kau ingin pulang? ayo ku antar"ucap Arya berdiri menatapku yang masih duduk di kursi.

"Aku berniat bermalam di rumah sakit, jika kau ingin pulang. pergilah. bukankah akan ada rapat dewan tentang virus baru bernama flu babi?!"ucap Ku membuatnya menatapku terkejut.

The White LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang