18 || Pingsan

5.2K 302 4
                                    

Biarkan rasa sakit ini aku yang rasa, kalian tidak boleh tau apa lagi sampai merasa

***

Selesai dengan acara menyerah mendali, piala serta sejumlah uang oleh pihak penyelenggara, bu Dinda mengumpulkan semua murid-muridnya di dalam satu ruangan yang sudah di sediakan oleh pihak perlombaan untuk beristirahat.

Bu Dinda menatap haru piala dan juga tiga mendali yang ada di gengamannya saat ini. Ia bahkan tidak bisa mengatakan satu kata apapun, anak muridnya sungguh luar biasa terlebih lagi Alita. Gadis itu mampu menjawab tiga pertanyaan seorang diri tanpa bantuan kedua temannya.

Bu Dinda menatap ketiga muridnya, "Ibu bangga sama kalian bertiga." senyumnya mengembang.

Semua yang ada di ruangan ini juga ikut merasakan haru yang bu Dinda rasakan, mereka sebagai teman pun ikut senang dengan keberhasilan yang di dapatkan oleh teman mereka.

Sherly mendekati Alita yang masih terdiam di pojok ruangan, gadis itu memeluk Alita dengan sangat erat mengeluarkan segala kebahagiannya melalui pelukan.

Tidak dapat di hindari jika ia terkejut dengan tindakan Sherly yang memeluknya secara mendadak, tapi tidak dapat di pungkiri juga jika ia membalas pelukan erat itu dengan senang.

Mereka melepas pelukan persahabatan itu dengan kekehan. Sherly menatap kedua bola mata Alita dalam, tangannya menyentuh kedua pundak Alita, "Congratulation, Lit!"

Senyum kaku terhias di wajah itu, "Makasih."

"Minggir! Gantian!" Ara dengan teriakan supernya mendekat dan memeluk Lita. Sherly menghela nafas melihat tingkah temannya yang ajaib.

Beberapa detik kemudian Lita merasakan jika ada sesuatu mendekat di telinganya, "Is Lita, tadi kenapa Arka peluk lo sih bukan gue aja?" Lita mengehela lega, ternyata sesuatu yang mendekat itu adalah bibir Ara.

Alita tertawa kecil berusaha untuk menghilangkan rasa gugupnya, "Mungkin sebagai permintaan maaf karena dia bego di Kimia."

Keduanya tertawa puas. Bersyukur kali ini Alita bisa menyembunyikannya jika tidak tamat sudah cerita ini.

Keduanya melepas pelukan mereka. Lita tersenyum miris melihat pemandangan yang terpampang jelas di hadapannya saat ini, hatinya menangis melihat itu.

Di depannya ada Devan dan Haikal yang sedang berpelukan ala lelaki. Haikal terlihat tulus mengucapkan selamat pada Devan sementara dirinya di lupakan begitu saja. Ia di anggap asing dan tidak berharga.

"Gue juga adek lo bang."

"Devan! Nak!"

Semua mata langsung mencari sumber keributan. Bu Dinda yang tadinya sedang menerima telepon pun langsung mematikan sambungan teleponnya untuk melihat apa yang terjadi.

Di depan pintu sana ada Miranda dan Teddy yang berjalan dengan senyum mengembang dan dengan pandangan mengarah pada Haikal dan Devan yang sedang saling berhadapan.

"Devan! Anak Mami selamat ya sayang!" Miranda langsung memeluk Devan menyalurkan kebahagiaan yang ia rasakan.

Sementara Teddy tadi sempat meliriknya dan kembali fokus pada Devan. Papinya berbeda, sepertinya Miranda telah meracuni pikiran papinya.

Hatinya hancur melihat Devan dan maminya di depan sana, ia memutuskan berjalan keluar ruangan mencari udara segara. Hitung-hitung menghilangkan penat.

Dan tanpa Alita sadari Sherly mengikuti Alita secara diam-diam tanpa sepengetahuan yang lain.

🥀

ARLITA [Selesai] (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang