Efflorescence 26

438 81 48
                                    

Efflorescence

Story by: Fi (@Polaris183)
Length : Chaptered

Warn! BxB area! Homophobic? Saya tidak sarankan baca!

VKook (V/Kim Taehyung x Jeon Jungkook)

V/Taehyung sentris!

INI ISINYA BELIBET SEBELIBET PIKIRANKU...
Mohon dimaklumi, pemirsa...

______________________

Pukul sembilan pagi lebih beberapa menit kiranya saya parkirkan mobil di taman kota. Taman yang tak begitu besar sebenarnya, tapi asri pepohonaan di tengah padatnya kota jelas akan mengundang atensi.

Saat keluar,saya tak langsung langkahkan kaki menuju bangku taman. Tempat spesifik yang dikirim Mingyu melalui pesan yang langsung saya hapus riwayatnya sebelum Jungkook terbangun. Saya mampir dulu ke kedai kopi, memesan satu kap kopi americano untuk menambah energi saya sebelum baku hantam nanti.

Barulah setelah saya sesap segarnya likuid hitam itu, saya celingukan mencari seonggok daging yang syukurnya hidup bernama Mingyu.

Ketemu. Surai cokelat berpotongan undercut miliknya sungguh mudah dikenali selain dengan tubuh semenjulang tower sebagai ciri, meski ia tengah duduk, tetap saja tingginya tak seperti orang kebanyakan. Dengan tenang, saya duduk di sampingnya. Mantel panjang saya rapatkan, rambut saya sugar dengan sebelah tangan.

Beberapa puluh detik saya tunggu sampai akhirnya si idiot menganggap presensi saya.

Dia melotot, begitu yang dia dapati bukanlah Jungkook, tapi masa depan si manis Jeon. Saya yang tampil tampan, segar, mempesona ini bagai oase di tengah gurun.

Dia terperanjat. "K-KAU!" teriaknya sembari menunjuk saya serupa tunjuk setan. Sialan betul.

"Apa? Kaget?"

Dengan gerakan lamat, saya sesap kopi. Mata saya masih lurus menatapi jungkat-jungkit yang bergerak konstan naik turun membosankan, dengan dua orang anak kecil yang tertawa lepas menaikinya. Biar keren begitu. Dan yaah... saya memang keren, terbukti dari beberapa pasang mata kaum hawa yang tak henti menatap. Kacamata hitam yang saya ambil diam-diam dari meja kerja ayah, semakin meningkatkan kuat jerat pesona saya.

Oh Jungkook sayang, kamu beruntung dapatkan kekasih seganteng dan sekeren saya.

"Mana Jungkook?!"

Saya tergelak mendengar todongannya yang terlalu tergesa. Kap kopi saya yang telah kosong melayang tepat ke dahinya, saya lempar gelas kertas itu dengan lagak mengejek. Dia mengaduh, hah, dasar payah dasar lemah! Yang begini berani-beraninya sakiti belahan jiwa saya. Cih, tidak lucu.

"Aaah... Jungkook," saya manggut-manggut, benarkan posisi duduk untuk menghadap dia, "kenapa tanya dia? Ada urusannya dia ada di mana?"

"Ya jelas ada! Aku mencari barang milikku, tahu!"

Si kusam tampakkan raut garang, mungkin di benaknya agar saya bisa jadi kucing kecil penurut saat dihadapkan wajah kembaran herder begitu. Maaf saja, saya memang akan jadi kucing, tapi bukan kucing kampung apalagi anggora atau persia. Saya maunya transformasi jadi macan. Masa iya sudah keren mentereng begini disamakan dengan hewan cantik elit macam itu sih? Kalau istri Jimin pantas, jelmaan kucing soalnya. Omong-omong, saya jadi kangen sohib miring saya itu. Apa kabar dia, masih napas tidak ya...

Aduh, sepertinya sepulang dari sini saya harus temui terapis untuk benarkan otak yang sukanya melenceng di situasi segenting ini. Malah merembet ke Jimin segala.

"Hei Mingyu,"

"APA!" dia ngegas, mau saya gilas rasanya.

"Jungkook bukan barang. Apalagi milikmu, cuih! Orang bejat macam kamu mana bisa dapat bidadari begitu? Heheh..." saya terkekeh, "Tolong dong, itu wajah kusam cerahkan dulu... Bhahahaha! Mau saya belikan pemutih, tidak?"

Tak heran kalau Jeonggyu sukanya main petasan. Soalnya sulit-menyulut api memang sebegitu asyik rasanya. Apalagi menyulut api amarah orang. Hahaha... saya terpingkal sampai membungkuk-bungkuk. Abaikan saja tatapan Mingyu yang seakan mau telan saya bulat-bulat itu.

Ingat bulat-bulat, saya jadi ingat asetnya Jungkook. Bulatnya pas keterlaluan kalau ditangkup.

Buagh!

"ADOOH!"

Rahang saya nyut-nyutan seketika. Dia ini ganas juga. Saya langsung kena bogem mentahnya, sampai rahang terasa mau patah. Beberapa orang sempat berhenti, menilik ada apa dengan rasa penasaran tinggi tanpa berniat ikut campur sama sekali. Yah, namanya juga manusia, makhluk sosial yang semakin hari titelnya tergerus individualis. Mereka akan pilih menjauh daripada ikut kena getah masalah orang.

Masa bodoh, saya tak peduli juga.

Anyir darah terasa penuhi pengecap, lengkap dengan asinnya rasa besi sebagai pelengkap. Saya tertawa, sarkastik kental terasa. Hati saya mulai panas, tak cuma di permukaannya saja, tapi merasuk ke dalam sampai sumbernya.

Saya yang tersungkur di kursi lantas bangkit. Meludahkan merah, lantas tersenyum dengan begitu jumawa. Kacamata pinjaman saya taruh di bawah kursi. Kalau patah bahaya, itu kacamata yang terbeli dari gaji pertama ayah. Bayangkan saja betapa antik benda hitam tersebut. Saya tak mau ambil resiko diamuk ayah.

Tangan saya yang sudah terkepal begitu kuat langsung saya hantamkan padanya tanpa prediksi. Dia tadinya tengah mendumel, mengejek saya yang katanya cuma menang omong. Heh! Saya dengar loh, meski dia mendumel pelan tak terbaca begitu.

Dia balik tersungkur, sampai jatuh terjungkal ke tanah. Tak mau lewatkan kesempatan, saya langsung menendang pinggangnya sampai dia rusuh mengaduh. Begitu ia telentang, saya menduduki perutnya, menghantam kepalanya berulang dengan kepalan tangan.

Rahang saya dia pukul balik sekuat tenaga, tapi saya tak ada waktu guna rasakan sakitnya. Kalau masalah berantem begini, sejujurnya teknik taekwondo yang menurut saya berguna cuma perkara kunci mengunci. Lainnya saya gunakan prinsip rimba. Asal pukul asal hidup. Begini-begini, saya pernah jadi pentolan SMA bersama si gila Jimin, Hoseok dan Namjoon. Menjadi pemungkas kesiangan kalau sekolah kami dan sekolah lawan tengah tawuran.

Ingatlah, sebijak apapun seseorang hidup, dia pasti mengalami apa yang namanya kenakalan semasa remaja. Yah, namanya juga remaja, apalah hidup tanpa kenakalan dan pemberontakan. Bukan hidup itu namanya.

Kami terus menerus berkelahi. Abaikan kerumunan yang semakin bertambah semakin saya brutal menghajar. Mingyu tak lagi mampu balas, dia cuma sibuk melindungi diri dari amarah saya.

Saya, sekalipun tak pernah mau main-main dengan ucapan. Apalagi kalau itu menyangkut kekasih hati. Kalau saya bilang mau hajar habis, maka itu yang akan saya lakukan sepenuh hati.

"Hh.. hh! Dengar Mingyu!" dengan napas terengah, ditambah satu pukulan pemungkas di pelipisnya, saya menghardik, "Jauhi Jungkook! Untuk selamanya! Sekali saja kamu dekati dia lagi, mungkin saya tak akan sebaik ini mengampunimu, bangsat! Saya akn langsung membunuhmu! Paham kamu?!"

Dia mengais napas susah payah. Terus berkata ampun dengan suara serak sarat sakitnya.

Saya bangkit menyingkir, merasa sudah cukup menjerakannya yang tak tahu diri ini. Menekuk jemari beberapa kali guna biasakan otot-otot yang sejak tadi mengaku, saya berlalu. Meninggalkan Mingyu yang terkapar tak berdaya dikerumuni khalayak.

Berjalan menuju mobil, tak lupa teleponkan ambulans untuk mengurus si keparat itu. Saya baikkan?

Kalau setelah habis terkapar dengan tulang retak semua begitu dia masih berani dekati Jungkook, percayalah sekali lagi, kalau saya tak akan pernah bermain dengan kata-kata.


※Efflorescence※

Tbc.

Haduuh... apa-apaan banget chapter ini...

Maaf, aku tau ini jelek banget, but at least, aku udah usaha ngetik ditengah mood nulisku yang belum sama sekali membaik. Buat siapa? Buat kalian. Buat sedikit kasih hiburan selama kalian #dirumahaja gitu.

Maaf kalau adegannya maksa. Tapi jangan sampai kalian pelit vote gara-gara part nggak jelas ini ya...

Aku sayang kalian, dan aku tau kok kalian nggak sayang aku hahaha....

Efflorescence |VKook/TaekookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang