1. Tantrum

48.7K 1.8K 37
                                    

Sepagian sudah teriak-teriak, sudah mengajar 2 shift, sudah joget-joget kayak uget-uget. Rasanya perut Avel udah berteriak sekalian para cacingnya. Cuma duduk diam bernapas saja memerlukan energi apalagi dia yang fisik juga otak bekerja keras sejak pagi sekali. Begini amat ternyata kerja jadi Caregiver di sekolah playgroup begitu. Menyenangkan, cuma ya pegel.

Makan siangnya sudah mengepul di depannya, sebungkus nasi pecel beli di warung tenda depan ni memang mantap, rada mahal sih bagi kantong Avel yang mahasiswa dengan kantong pas-pasan. Ya gimana, emang lokasinya di kawasan rada elit, sadar diri ajalah ya. Dari pada tidak makan itu akan lebih tidak sehat lagi. Mau masak juga mana bisa, tak ada niat soalnya.

"Uwaaaaaaaaaa ... !!"

Baru juga sesendok nasi masuk mulutnya, telinganya sudah berdenging nging-nging sama jeritan yang kencang ngalahin pterodactyl yang sedang konser barengan sama Dimash Kudaibergen. Harusnya semua anak sudah pulang mengingat kelas usai sudah lebih dari satu jam yang lalu. Kenapa masih ada yang nyangsang di sini.

Duh Gusti apa lagi, keluh Avel.

"Da apa?" tanya Avel.

"Cheryl, ngamuk." Jawab Marsha.

"Belum di jemput juga ... ?" tanya Avek heran.

"Belum, kasian amat itu anak. Udah pulang sejak setengah jam yang lalu bapaknya belum datang juga." Marsha menggeleng saja.

"Dia sama siapa ... ?" tanya Avel yang mau makan tapi gagal terus.

"Vika." Marsha dengan cuek menjawab.

Avel menyendok lagi nasi pecelnya, tapi raungan bocah semakin kencang, tidak ketelen rasanya nasi Avel. Emang bukan anak dia, bukan bocah yang dia pegang. Tapi kalo ada yang jerit-jerit gitu kok ya tetap tidak tega. Avel membungkus lagi nasi pecelnya dan meninggalkan ruang makan.

"Mana lu Vel ... ?" tanya Marsha.

"Ngintip tu bocah, kasian." Jawab Avel.

Dan benar saja. Si bocah kecil dari kelas Nursery itu sudah guling-guling di lantai. Kebijakan sekolah sih kalo ada yang begini sarannya dibiarin aja. Baru ntar kalo tenang di ajak ngomong. Tapi kok ya tidak tega. Lagipula dia menangis bukan karena minta sesuatu tidak keturutan, tapi memang kesal dan tak nyaman menunggu bapaknya yang tak kunjung datang.

"Biar dia gue temenin deh Vik, lu makan siang aja dulu." Kata Avel.

"Makasih banget lo Vel. Tau aja gue kelaperan dari tadi. Bapaknya lama amat ga jemput-jemput." Vika tidak berhenti mengomel sambil pergi ke ruang makan.

Itu bocah pakai seragam one piece warna kuning, kedua rambutnya dikuncir lucu banget. Kulitnya bersih, pipinya gemesin, sayangnya sekarang lagi guling-guling. Avel menghela napas panjang, anak orang begini amat. Seperti ini orang tuanya bagaimana, apa tidak kepikiran menjemput hingga setelat ini. Ya kali dia bersama nanny, ini cuma dia sendiri.

"Cheryl ... you done ... ?" sapa Avel pelan-pelan.

Anehnya tangis itu mereda, si bocah melirik ke arah Avel yang jongkok di sebelahnya, mata Cheryl yang basah terlihat memelas sambil bibirnya manyun-manyun mencebik. Dia baru berusia dua tahun entah lebih berapa bulan, bukan anaknya jadi mana tahu. Pokoknya kelas nursery ya berarti dua tahun lebih sekian.

Sudah naluri, memandang seorang bocah pasti akan muncul simpati dan rasa ingin menyayangi. Anak kecil ini begitu memelas bersimpuh di atas lantai yang dingin. Yang Avel tahu dia selalu dijemput bapaknya, terkadang ada Oma tapi sepertinya jarang. Lah emaknya ada di mana, mungkin sibuk.

Rata-rata siswa di sini adalah putra dan putri konglomerat mengingat uang bulanan yang harus dibayarkan adalah sekian nganu. Baiklah mungkin sibuk. Tidak seperti dirinya yang setelah bekerja hanya diisi dengan rebahan, atau gibah mungkin dengan tetangga kos.

"Come on Cheryl, up...!" ajak Avel.

Si bocah bangun, masih terisak-isak dia duduk dan mengucek matanya, tapi kemudian tangannya diulurkan kepada Avel. Yahhh minta gendong.
Aturan sekolah sih tidak menyarankan menggendong murid ya, bukannya apa-apa. Murid ada puluhan, kalo keenakan ada yang minta gendong si Caregiver atau gurunya bisa pegel, dan lagi emang disitu dilatih buat mandiri dan disiplin. Bukan bermanja.

Lagi-lagi Avel ga tega, akhirnya dia meraih badan si Cheryl dan menenangkan si bocah dalam pelukannya. Gendong bocah ternyata adem banget di ati. Aromanya itu loh, bikin gemes. Si bocah nemplok di pelukan Avel. Masih dengan sedikit isaknya, tapi sudah diam. Ini bocah cantik gini kok disia-siakan toh ya. Sayang banget. Keluarganya keterlaluan banget.

"Maaf Miss, saya terlambat, lagi....!" Terdengar suara seorang pria.

Avel menoleh, datang juga akhirnya, dari tadi kek pak. "Lain kali jangan telat pak yah, kasian Cheryl." Kata Avel sambil menyerahkan si bocah pada bapaknya.

"Maaf. " Kata papa Cheryl.

Avel cuma senyum, pengen marah sih sebenernya.

"Terimakasih." Kata papa Cheryl sambil menggendong anaknya pergi.

Avel nyengir, begitu doang ternyata. Dasar orang kaya ga tau diri. Lain kali disiplin dong pak jemput anaknya. Biar ga ngrepotin banyak orang, masa ga punya babysitter gitu, ga punya sopir gitu. Prasaan yang sekolah disini pada orang kaya semua. Padahal masuk cuma 3 hari dalam seminggu aja uang bulanannya dah 3x lipat uang kost Avel, mahal banget ni sekolah, padahal kost avel yang segitu bayarnya aja udah bikin Avel engap.

"Veeeeel ... nasi Lu dirubung semut ... !" teriak temannya dari ruang makan.

Yahhhhh, sial. Tadi cuman ditaroh di meja sih. Gara-gara siapa coba ini, siapa lagi kalau bukan bapak-bapak yang kurang sadar diri jemput anak saja telat. Demen bikinnya doang?

STEP MAMA - Triangle loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang