Seseorang yang bisa menahan amarahnya adalah orang yang hebat. Sebunyikan kebencianmu dan tunjukan kasih sayangmu
***
Waktu sudah menunjukan pukul lima sore dan kedua putranya belum juga terlihat batang hidungnya. Miranda cemas di buatnya, ia bahkan tidak tenang. Hatinya terus berdoa pada Tuhan agar selalu menjaga kedua putranya dimana pun mereka berada.
Camkan, putra-putranya.
Miranda kembali menoleh pada pintu utama menunggu kepulangan anak-anaknya. Tidak biasanya mereka seperti ini, biasa mereka akan izin jika ingin main tapi hari ini sama sekali tidak ada pesan masuk dari mereka.
Hembusan nafas terdengar. Ibu dari tiga anak itu kembali membuka majalah yang sempat ia abaikan berusaha mengalihkan fikiran negatif tentang anak-anaknya. Mungkin saja sedang ada urusan dan baterai ponsel mereka habis.
Positif thinthing saja.
Teddy yang duduk berjauhan dengan Miranda terus saja memperhatikan gerak gerik istrinya yang terlihat gelisa dan cemas. Teddy yang paham dengan tangkap mengambil ponselnya, mengirim pesan untuk putra tertuanya.
Keduanya masih saling diam sejak kejadian itu. Tidak ada pembicaraan yang mereka lakukan, tidak ada percakapan yang di keluarkan, tidak ada adegan suami istri yang ada hanya kecanggungan. Teddy yang duduk di single sofa dengan leptop di pangkuannya terus memperhatikan istrinya yang duduk di sofa panjang di depannya. Terhalang oleh meja kaca.
Diam dan memaksakan diri agar tidak perduli satu sama lain. Mereka satu gravitasi namun berbeda gaya. Dalam hati ingin sekali Miranda mendekat pada sang suami walau hanya duduk dan sekedar berbincang singkat. Na'as, semesta memilih meninggalkan mereka.
Miranda kembali menatap jam di dinding sudah menunjukan pukul lima lewat dua puluh menit, tapi kedua putranya belum juga terlihat batang hidungnya. Rasa khawatir kembali hadir.
Sebenarnya kemana mereka.
Miranda menutup majalah yang sedari tadi di tangannya kemudian ia mengambil ponselnya yang ada di atas meja, membuka aplikasi WhatsApp hanya untuk mengecek apakah anak-anaknya menelepon atau tidak. Tapi kenyataannya tidak. Tidak ada panggilan atau pesan yang masuk.
Ia kembali meletakan ponselnya di atas meja, menatap suaminya yang sedang sangat serius menatap layar leptop di pangkuannya. Miranda menyandarkan tubuhnya pada sofa menatap lampu yang menggantung di atas sana. Tarikan nafas terus terulang berkali-kali.
BRAK
Dua orang tua itu terkejut saat mendengar suara bantingan pintu yang cukup kuat. Saat menolah ada Haikal di ambang pintu dengan seragam berantakan dan wajah memerah.
Tangan Haikal mengepal kuat. Sorot matanya tajam dan penuh kemarahan. Lelaki itu berjalan mendekat menghampiri kedua orang tuannya yang mematung di tempatnya masing-masing. Tas coklat yang di sampirkan di pundak kanannya di hempaskan begitu saja di lantai. Kakinya terus melangkah mendekat pada Miranda. Kaki kekar itu terhenti di jarak kurang lebih dua meter dari tempat Miranda berada karena tiba-tiba Teddy menghampiri Miranda dan langsung menjadikan dirinya tameng.
"Kal ... " lirih Miranda. Mata nyalang itu menyorot tajam seperti silet pada Miranda yang berdiri ketakutan di belakang tubuh tegar suaminya.
"Haikal, kamu kenapa?!" Haikal tidak menjawab pertanyaan Teddy. Ia masih memperhatikan maminya yang sedang ketakutan di belakang Teddy.
"Ikal..."
"ARGHK!" bersamaan dengan erangan yang keluar dari mulutnya Haikal menendang meja yang ada di depannya dengan sangat kuat, untung saja vas bunga yang ada di atasnya tidak jatuh dan pecah.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARLITA [Selesai] (Terbit)
أدب المراهقينSeries # 1 MauNinda Series #1 *** Keasingan dan ketertekanan menjadi awal dari kisah ini. Cerita ini di buat untuk mengigatkan jika sesuatu di dunia ini tidak selalu manis dan berjalan dengan lurus. Ada hal yang harus di korbankan. Ada rasa yang ha...